Matahari bersinar meskipun dihadang matahari. Banyak remaja yang masih bermain di luar rumah sambil menghabiskan waktu yang tersisa di akhir pekan.
Akhir pekan yang cukup menyenangkan bagi para gadis, melupakan pekerjaan yang memberatkan dan menjalani hubungan bersama beberapa teman.
Di lain sisi, aku berpisah dengan Neesan karena dia memiliki pekerjaan yang mendadak. Meskipun begitu, kami sudah puas. Hubungan kami menjadi lebih baik.
Sebelum di pergi, dia memberikan ciuman padaku dan mengucapkan selamat tinggal padaku. Aku terdiam beberapa saat dan menahan malu akibat ciuman tersebut.
Akhirnya, keberadaan Neesan sudah tidak ada lagi. Dia semakin menjauh dariku. Gaun yang anggun sudah tidak terlihat lagi di pandanganku, menghilang
Sekarang, aku memilih waktu yang tersisa untuk pulang dan membersihkan apartemenku. Segera dirogoh saku celana dan membuka buku kecil untuk dibaca sepanjang perjalanan.
Di tengah perjalanan, ada seorang gadis yang bertemu denganku secara tiba-tiba. Gadis itu bertemu denganku secara bersamaan, membawa barang belanjaan pada akhir pekan.
Secara tidak sengaja, kedua mataku mengabaikan tulisan di buku kecil dan memberi perhatian pada gadis itu. Kami tidak bisa mengabaikan satu sama lain.
"Rivandy?" Gadis berkuncir kembar memanggil namaku.
"Aurora. Kamu darimana saja? Aku baru saja pulang dari restoran elit. Itu sedikit merepotkan."
"Aku sudah meninggalkan pasar untuk membeli bahan makanan." Aurora memasang wajah kelelahan, cukup merepotkan berada di pasar beberapa jam.
"Oh begitu. Aku sudah
"Oh iya Rivandy. Apakah kamu sedang sibuk?"
"Sebenarnya, sibuk. Aku harus membersihkan apartemenku dan istirahat." Aku menjawab jujur, bibirku terucap begitu saja.
Namun, tanpa disadari Aurora mengeluarkan ekspresi yang imut, menyembunyikan perasaan sekaligus membiarkanku pulang. Tapi, dia membuat gestur yang mencurigakan.
"Tidak apa-apa kalau sibuk. Aku bisa pulang sendirian." Aurora merespon jawabanku yang berbanding terbalik dengan perasaannya.
Aura yang manis tidak bisa ditolak begitu saja. Mata bersinar membohongi ucapan. Aku tidak bisa membiarkan gadis manis seperti Aurora ditinggal sendirian.
"Baiklah. Aku akan ikut denganmu." Terpaksa, aku mengalah karena tidak ingin merusak perasaan gadis, laki-laki selalu salah.
"Ayo. Kita ke taman." Ekspresi wajah Aurora berubah menjadi bahagia, sampai memelukku dan tidak mau dilepaskan.
"Oke. Kita akan menghabiskan waktu bersama." Suara hembusan melayang di udara, merelakan waktu tersisa hanya untuk menemani Aurora.
Kami berjalan seperti seorang pasangan kekasih yang baru, bergandengan tangan dengan serasi dan memandang satu sama lain. Tidak ada yang lain.
[***]
Taman Gorcyed, taman yang indah dengan berbagai macam bunga bermekaran, berbagai pohon yang terpelihara, dan danau yang bersih dan terawat.
Kami tiba di taman, cuaca taman cukup berawan, kadang panas. Tapi, anginnya sejuk.
Setibanya di pohon taman, seorang gadis mengenakan syal bergegas mendatangi kami dan memberikan sambutan yang indah karena sudah datang ke taman pada akhir pekan.
Kami berdua menemukan gadis itu. Rok pendek dan syal merah dipakainya. Rambut cokelat sebahu memberikan senyuman musim gugur.
"Kalian disini rupanya." Akishima berlarian di depan kami, memberikan sambutan pada akhir pekan.
"A-Akishima." Kami membalas sambutan itu serentak, namun Akishima langsung mendekati Aurora dan memberikan sejumlah pujian.
"Kerja bagus! Kamu sudah mengajak Pangeran ke sini. Aktingmu bagus juga." Pujian Akishima disertai dengan sebuah elusan di kepalanya.
"Jangan begitu! Aku malu." Aurora menahan malu atas pujian tersebut.
Aurora ternyata diperalat. Dia dipaksa akting sedari tadi agar aku tidak bisa menolak permintaannya. Rasanya cukup menyakitkan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
"Apa yang kau lakukan? Kau memanfaatkan Aurora agar aku datang ke sini?" Aku memperjelas maksud dari gadis syal itu.
"Tentu saja. Aku menyukai bakatnya" Tanpa rasa bersalah, ia menjawab untuk mengembangkan bakat.
Sedikit kesal dengan pertanyaan itu. Dia memanfaatkan Aurora agar waktuku terbuang lebih banyak. Tidak ada alasan yang kuat untuk tetap di taman. Jadi, aku harus pulang.
"Aku pulang saja. Aku sedang sibuk." Aku memutuskan untuk pulang dan menghiraukan Akishima.
"Tunggu dulu! Kau tidak boleh pergi!" Akishima berusaha mencegahku pergi, meskipun tidak bisa.
