Chereads / Nier / Chapter 4 - Anak yang Berbeda

Chapter 4 - Anak yang Berbeda

"Hop ... hop ... riangnya hati, seperti daun-daun bergemerisik ceria yang mengiringi rerumputan melambai dengan ramah ... inilah negeri zamrud di sebelah barat Marrow Land ... yang dihuni ras-ras baik hati ... yang penuh sukacita ... yang lucu dan menggemaskan ... serta cinta kedamaiaan ... inilah Greenwood Forest." Nier bersenandung riang, sambil berjalan dan melompat. Sesekali tangannya meninju udara, kadang membentang ke samping.

Pertemuan dengan Hob dan Fikk selalu membuatnya bahagia. Tidak ada yang bisa membuatnya tergelak, tak jua terhibur, melainkan bermain bersama kedua sahabatnya dari Ras Pikk dan Kob tersebut. Kesedihan pun dapat lenyap seketika, jika melihat polah lucu mereka. Sayang, hanya merekalah yang mau menjadi temannya, sementara yang lain menganggapnya seperti kubangan kotor. Demikian pula dengan Penjaga Gerbang yang selalu mencibir Nier manakala ia melewati mereka. Namun, sukacita yang bergemuruh dalam hati Nier, membuatnya berusaha tak perduli. Bagaimanapun juga ia selalu menjulurkan lidahnya diam-diam pada para penjaga tersebut.

"Bukan salahku jika memang aku berbeda, kan?!" gerutu Nier, merasa kesal.

Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya ia tiba di tepi sungai yang merupakan tempatnya bermain bersama Hob dan Fikk.

"Uuh ... mereka belum sampai di—wuaaa!" Nier terkejut melihat naga mungil sebesar lengan, tergantung terbalik di hadapannya. Sedetik kemudian ia sadar kalau itu ulah kedua sahabatnya yang usil.

"Hahahaha! Lucu sekali!"

"Hoooob! Fiiiikk!" geram Nier seraya melihat Pikk bermahkota kuning, dan Kob berbulu biru sedang tertawa terbahak-bahak. "Graaaaaah ... awas kalian jika berhasil kutangkap!"

Hob dan Fikk berjumpalitan, berkelit dari kejaran sambil meledek Nier. Namun, Nier sangat cerdik, sedikit sihir yang diajarkan Madam Runa pun dilepaskan dan menjatuhkan dahan pohon yang menimpa kedua sahabatnya.

"Ini pembalasanku!" Nier menggelitik kedua sahabatnya yang terpingkal-pingkal keras sambil berguling-guling.

Begitulah persahabatan mereka yang selalu diisi keceriaan dan keriangan. Namun, suasana itu tiba-tiba terusik dengan kedatangan beberapa anak lain di sana.

"Wah, wah ... lihat itu si rambut ungu dan kedua temannya yang konyol!" seru seorang anak Moon Elf laki-laki berpakaian bangsawan pada teman-temannya. "Baru bisa sedikit sihir sudah unjuk muka! Sekarang lihat sihirku!" Anak itu pun melesatkan tiga cahaya perak dari bukunya, yang menghempaskan Nier, Fikk dan Hob. Alih-alih merasa cukup, ia kembali melesatkan cahaya yang menerjang lumpur, hingga percikannya mengotori ketiganya. Sontak kawan-kawan anak itu pun tertawa keras.

Bukan main kesalnya perasaan Nier. Ia menatap tajam pada anak-anak tersebut sembari menghimpun cahaya di tangannya.

Melihat hal itu, Hob memegangi tangan Nier, seraya berbisik, "Dia seorang Pangeran, jangan membuat masalah Nier."

"Hob benar, bukan hanya kita, orang tua kita juga akan tertimpa amarah Raja Elijore," tukas Fikk, menggenapi kata-kata Hob.

Perlahan-lahan cahaya di tangan Nier meredup. Ia pun mengurungkan niat.

Tapi hal itu tak luput dari penglihatan anak Moon Elf perempuan. "Hah! Mau melawan? Jangan harap!"

Sedetik kemudian kilat menerjang ketiganya, dan gelak tawa teman-temannya pun kembali terdengar. Gelak tawa itu terasa lebih menyakitkan dibanding dihempaskan oleh sihir mereka.

