Situasi yang mencekam, perjalanan ke kantin cukup lama dan memakan waktu, sehingga perlu berbicara satu arah, lawan bicara tidak perlu merespon. Cukup mendengarkan saja.
Aku sudah kehabisan kata, tidak bisa menggunakan lidah untuk melanjutkan komunikasi satu arah. Dengan terpaksa, dia, lelaki yang bersamaku tidak mendengar suara itu lagi.
Situasi berubah sekejap mata, berubah menjadi hening dan kaku. Kami hanya fokus menggerakkan kaki kami untuk berjalan, sampai lupa topik apa yang harus dibicarakan pada dialog selanjutnya. Mungkin saja, biarkan keheningan ini berlangsung.
"..."
"..."
Langkah demi langkah, kami tidak berpandangan, aku tidak bisa melihat wajahnya ketika berjalan. Ini sedikit lebih sulit daripada yang diduga. Rasanya berbeda dengan Rin dan Saphine.
Setelah itu, aku tidak bisa melanjutkan komunikasi satu arah. Terasa buntu dan macet. Hubungan akan menjadi Lebih buruk jika tidak melakukan sesuatu yang lebih baik daripada ini.
Ada sebuah ruangan yang bisa lolos dari kesunyian dua lelaki, setidaknya aku harus menyuruhnya untuk menunggu di luar toilet itu. Aku bisa pergi ke toilet agar menghindari kecanggungan, sekaligus bisa mencari topik pembicaraan yang akan datang.
"Aku ke toilet dulu. Aku ingin mencuci muka terlebih dahulu."
"..." Dia mengangguk pelan, memaklumi orang sepertiku yang membutuhkan toilet untuk menyegarkan pikiran.
Aku langsung bergegas menuju ke toilet itu tanpa memeriksa lebih lanjut karena buru-buru ingin ke sana.
Jarak kami semakin jauh, tubuhku mendekati pintu masuk toilet itu. Dia harus menunggu dengan menyandarkan diri di tembok, memandang lorong yang sepi sampai aku kembali.
[***]
"Ah! Rasanya pahit sekali. Aku tidak menyangka bahwa aku harus berhadapan dengan orang yang lebih sulit."
Mengeluh, ekspresi yang terlihat jelas dari sebuah cermin. Sebuah wastafel sihir untuk mengeluarkan air masih efektif dan eksis pada perubahan zaman.
Aku perlu membuat rapalan sihir untuk mengaktifkan wastafel itu. Setelah berhenti menggunakan wastafel, aku hanya membuat rapalan pendek untuk mematikan wastafel itu.
Aku mulai membicarakan di depan cermin, tidak mengeluarkan suara sama sekali. Suasananya sama saja, sunyi.
"Sepertinya sulit. Aku harus membuat sesuatu agar dia berbicara. Mereka tidak ingin membiarkan keadaan buruk ini terjadi. Aku tidak bisa menggunakan komunikasi satu arah terus menerus."
"Baiklah. Aku sudah membuat rencana itu. Tapi, aku perlu sesuatu yang memancing. Aku tidak tahu topik apa yang cocok dengannya."
"Sepertinya, laki-laki lebih sulit daripada perempuan soal komunikasi. Ini cukup sulit karena aku belum pernah berteman dengan laki-laki."
"Atau apakah aku perlu ...."
[***]
Sementara itu, ada dua gadis berseragam akademi, pergi ke toilet untuk membersihkan diri mereka. Mereka bergosip mengenai rumor yang hangat dibicarakan.
"Kau tahu. Ada seorang pangeran yang bisa mengerjakan tugas matematika dan fisika."
"Benarkah? Aku sudah sering mendengar rumor itu. Tapi, aku belum melihat pangeran sebelumnya."
"Tentu saja. Kalau kita bisa bertemu dengannya, kita adalah gadis yang beruntung."
Mereka tertawa kecil lalu menuju toilet yang bertanda warna merah muda. Sosok mereka menghilang begitu memasuki toilet itu.
Jika toilet pada umumnya menggunakan tanda jenis kelamin untuk membedakan toilet pria atau wanita, berbeda dengan Kerajaan Roshan dimana tanda jenis kelamin menggunakan sebuah warna.
Merah muda untuk perempuan dan buru untuk laki-laki. Warna itu biasanya dipasang sebelah pintu masuk toilet.
Lelaki yang bersandar di tembok sudah mengetahui toilet itu berwarna merah muda. Tidak bisa memberikan pesan karena dia akan dituduh mengintip gadis di kamar mandi perempuan.
Lebih baik dia menungguku di luar.
[***]
Kedua gadis itu berniat mendekati cermin untuk berdandan. Mereka bisa menggunakan toilet sedikit lebih lama.
Mereka berhenti, pandangan mereka berfokus pada seseorang yang dibicarakan dengan hangat.
Gadis itu terkejut luar biasa, seorang pangeran yang berada toilet perempuan sangat indah untuk pemandangan.
"Permisi. Ada yang bisa dibantu?" Aku bertanya pada mereka, mengabaikan wastafel di depanku.
Mereka tidak menjawab beberapa saat kemudian. Selang beberapa detik, mereka berteriak histeris. Bukan karena aku mengintip perempuan, mereka tidak menyangka ada pangeran yang tersesat di toilet perempuan.