Sebelum pergi, Evelyn dan Sheeran memelukku dengan cepat, badanku terasa berat karena mereka selalu melengket padaku.
"Rivandy! Akhirnya, kamu datang, desu!" Evelyn mencegahku pulang, tidak mau ditinggalkan oleh pangeran sepertiku.
"Darling! Aku selalu menunggumu. Kamu jangan pulang dulu!" Sheeran juga, aroma gadis manis menghentikan niatku.
"Akishima! Kau ..." Tatapanku berada pada seorang gadis yang licik, di samping Aurora.
Akishima menertawakan kekalahanku. Ia menyeringai kemenangan. "Hehehehe. Aku punya rencana cadangan. Jadi, kau tidak bisa lari lagi."
"Rivandy. Jangan pergi! Aku mohon." Aurora masih memohon dengan mata indah dan menawan.
Sudahlah. Aku tidak bisa pergi dari taman ini. Mata berkaca itu membuatku mual dan mengalah. Mungkin aku bisa mengatur jadwal lagi.
"Baiklah. Mungkin aku akan menemani kalian. Aku punya sedikit waktu." Lebih baik mengalah kepada gadis daripada mementingkan egoku. Lagipula, aku butuh udara segar di taman.
Akhirnya, kami memutuskan untuk piknik di taman, bersandar di pohon sambil menyantap makanan dan bergosip ria. Jarang sekali mengerjakan tugas akademi di taman. Itu bisa dikerjakan setelah akhir pekan.
[***]
Ketika ketiga gadis sedang menikmati waktu mereka, aku memutuskan untuk bersandar di pohon sambil membaca buku kecil untuk mengisi waktu luang.
Namun, Evelyn diam saja, mengabaikan obrolan gadis mereka dan mulai memperpendek jarak kepadaku. Bola matanya terdiam beberapa saat, pipinya mulai mengembung.
Aku agak terganggu dengan tatapan iri Evelyn, menyebabkan tidak fokus membaca. Alhasil, tulisan di buku kecil terabaikan oleh seorang lolita.
"Ada apa Evelyn? Kau memperhatikanku terus menerus." Kedua mataku mengarah ke Evelyn, penasaran dan ingin bicara.
"Kau curang, desu. Aku tidak pernah melihat siswa setinggi menara, desu." Evelyn memuji sekaligus menyindirku.
"Kau selalu bekerja keras dan tekun, desu. Tapi, tidak pernah sakit, desu."
Persoalan Evelyn cukup rumit. Bukan berarti aku bisa tenang dan berbicara pada seorang gadis pada umumnya. Dia cukup penasaran dengan tubuhku.
"Oh, begitu. Aku belum merasakan sakit apapun. Sebenarnya, aku memang jarang tidur tapi selalu sehat."
"Bagaimana caranya, desu? Aku ingin tahu, desu."
"Pertama. Sempatkan tidur selama 15-20 menit di siang hari. Kedua, mengonsumsi banyak sayuran dan buah-buahan. Terakhir, sering olahraga dan relaksasi. Aku sering relaksasi di dalam apartemen."
"Oh iya. Soal tinggi badan, aku memang tidak tahu. Mungkin itu dari lahir."
"Kau pembohong, desu. Aku sudah minum susu tapi tidak meningkat, desu." Evelyn menuduhku seperti Lyffia, seorang gadis yang suka berbohong di dongeng Lyffia Si Pembohong.
Obrolan dengan Evelyn terasa sulit, harus memikirkan apa yang harus dikatakan agar tidak menyakiti hati Evelyn.
"Itu ... belum cukup. Kau harus tidur dengan cukup. Kau bisa olahraga untuk menaikan tinggi badanmu."
Kami meneruskan obrolan panjang dan melelahkan. Tapi, tetap dijawab. Meskipun begitu, Evelyn tidak mau kalah dan terus menyerang dengan pertanyaan.
Ketika obrolan para gadis sudah berakhir dengan beberapa pertengkaran karena topik pangeran, mereka ingin membuka kotak makan siang dan berniat untuk menyuap. Namun, mereka semua terdiam lalu tidak percaya dalam beberapa detik.
"Rivandy?! Apa yang kau lakukan?" Akishima berteriak dan menunjukku dengan tangan telunjuk.
"Tidak ada. Evelyn hanya menyuruhku untuk menghabiskan semua sayur ini." Mulutku merespon pertanyaan sambil disuap Evelyn.
"Rivandy. Habiskan ini, desu! Masih ada banyak lagi, desu." Evelyn mengarahkan sendok ke arah mulutku tanpa merasakan keanehan apapun.
Tidak hanya Akishima, Aurora dan Sheeran merasakan kepedihan. Hati mereka hancur karena suapan dari anak kecil itu. Seakan-akan harapan mereka hancur begitu saja.
"Tidak! Kau tidak boleh menerima suapan itu begitu saja." Akishima menolak mentah-mentah, merasa dikalahkan gadis lolita.
"Kenapa? Dia ingin aku menghabiskan semuanya."
Karena jawabanku yang bodoh, menyebabkan Akishima mendapatkan ide yang cemerlang.
"Yosh! Aku ingin semua gadis di sini untuk melakukan permainan yang seru. Yang menang, dia bisa menyuap Rivandy sampai puas."
"Kita akan main Permainan Gunting Kertas dan Batu!"