Riadi Pranadipa
Sosok laki-laki yang berbadan atletis, wajah tampan berkumis tipis yang suka sekali membelah rambutnya ke arah kanan. Riadi bukanlah orang yang berantakan secara fisik. Dia adalah laki-laki yang sakit secara mental.
Meski begitu, Riadi tetap menjalani hidup dengan semestinya. Perceraian orang tuanya adalah hal yang paling buruk dalam hidupnya.
Menjadi anak satu-satunya dari orang tua yang bercerai, membuat Riadi semakin merasa kesepian. Hampa, dan tidak tahu kehangatan keluarga.
Sejak bertemu denganku, hidupnya berubah. Baginya, Aku adalah wanita pertama yang paling mengerti keadaan dirinya.
Riadi meninggalkan hidupnya yang kelam. Berhenti minum, main-main dengan wanita dan mencoba menerima keadaan bahwa orang tuanya memang sudah bercerai.
Rumah Sakit Taruna Bakti, 2011
Sore hari, saat sedang jalan pulang. Aku melihat laki-laki yang sedang duduk di kursi roda. Ia melihat ke atas pohon rindang yang berada tepat di depannya. Ia adalah Pak Riadi, pasien yang ku rawat.
"Pak Riadi, sedang apa di sini Pak?"
"Ah, suster. Saya hanya mencari udara segar. Rasanya rindu setelah satu minggu koma, hanya berbaring saja di ranjang Rumah Sakit." jelas Pak Riadi.
"Begitu rupanya. Ya sudah, saya pamit pulang ya Pak." Aku membungkukkan setengah badanku.
"Suster ....," teriak Pak Riadi.
Aku membalikkan badan dan menghampirinya kembali.
"Suster, bisa temani saya sebentar?" tanya Pak Riadi.
Aku pun menemaninya duduk di taman itu. Laki-laki ini bercerita tentang semua kejadian dalam hidupnya. Tanpa rasa malu sedikitpun.
~~~
Keesokkan harinya, laki-laki itu menyapaku. Seakan aku dan dia sudah kenal lama. tidak ada rasa canggung antara pasien dengan perawat.
"Hai ....," sapa Riadi.
"Pagi pak, mari saya antar ke ruangan"
Aku membantunya mendorong kursi roda dan mengantarnya ke ruang rawat.
"Cukup panggil saya Riadi saja. Saya rasa kita hanya beda beberapa tahun kan ya hehehe" canda Riadi
Aku memasang wajah sumringah ketika laki-laki ini bercanda. Aku senang melihat senyumnya yang tampak lepas. Jauh berbeda dengan raut wajah kemarin saat bercerita kepadaku tentang kehidupannya yang kelam.
~~~
Satu minggu sebelum Riadi diperbolehkan pulang, aku dan Riadi sudah cukup dekat. Riadi perlahan bangkit. Dia ingin cepat keluar dari rumah sakit agar bisa mengajakku berbincang di luar, tidak lagi di taman rumah sakit terus.
"Arini?" Riadi menatapku ketika aku hendak membantunya naik ke atas ranjang Rumah Sakit. Jantungku berdegup kencang ketika Riadi memanggilku dengan sebutan nama bukan lagi 'suster'.
"Iya Pak, ehh maaf Riadi." Aku sangat canggung memanggil pasien dengan sebutan nama.
"Kita masih bisa bertemu kan kalau nanti saya sudah keluar dari rumah sakit ini?" tanya Riadi.
"Saya tidak bisa larang untuk kita tidak bertemu."
"Ya, berarti saya boleh kan simpan nomor kamu?" rayu Riadi
"Iya, iya, tentu"
Riadi menaruh rasa suka terhadapku. Tapi tanpa disangka, aku lah yang terlebih dulu menyukai Riadi sejak perbincangan pertamaku dengan Riadi di taman itu.
~~~
Riadi akhirnya pulang dan pamit padaku. Laki-laki itu melambaikan tangannya sembari berkata, "Aku hubungi kalau sudah di rumah" Itulah kata terakhir Riadi yang berbisik padaku.
Aku masih mengelak bahwa aku menyukai Riadi. Dia masih enggan mengakui perasaannya pada laki-laki berkumis tipis itu.
Sore hari, tepat pukul empat. Waktu berakhir shift kerjaku. Aku pulang dengan wajah sumringah. Dan tidak henti melihat layar handphone. Aku menunggu kabar dari Riadi. Sesampainya di rumah, Riadi belum juga menghubungiku. Hal itu membuatku gelisah.
Aku lelah dan tertidur dengan memegang handphone di tanganku. Benar, handphone itu berdering.
Kring... Kring...
"Halo" Aku langsung menjawab telepon dari Riadi. Telepon dari Riadi membuatku hilang rasa kantuk.