"Kyaa! Ada pangeran di kamar mandi perempuan!*
"Eh?! Kamar mandi perempuan? Benarkah?" Aku bertanya pada mereka meskipun percuma.
"Tunggu! Aneh sekali. Aku pikir ini toilet pria."
"Eh? Apa?" Setelah ditelusuri lebih lanjut, itu adalah toilet perempuan.
Situasi berubah menjadi lebih buruk. Karena tidak menelusuri lebih jauh, aku terjebak di toilet ini. Ini sama saja mimpi buruk.
Toilet akademi memberikan jarak yang cukup jauh, sekitar satu meter. Ini bertujuan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Aku sudah melihat kaca yang digunakan untuk berdandan. Mungkin mereka datang ke sini untuk berdandan selama 10 menit, 1 menit sebelum memasuki kelas.
"Tunggu! Ini pasti kesalahpahaman. Aku tidak bermaksud untuk ...." Penjelasanku dipotong, mereka terlalu mendominasi dalam komunikasi verbal.
"Ini akan menggemparkan akademi." Sama sekali tidak mau mendengar, mereka terlanjur histeris.
"Kyaa! Tidak bisa dibayangkan impianku akan menjadi kenyataan."
"Baiklah. Aku menyerah. Aku tidak ingin membuat kalian berteriak histeris hanya karena bertemu denganku."
Ekspresi mereka berubah menjadi jahil, membuat rencana yang ingin dipersiapkan sedari dulu. Ini cukup berbahaya jika tidak ada yang menyadarinya.
"Kalau Pangeran Tampan memasuki toilet wanita, ..." Salah satu gadis memulai sebuah pernyataan, yang sesuai dengan dongeng Pangeran Tampan.
" ... kita akan mengubahnya menjadi Pangeran Cantik!" Mereka langsung mengeluarkan alat dandan mereka, sekaligus membawa rok cadangan untukku.
Bedak, parfum, dan alat kecantikan lainnya diperlihatkan, tatapan iblis mereka semakin jelas. Harga diriku menciut ketika rencana mereka ingin ditunjukkan.
"Tu-Tunggu sebentar! Apa yang akan kalian lakukan padaku?" Aku mulai tidak nyaman, menjaga jarak dari kedua gadis yang nakal.
"Sini, Pangeran! Kalah mau masuk ke toilet ini, kamu harus didandan dulu."
"Tidak. Terima kasih. Aku harus pergi dulu. Aku tidak punya waktu banyak kali ini." Aku meninggalkan mereka dengan cepat meskipun mereka akan mengejarku.
"Tunggu!"
"Jangan pergi!"
Aku keluar dari toilet wanita dan melirik seorang pria yang dari tadi menungguku di toilet wanita. Tatapannya kosong begitu aku memohon padanya untuk menolongku.
"Hei! Tolong aku! Aku tidak ingin didandan lagi!"
"Eh? ..." Dia hanya dia saja, lelaki berkulit hitam dan berambut hitam rapi hanya terdiam, tidak menolongku dari ganasnya dua gadis itu.
"Tolong! Aku tidak mau masuk lagi. Tolong aku!"
Namun, permintaanku ditolak. Kedua gadis itu meraih tubuhku dan memperlakukanku seperti boneka lalu melukisnya dalam 15 menit.
Dia menahan tawanya, membuat harapan yang palsu karena tidak ingin melewatkan momen itu. Lelaki itu tidak kan menolongku.
"Apa? Jangan bercanda! Nyawaku dalam bahaya. Aku tidak mau ..." Tubuhku diseret masuk ke toilet perempuan, untuk didandani seperti Tuan Putri yang cantik.
"Ayo! Pangeran harus menuruti perintah gadis jelata untuk sementara waktu."
"Jangan khawatir! Aku tidak akan
"Jangan! Aku masih mau hidup!
"Tidak!"
[***]
Kedua gadis itu sangat senang, mendapatkan lukisan yang diinginkan dan menyita celana akademiku. Mereka merapikan alat dandan mereka dan meninggalkan toilet perempuan dan menuju ke kelas.
Terpaksa aku harus mengenakan rok lagi.
Aku keluar dari toilet perempuan, suram dan kehilangan harapan. Harga diriku sudah diinjak dua kali. Tak lama kemudian, lelaki itu mendatangiku, membuat ekspresi yang berbeda dari sebelumnya.
"Ri-chan!" Lelaki itu memanggil namaku, panggilan seorang gadis yang manis.
Aku menoleh padanya, wajahku terasa indah dipandang namun berbeda dengan suasana hatiku saat ini.
"Apa yang kau katakan tadi?"
"Ri-chan."
"Berhenti memanggilku seperti anak perempuan. Itu memalukan."
Denis tertawa. "Ri-chan memang cantik."
Aku menepuk dahi, reaksi lelaki itu membingungkan. Berubah sejenak hanya karena mendapatkan pengalaman yang aneh adalah ketidakberuntungan.
"Sudahlah. Kita ke kantin sekarang, Denis. Aku lapor sekali." Daripada berpikir secara kritis, lebih baik ke kantin bersamanya.
"Tapi, bel akademi barusan berbunyi. Makasih, Ri-chan atas hiburannya. Aku ke kelas dulu."
"Tapi, ..." Sudah terlambat, Denis sudah berjalan menjauhiku karena kelas berikutnya akan dimulai.
Sudahlah! Nasib buruk ini selalu menimpaku,