Chereads / Hidup Beralaskan Duri / Chapter 7 - Penyamaran

Chapter 7 - Penyamaran

"Perkenalkan nama saya Alvin, Staff Personalia di Rumah Sakit ini. Anda bisa memulai dengan memperkenalkan diri Anda." Pewawancara menyuruhku memperkenalkan diri terlebih dulu.

"Baik Pak. Nama saya Arini Putri, saya merupakan lulusan dari Universitas Guna Dharma, dan saat ini saya tinggal di Komplek Perumahan Trinity blok E5."

Pewawancara memberiku berbagai pertanyaan. Aku bisa menjawab semua yang ditanyakan oleh beliau.

~~~

Interview berjalan lancar. Aku diterima kerja di Rumah Sakit Harapan Kita di Jakarta sebagai Perawat. Aku pun tidak menyangka akan diterima setelah sebelas tahun vakum. Dan juga, usiaku sudah tiga puluh satu tahun saat ini.

Aku masih penasaran dengan apa yang telah mereka lakukan pada suamiku. Aku menyusun rencana tanpa sepengetahuan Mas Riadi. Karena jika Mas Riadi tahu tentang rencanaku, dia tidak akan mengizinkan.

*Rumah Sakit Harapan Kita

Hari ini adalah hari pertamaku bekerja sebagai Perawat di Rumah Sakit Harapan. Rasanya, seperti kembali pada masa di mana saat itu adalah awal bertemu dengan Mas Riadi. Aku sangat bersemangat karena akan melakukan pekerjaan yang selalu aku rindukan selama sebelas tahun ini.

Aku mengawalinya dengan masuk ke ruang daftar hadir. Dan mulai untuk bekerja. Tuhan sepertinya sedang berpihak padaku. Hari ini, aku ditugaskan untuk berjaga di ruangan VIP. Jelas, aku akan berkesempatan bertemu dengan Anton. Aku berjalan menuju ruang VIP untuk mulai mengecek pasien.

Aku melihat Anton sedang duduk bersama wanita. Kelihatannya usia wanita itu tidak jauh dengan usiaku. Wanita berambut pirang sebahu itu tampak pucat dengan raut wajah yang terlihat sedih. Dia menyender di pundak Anton. Lalu Anton mencoba menenangkan  wanita itu.

"Permisi Pak ...., Bu ...., saya Perawat yang akan memeriksa keadaan Bapak Rudy hari ini."

"Oh iya, Suster. Silahkan masuk." Anton menatapku.

"Terima kasih," Aku masuk ke dalam ruang rawat Pasien.

Aku melihat sosok laki-laki tua yang sedang berbaring di atas ranjang Rumah Sakit. Laki-laki tua itu tampak tidak berdaya. Kasihan, tapi aku masih penasaran siapa sebenarnya laki-laki ini. Apa bos yang dimaksud oleh Anton di kantin Rumah Sakit pada waktu itu, adalah laki-laki ini? Dan, siapa wanita yang bersama Anton di depan?

Saat selesai memeriksa kondisi pasien. Aku keluar dan hanya melihat Anton sendirian. Wanita itu kelihatannya sedang keluar.

"Suster ...., maaf. Suster yang kemarin bertemu saya di sini kan?" tanya Anton.

"Iya Pak. Saya masih ingat betul kejadian kemarin. Oh ya Pak, Bapak tidak pulang dari kemarin? Kelihatannya Bapak ini sayang sekali ya sama Bapak yang ada di dalam." Aku tidak bisa membendung pertanyaanku.

"Oh, itu. Beliau adalah Papa Mertua saya Suster."

"Begitu rupanya. Ya sudah, saya permisi dulu ya Pak."

~~~

Sore hari telah tiba. Waktu menunjukkan pukul lima sore. Shift kerjaku berakhir dan aku siap-siap untuk pulang. Aku mengganti seragamku dengan memakai pakaian biasa. Aku mengintip lagi ke ruangan Pak Rudy. Di dalam terlihat ada Anton dan wanita berambut pirang tadi. Mereka terlihat sedang berdebat di depan laki-laki tua itu yang masih memejamkan matanya karena koma. Tidak terdengar sedikit pun percakapan mereka. Hanya terlihat gerak gerik tubuh yang memperagakan kemarahan amat luar biasa.