"Hai, Arini! Kamu sudah pulang dari tempat kerjamu?"
"Sudah Riadi. Ini sudah pukul tujuh malam, sedangkan aku pulang pukul empat sore."
"Ehm, begini. Besok kita bisa ketemu kan? Apa kamu punya waktu?" tanya Riadi.
"Besok? Bisa kebetulan besok aku libur. Mau ketemu dimana?"
"Aku nanti jemput kamu ya! Boleh kan aku ke rumah mu?"
"Iya silahkan, nanti aku kirim alamatnya"
Bahagia rasanya setelah mendapat telepon dari Riadi. Apa aku benar-benar jatuh cinta pada laki-laki itu?
~~~
Setelah menemui Riadi di kantor polisi, aku pergi menemui Ayah dan Ibuku. Radit dan Arinda menyambut kedatanganku. Ibu menatapku penuh rasa kasihan. Aku tahu, mereka sangat kecewa dengan mas Riadi.
Chintya kakakku, mengajak Radit dan Arinda bermain di taman belakang. Ibu persilahkan aku duduk di sofa ruang keluarga yang selalu ku rindukan. Ibu mengusap air mataku yang bercucuran. Sementara Ayah menepuk halus pundakku mencoba membuat hatiku tegar.
"Nak, kamu harus kuat. Ini pilihan hidupmu. Coba dulu kamu dengarkan apa kata kami, mungkin kamu tidak akan mengalami kejadian ini" ujar Ayah.
"Arini, semua yang terjadi pasti berlalu. Mulai sekarang, kamu harus menuruti apa kata kami ya nak" Ibu pun menasihatiku.
"Mulai sekarang, kamu harus belajar melupakan Riadi. Ini jalan terbaik untuk hidupmu." Benar saja mereka memulainya lagi.
"Ayah, Ibu. Aku tidak mau menjadi anak durhaka yang menentang keinginan kalian. Aku tahu mas Riadi bersalah tetapi Aku mencintainya. Sulit bagiku untuk meninggalkannya dan tidak mudah bagiku untuk bercerai dari Mas Riadi.
Aku sangat kecewa dengan Ayah Ibuku. Disaat seperti ini, mereka malah mengambil kesempatan.
"Ini baru satu hari Arini. Kamu boleh bicara seperti itu. Kita lihat nanti apakah kamu sanggup dengan keadaan ini. Apalagi kamu harus menghidupi Radit dan Arinda!" tegas Ayah.
"Aku akan cari kerja pak. Aku yakin bisa melalui ini semua.
Adu mulut antara aku dengan orang tuaku berlangsung cepat. Aku pun pamit pulang bersama Radit dan Arinda.
"Arini!" teriak Chintya.
Aku tak menghiraukan Chintya. Aku tetap pergi meninggalkan kediaman orang tuaku.
Di sepanjang perjalanan, Radit dan Arinda terus bertanya membuatku semakin stress. Aku terpaksa membentak anak-anakku. Radit dan Arinda ketakutan melihatku seperti ini.
Ketika sampai rumah, Radit dan Arinda memegang tanganku.
"Mama, mama kenapa nangis? Maaf kan Aku ya mah kalau aku nakal dan buat mama menangis, " tangan mungil Arinda mengusap air mataku.
~~~
'Arini, kamu tidak boleh egois. Radit dan Arinda tidak salah. Mereka adalah korban dari Riadi. Kamu harus berusaha tetap kuat demi mereka'
Rintihan suara hatiku begitu sakit. Aku meremas keras rambut di kepala. Aku sangat stress dengan adanya masalah ini.
Aku bingung dengan keadaanku yang tidak bekerja. Selama ini aku bergantung pada Riadi. Aku harus tetap mencukupi kebutuhan anak-anak. Belum lagi, aku dan Riadi masih ada beberapa cicilan lainnya yang belum selesai.
~~~
Satu minggu setelah mas Riadi mendekam di penjara, aku mulai mencari pekerjaan dan menitipkan anak-anakku pada Chintya kakakku. Saat ini, Chintya lah yang selalu membantuku dalam kesulitan yang sedang ku hadapi.
Aku melamar kerja ke beberapa Rumah sakit. Namun saat sedang makan di kantin Rumah sakit, Aku mendengar nama suamiku di sebut-sebut oleh tiga orang pemuda yang berada tepat di belakangku.
Aku mendengar bahwa Riadi masuk penjara akibat ulah dari bos mereka yang sedang di rawat di RS tersebut. Saat menoleh ke belakang, Aku terkejut karena yang ku lihat adalah teman dekat Riadi semasa SMA.
Aku belum pernah bertemu dengannya, tapi Riadi pernah menunjukkan fotonya padaku.