Rendra, ayah Luna masih bungkam. Ia menarik nafas panjang sambil menatap putrinya sebelum akhirnya memberikan tanggapan atas keinginan sang putri.
"Terus memangnya kalau kamu mau pindah, pindahnya ke mana?"
Mendengar tanggapan dari sang ayah membuat mata gadis itu berbinar-binar. Ia berharap pertanyaan itu merupakan lampu hijau bahwa lelaki itu setuju dengan keinginannya.
"Ke SMA biasa aja yang gak banyak anak orang kayanya. Kakak minder sama teman-teman yang lain," jelas gadis itu.
Rendra geleng-geleng kepala saat mendengar jawaban sang putri. Ia tak habis pikir jika mental anak semata wayangnya itu begitu lemah.
"Kak, sekarang Papa mau tanya, dulu tujuan kakak pilih sekolah itu karena apa?" tanya Rendra lebih jauh.
"Karena Kakak mau banggain Mama dan Papa," tutur Luna pelan sambil tertunduk. Ia teringat kembali akan tujuannya dulu yang sekarang telah berubah akibat rasa rendah dirinya.
Rendra mengangguk-angguk saat mendengar niat mulia sang putri yang ingin membanggakan dan juga mengangkat derajat keluarga.
"Sekarang kalau misalnya kakak pindah sekolah, kira-kira Papa dan Mama kecewa gak?" tanya lelaki paruh baya itu lagi.
Luna kemudian terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaan ayahnya itu. Gadis itu kemudian tersadar bahwa niatnya itu akan membuat kedua orang tuanya kecewa.
"Iya, kecewa," ujar Luna dengan kepala yang masih tertunduk.
Rendra kembali menarik nafas dan mengembuskannya sebelum kembali berbicara. Ia kemudian mendekati putrinya itu yang duduk persis dihadapannya dan juga sang istri. Lelaki itu kemudian duduk di samping putrinya, lalu melingkarkan tangannya di bahu gadis manis itu.
"Kak, Papa tau kalau Kakak minder sama teman-teman di sekolah, tapi gak usahlah hiraukan mereka. Bungkam mulut mereka dengan prestasi. Tunjukkan ke mereka walaupun Kakak dari keluarga yang gak mampu, tapi kakak bisa lebih unggul dari mereka dari segi prestasi." Rendra memberikan wejangan pada anak semata wayangnya itu.
"Iya, Pa." Luna mulai mengangkat kepalanya. "Maafin Luna ya, Ma, Pa," sambung gadis itu sambil memeluk ayah dan ibunya bergantian.
***
TING ... TONG ...
Bel istirahat telah berbunyi, Luna dan Raissa yang sudah merasakan lapar segera bergegas ke kantin untuk makan.
Sesampainya di kantin yang sudah mulai ramai dengan para siswa, mereka segera mencari tempat yang masih kosong untuk duduk dan makan.
Saat mereka tengah duduk, dua orang sahabat itu melihat satu per satu para penjual makanan yang tengah sibuk melayani pembeli.
"Lo mau pesen apa, Lun?" tanya Raissa.
"Hmm ... apa, ya?" ujar Luna yang masih bingung sembari melihat-lihat para penjual makanan.
"Lo pengen mie ayam, gak? Gue pengen mie ayam lagi, nih. Kebetulan yang antri beli gak begitu rame."
"Hmm ... boleh, deh."
"Oke, gue pesen dulu, ya."
Raissa berjalan menghampiri bapak penjual mie ayam Wonogiri yang tengah sibuk membuat pesanan. Mie ayam adalah salah satu makanan favorit Raissa. Terlebih lagi, rasa mie ayam buatan Pak Mulyadi sangatlah enak, membuat gadis berkulit putih bersih itu ketagihan. Bahkan, ia bisa makan mie ayam sebanyak 2-3 kali dalam kurun waktu lima hari.
"Pak, mie ayamnya 2 porsi, ya," ucap Raissa sedikit berteriak karena bising sebab kantin yang begitu ramai.
"Siap, Neng. Makan di sini atau bungkus?"
"Makan di sini, Pak. Nanti tolong antar ke meja yang paling ujung, ya, Pak," pinta Raissa sambil menunjuk ke arah Luna.
"Siap, Neng."
Seusai memesan mie ayam, Raissa kemudian membeli dua botol air mineral di Mang Dadang sebelum akhirnya kembali ke tempatnya.