Aku sengaja duduk di kursi yang berada di depan ruang pasien. Aku menutupi wajahku dengan koran. Anton dan wanita itu keluar dan duduk bersebrangan denganku. Mereka berbisik dan sesekali melihat ke arahku. Sedikit demi sedikit aku mendengar percakapan mereka. Lagi-lagi, mereka menyebut nama suamiku. Ingin rasanya Aku menghentikan percakapan mereka dan bertanya soal Riadi. Tapi, aku tidak boleh gegabah dan menghancurkan rencana awalku.

"Aku enggak habis pikir sama kamu Mas. Dasar apa kamu melakukan semua ini pada Riadi?" gerutu wanita berambut pirang itu.

Itulah sepenggal kalimat yang ku dengar dari pembicaraan mereka. Aku pergi dengan penuh amarah. Tidak sabar ingin membongkar semua yang telah mereka lakukan.

Aku pergi ke rumah Chintya kakakku untuk menjemput Arinda dan Radit. Sesampainya di rumah Chintya, dia mengajakku mengobrol soal anak-anakku. Sudah satu bulan lebih sejak Mas Riadi ditahan, aku merepotkan Chintya. Dia selalu membantu menjaga anak-anak jika aku sedang keluar. Chintya baru menikah lagi sejak lima bulan yang lalu. Dan, Fara anak Chintya satu-satunya, telah tumbuh dewasa.

"Arini, kamu kan saat ini sudah bekerja. Dan, aku juga sebenarnya bisa saja membantumu menjaga Radit dan Arinda. Tapi, kamu kan tahu, aku baru menikah lagi. Aku ingin fokus pada program kehamilanku. Jadi, sebaiknya kamu mencari pengasuh untuk Radit dan Arinda." Chintya memegang kedua tanganku yang sedang ku diamkan di atas lutut kaki.

"Iya Kak, Aku juga sudah memikirkannya. Mungkin satu atau dua minggu ke depan, Aku sudah menemukan pengasuh untuk anak-anakku."

"Maaf ya Arini." Chintya memelukku.

"Terima kasih Kak, sudah mau membantuku melewati ini semua."

~~~

Di saat seperti ini, aku sangat membutuhkan orang tuaku. Tapi, mereka hanya sibuk mengurusi keinginan mereka untuk menikahkanku dengan laki-laki pilihan mereka. Mas Riadi akan sangat kecewa jika mengetahui yang sebenarnya terjadi.

Mas Riadi memang mempunyai masa lalu yang kelam. tapi sepanjang hidup bersamaku, dia selalu melakukan yang terbaik. Sebagai suami dan ayah, dialah yang sosok yang pantas. Walaupun kini, Mas Riadi membuat hidupku hancur juga anak-anakku.

Arinda dan Radit masih sangat membutuhkan sosok Ayah di hidup mereka. Aku tidak mau mengecewakan mereka. Tuhan, berikan aku kekuatan untuk menghadapi semua ini.

~~~

Hari ke dua, aku bekerja. Aku pergi cek kondisi Pak Rudy, Mertua dari Anton. Tapi, Aku sangat terkejut saat Anton meminta nomor teleponku. Sifatnya yang seperti laki-laki nakal baru terlihat. Sungguh, Anton sudah berubah. Sangat berbeda dengan Anton yang selalu Mas Riadi ceritakan padaku. Anton benar-benar sudah berubah.

"Suster ....," Anton memanggilku saat aku hendak keluar.

"Iya, ada apa Pak?"

"Begini, Suster. Apa saya boleh simpan nomor Suster? Ya, siapa tahu saya ada keperluan membahas Papa mertua saya" tanya Anton.

"Oh begitu Pak, ini silahkan." Aku menyodorkan hand phone milikku yang sudah ku ketik nomor teleponku.

"Terima kasih, Suster." Anton tampak senang setelah menyimpan nomorku. Dia menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tidak lama kemudian, saat aku berjalan di koridor meninggalkan ruang Pak Rudy, wanita berambut pirang itu datang menjenguk Pak Rudy. Wanita itu berjalan sangat cepat bagaikan bom waktu yang akan segera meledak. Dia menghampiri Anton yang sedang duduk. Dan, wanita berambut pirang itu tiba-tiba menampar Anton. Aku menengok ke arah belakang, pertengkaran pun terjadi di depan ruang laki-laki tua yang sedang berbaring lemas di atas ranjang. Wajah kesal wanita itu sangat terlihat jelas. Air matanya pun berlomba-lomba jatuh membasahi pipi wanita itu.

Dari situlah, aku memulai rencanaku.