Chereads / Rivandy Lex : Classical Academy. / Chapter 25 - Gadis Pendiam : Awal Pertemuan

Chapter 25 - Gadis Pendiam : Awal Pertemuan

Lonceng akademi pelajaran pertama pada hari Selasa bergema, menandakan pelajaran pertama telah usai. Para murid memutuskan untuk keluar kelas setelah mendapatkan tugas dari guru akademi.

Seorang siswi, duduk di bangku kelas, mengusap buku dengan pelan dan menatap di luar jendela. Belum bergerak sama sekali. Masih duduk tenang di dekat jendela kelas.

Gadis berkulit pucat dengan rambut biru ungu sanggul tinggi, poni menggantung di atas alisnya. Selain itu, terdapat dua helai rambut membingkai wajahnya di kedua sisi.

Matanya berwarna ungu, penglihatan sayu dan cuek. Bibirnya merah, tapi tidak memperlihatkan giginya. Hanya mulut yang tertutup.

Seragam akademi yang rapi dengan lambang Spyxtria, lambang sebuah buku dan sihir di dalam lembaran itu.

Pendiam dan tenang. Belum memiliki teman semenjak hari pertama masuk sekolah. Itulah gadis tanpa bersosialisasi, Sima Rinko. Ia adalah siswi Kelas I Saintek E, kelas yang rendah.

Setelah duduk memandangi jendela kelas, ia memutuskan keluar dari kelas, mencari ruang yang bagus untuk menghindari orang lain sebelum pelajaran kedua.

[***]

Di perpustakaan, gadis pendiam itu masuk dan membuka pintu dengan perlahan. Setelah masuk, ia menutup pintu kembali, mencari tempat yang sepi sampai lonceng akademi berbunyi.

"...." Hening, tiada suara yang di perpustakaan itu.

"...." Sama saja, belum ada suara siswa yang terdengar, hanya gerakan bibir yang terlihat.

Agar bisa berkomunikasi dengan orang lain, mereka yang masuk perpustakaan harus berbisik di telinga lawan bicara agar obrolan semakin berlanjut.

"...." Sedari tadi, gadis itu tidak pernah berbicara, hanya keperluan tertentu.

Ruang perpustakaan harus hening, tanpa suara sekalipun. Ini bertujuan agar pembaca bisa membaca buku dengan tenang, tanpa gangguan.

Gadis itu mulai berjalan, menuju ke sebuah rak buku yang dipenuhi oleh buku yang berat. Sesampainya di sana, ia menemukan buku yang ingin dipinjam.

Matanya tertuju pada buku yang berderet, segera meraih buku yang terkesan tebal dan berat, dengan banyak referensi.

Namun, ada seorang siswa yang mendatangi rak buku yang sama, menggembala beberapa buku. Siswa itu jauh lebih tinggi dari gadis itu. Ia adalah siswa pangeran yang diincar oleh para gadis.

Pandangan mereka terkesan datar, tanpa komunikasi apapun. Hanya saling menatap dengan penuh kesunyian, berbaur dengan perpustakaan itu sendiri.

"...."

"...."

Tidak ada pembicaraan sama sekali, mulut mereka tidak ada yang bergerak sama sekali, seragam akademi mereka terasa datar, belum ada aksi reaksi.

Untungnya siswa itu mengetahui pandangan gadis ke arah buku itu. Buku yang berat dan tebal akan digunakan untuk siswa akademi untuk mengerjakan tugas akademi sebagai referensi.

Siswa itu bergegas meraih buku itu lalu menyerahkan kepada gadis itu. Karena siswa itu lebih tinggi, dia bisa meraih rak buku yang paling tinggi.

"Ini. Untukmu. Kau pasti membutuhkannya, bukan?"

"...." Gadis itu mengangguk, menerima pemberian dengan mentah-mentah.

Sekarang, gadis itu memegang buku, menyimpan dengan kedua tangannya. Buku itu menempel di dadanya agar tidak terjatuh.

Tidak ada pembicaraan yang lebih lanjut lagi. Siswa pangeran itu berniat meninggalkan gadis itu dan bergegas menuju ke lobi perpustakaan.

Namun, tangan gadis itu meluncur, memegang seragam akademi siswa itu. Siswa itu berbalik dan memandang tangan halus gadis itu.

"Ada apa? Sepertinya aku tidak ingin meninggalkanmu."

"...." Gadis itu terdiam, masih memegang seragam siswa pangeran itu dengan dua jarinya.

"Baiklah. Kalau begitu, ... sembunyi!" Tiba-tiba siswa itu mengajak gadis itu bersembunyi di antara rak buku.

Tubuh siswa pangeran menyudutkan gadis itu ke rak buku, mereka terasa dekat namun canggung. Bau siswa pangeran tercium, membuat gadis itu harus menahan nafas.

"Ada seseorang yang mengincarku. Kalau dia menemukanku, aku akan mendapatkan masalah."

"Belum lagi, dia akan menyuruhku untuk mengenakan rok akademi. Ini sangat memalukan." Siswa pangeran biru menatap seseorang yang mencarinya, pergi begitu saja.

"Maaf. Aku merepotkanmu. Sampai Dimana tadi?" Setelah melihat kondisi

" ...." Gadis itu menjadi pusing, penglihatannya menjadi kabur akibat bau siswa pangeran itu.

"Hei! Kau tidak apa-apa?" Siswa pangeran itu menggoyangkan gadis itu.