Raissa duduk di kursinya, lalu menyodorkan satu air mineral pada Luna.
"Nih, buat lo, Lun."
"Makasih, ya, Ris,"
Luna mengambil air mineral yang ada di hadapannya, lalu membuka tutup botol air mineral tersebut dan meminumnya untuk membasahi kerongkongan yang mulai kering karena haus.
"Gimana rencana lo buat pindah sekolah pas kenaikan kelas nanti?" tanya Raissa membuka percakapan sembari menunggu pesanan mie ayam mereka.
"Sebenarnya mereka gak ngizinin atau ngelarang, sih."
"Terus ... apa?"
"Bokap gue cuma nanya tujuan gue dulu masuk ke sekolah ini."
"Terus jawaban lo apa?"
"Ya, gue jawab karena mau membanggakan mereka.
"Terus gara-gara itu akhirnya lo nyadar kalau keinginan lo buat keluar dari sekolah ini salah? Iya, kan?"
Luna yang duduk berdampingan dengan Raissa seketika saja menengok ke arah sahabatnya itu dengan mata terbelalak.
"Kok, lo bisa tau, sih?"
"Udah ketebak, Lun. Pasti kaya gitu kejadiannya."
"Hehe ... Iya." Luna tertawa nyengir.
"Udahlah, Lun, gak perlu lo menghiraukan mereka yang selalu ngerendahin lo. Walaupun lo bukan anak orang kaya seperti mereka, tunjukkin ke mereka kalau lo itu lebih berprestasi,"
Lagi, mata Luna kembali terbelalak. Apa yang dikatakan sahabatnya barusan nyaris sama dengan perkataan sang ayah semalam.
"Ih, kok, omongan lo hampir sama kaya nasehat bokap gue semalam?"
"Masa, sih, Lun? Gue ngomong kaya gitu spontan, kok. Suer," jawab Raissa mengacungkan dua jarinya.
"Ngeri juga lo bisa kaya gitu." Luna berdecak sambil melipat kedua tangannya dan menggelengkan kepala.
"Hehe ...."
Raissa bukanlah gadis biasa seperti kebanyakan orang. Ia memiliki insting yang kuat dan juga indra keenam. Seringkali, tebakan Raissa terhadap sesuatu itu selalu benar yang terkadang membuat Luna merasa heran. Namun, gadis itu belum mau bercerita pada Luna bahwa ia memiliki kemampuan seperti itu.
Tak lama setelah obrolan itu, mie ayam pesanan mereka pun datang, diantar langsung oleh Pak Mulyadi.
"Ini pesanannya, Neng," ujar lelaki paruh baya itu sambil menaruh kedua mangkuk yang ia bawa di atas meja.
"Iya, Pak Mul. Terima kasih, ya," ucap Luna dan Raissa bersamaan.
Melihat mie ayam sudah tersaji dihadapannya, Raissa segera menyantapnya dengan lahap. Begitupun Luna.
Ketika mereka tengah asyik menikmati mie ayam buatan Pak Mul, suara bel masuk pun berbunyi karena jam istirahat telah berakhir.
TING ... TONG ...
Buru-buru mereka menghabiskan mie ayam yang masih tersisa setengahnya di atas mangkuk. Mereka mengunyah mie itu beberapa kali, kemudian langsung menelannya. Mereka berdua harus sampai ke kelas yang berada di lantai 2 sebelum Bu Ernawati, guru biologi sampai terlebih dahulu.
Tanpa minum, mereka langsung berlari sesaat setelah mereka menghabiskan mie ayam. Beruntung, Bu Ernawati datang ketika mereka sudah sampai di kelas. Kedua gadis remaja itu pun duduk sambil berusaha mengatur napas yang terengah-engah, kemudian meminum air mineral mereka sebelum pelajaran dimulai.
Di pelajaran biologi kali ini, mereka akan belajar tentang jamur. Di depan kelas, Bu Ernawati mengumumkan bahwa materi kali ini akan dipelajari secara berkelompok.
"Di pelajaran biologi kali ini, kita akan membahas materi tentang jamur. Tolong kalian buat kelompok 5 orang berdasarkan absen." Perintah guru biologi itu.
Luna dan Raissa saling pandang sesaat setelah guru biologi mereka memberikan instruksi.