Karena situasi itu, siswa pangeran itu terpaksa membawa gadis itu keluar dari persembunyian dan bergegas menuju ke meja tempat membaca buku.

Setelah itu, siswa pangeran itu duduk di samping gadis itu. Dia melakukan itu dengan bertujuan agar gadis itu baik-baik saja.

Setelah sadar, gadis itu bertatapan langsung dengan siswa pangeran itu. Jadi, siswa pangeran itu memilih untuk berbicara pada gadis itu.

"Hei. Kau tidak apa-apa? Kau tidak sehat belakang ini?"

"..." Gadis itu mengendus, merasakan bau harum yang menyengat sampai membuat penglihatannya kabur.

Siswa pangeran itu menyadarinya. Tubuhnya merasakan harum yang menyengat bagi gadis itu."Huh? Itu ... Entahlah."

"...." Gadis itu tidak memperdulikannya

"Oh iya. Aku belum mengetahui namamu. Mungkin kau ..."

"...." Tanpa basa-basi, gadis itu menunjukkan kartu identitasnya.

Siswa pangeran membaca kartu tanda pengenal itu. Rasanya gadis itu cukup bisu. Entah apa alasannya di melakukan itu.

[Sima Rinko]

[Perempuan]

[18 April/Aries]

[Kelas I Saintek E]

[INTP]

Nama ini cukup asing didengar. Untuk lebih singkat dan nyaman, siswa pangeran itu memilih panggilan 3 huruf, yakni Rin.

"Rin ternyata. Namaku Rivandy Lex. Kau bisa memanggilku Rivandy."

"..." Tanpa respon, Rin hanya mengangguk setuju.

Rin bergegas untuk mengambil sebuah kalimat sebagai referensi tugas sementara Rivandy hanya memandang Rin. Tatapan matanya tertuju pada wajah gadis itu.

Waktu berlalu, Rin telah menyelesaikan tugasnya, memilih untuk menutup buku dan menyimpan buku itu di rak kembali.

"Rin. Kau tidak meminjam buku itu? Kau butuh beberapa banyak kalimat untuk tugas akademi."

"..." Rin hanya menggeleng, pergi berlalu begitu saja.

"Eh? Apa yang terjadi dengannya? Rasanya aneh sekali."

Setelah mengembalikan buku ke rak buku, Rin bergegas kembali kepada Rivandy, mengajakku keluar dari perpustakaan. Mereka menghindari kerumunan para gadis agar tidak membuat masalah.

Rin berhutang padanya, dia memberikan sebuah kertas kecil di genggaman pada siswa pangeran itu. Di pintu masuk perpustakaan, siswa pangeran mulai bingung dengan perubahan sikap Rin. Sikap Rin di perpustakaan berbeda dengan Rin di luar perpustakaan.

"Sudah selesai. Terima kasih, Rivandy. Ini ambillah. Kita akan pergi ke suatu tempat besok. Aku pergi dulu. Sampai jumpa."

"Eh?! Tu-Tunggu dulu! Aku tidak tahu bisa bicara." Aku mencegah Rin, meminta penjelasan mengenai sikap Rin di perpustakaan tadi.

Rin tidak mendengarkan apapun dariku, langsung pergi ke kelas dan mengikuti pelajaran. Siswa pangeran itu hanya terdiam, merasakan hal yang salah di pikirannya.

Tidak ada pilihan lain. Aku harus memegang pemberian dari Rin. Semoga saja tidak ada gangguan yang datang kepadaku.

Akhirnya, siswa pangeran itu langsung meninggalkan perpustakaan, berjalan kaki di lorong sambil membaca buku kecil di lorong

[***]

Jam pelajaran kedua berakhir, siswa akademi akhirnya bisa menghirup udara segar di luar kelas. Mereka mengemas tas mereka lalu mengosongkan kelas.

Aku dan Aurora sudah siap untuk pulang. Tidak ada barang yang akan ketinggalan di kelas. Jadi, kami bisa tenang ketika pulang nanti.

"Rivandy. Apakah kamu sibuk untuk besok?" Teman sekelasku, Aurora memulai percakapan.

"Tidak. Aku memilih untuk berdiam diri di rumah."

"Kalau begitu, bolehkah aku mengunjungi rumahmu?"

"Tidak boleh. Aku sedang bersih-bersih saat ini. Lain kali saja."

"Ayolah! Aku tidak mau membiarkanmu kesepian."

"Aku tidak kesepian. Semua orang punya waktu mereka masing-masing."

"Kumohon. Aku akan menggantikan Evelyn untuk sementara waktu."

"Tidak boleh! Aku harus istirahat seharian karena sudah mengerjakan tugas akademi."

Kami keluar kelas, ocehan gadis memang mengerikan, tiada hentinya. Evelyn sudah pulang terlebih dahulu, memberikan pesan pada kami untuk pulang bersama.

Setelah sampai di apartemen, Aurora terasa kecewa. Memilih menyerah karena aku bersikeras untuk pulang. Bukan berarti, aku ingin menyakiti perasaan gadis itu. Aku ingin menyegarkan otak dan mengisi tenaga.

Aku memang lelah karena tugas akademi. Untungnya, hari esok adalah tanggal merah Kerajaan Roshan, Hari Ulang Tahun Klan Spyxtria ke-40, tanggal 16 Ucheryc 1468.