"Hei, kalau kalian tahu diri lekas pergi dari sini! Atau bukuku akan memberi kalian pelajaran sekali lagi!" ucap anak perempuan tersebut dengan pongah.

"Nier, Hob, ayo kita pulang saja daripada menjadi bulan-bulanan," bisik Fikk, yang segera dijawab anggukan Hob.

Kendati setuju dengan kedua sahabatnya, Nier tak ingin harga dirinya semakin dilecehkan. "Erol, Fur dan kalian semua! Suatu saat akan kubalas kalian!"

Ancaman Nier justru semakin memantik tawa mereka lebih keras dari sebelumnya. Kalau tidak berdampak buruk pada teman dan Madam Runa, sudah pasti Nier melawan mereka. Akhirnya ia memilih meninggalkan tempat itu bersama Hob dan Fikk.

"Kita mau bermain di mana lagi?" tanya Nier penuh harap.

"Kurasa hari ini sudah cukup Nier," jawab Hob.

"Benar. Selama bermain di dalam pagar kerajaan, mereka pasti mengganggu kita lagi. Besok kita cari tempat aman untuk bermain."

Dengan berat hati Nier mengangguk. Waktu yang ia nanti-nantikan harus terhenti akibat ulah Erol dan kelompoknya. Nier melangkah dengan gamang. Ia tak ingin Madam Runa mengetahui kejadian tadi karena pasti akan membuatnya sedih. Agar Madam Runa tidak mencurigai ada masalah, Nier memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Dan seperti biasa, sungai di luar pagar merupakan tempatnya menyendiri jika mengalami masalah.

"Kenapa aku berbeda?" gumam Nier dengan suara getir sambil bercermin di air sungai yang jernih. Nier meremas batu kapur yang rapuh di sebelahnya, kemudian mengoles rambutnya hingga menjadi putih. "Sekarang aku sama seperti kalian," ucapnya, memandang nanar bayangannya pada sungai.

Beberapa saat kemudian tubuhnya dirayapi hawa panas lalu mengeluarkan asap yang perlahan-lahan membungkus tubuhnya sebelum memudar. Nier berdiri dengan mata merah menyala. "Darah ... aku ingin darah ..." gumam Nier, seraya berjalan memasuki hutan.

Suramnya hutan kala itu, tak sebanding dengan muramnya hati Nier. Sayang, dukanya menyulut petaka sebagian penghuni hutan Greenwood Forest yang tak beruntung menampakkan diri di hadapan Nier.

***

"Nier!! Nier!!" Madam Runa berteriak memanggil Nier, tetapi tak kunjung mendapat jawaban. "Ini sudah malam, tapi ia belum juga pulang ... aneh ...," gumamnya, lantas meraih mantel tebal yang tergantung di balik pintu.

Kendati tak tahu keberadaan Nier, ia bertekad mencarinya sampai dapat, bahkan jika harus menyisir setiap jengkal Marrow Land, dan mengarungi marabahaya. Wajar jika Madam Runa cemas. Selain masih anak-anak, ia hanya mengajarkan satu sihir pada Nier untuk menjaga diri. Sifat dasar Nier yang temperamental, menjadi sebab Madam Runa berhati-hati menurunkan ilmu padanya. Namun kalau sampai terjadi sesuatu pada Nier, tentu ia akan menyesal.

Usia Madam Runa sudah makin tua, tongkat penyangga pun menjadi temannya berjalan menyusuri hutan gelap. Sesekali menyibak kabut yang menghalangi pandangan. Malam itu, hutan tampak berbeda dari biasanya. Suram dan tak bersahabat, juga sunyi dan dingin. Hanya sesekali terdengar suara lolongan serigala yang justru menambah kesan angker hutan tersebut. Belum pernah Madam Runa merasakan nuansa hutan semencekam sekarang. Tiba-tiba terlintas firasat buruk yang tidak bisa ia tepis.

Baru saja firasat itu terlintas, ia mendengar suara keras dari balik pepohonan. Ia pun segera berlari mendekatinya. Betapa terkejutnya Madam Runa melihat Nier sedang berdiri kukuh bersimbah darah. Di sekelilingnya serpihan mayat-mayat Land Blue Shark berserakan, dan menjijikkan. Namun yang lebih mengejutkannya, ketika darah monster-monster tersebut melayang lalu terserap ke dalam tubuh Nier.

"Nier ...," gumamnya, bergidik ngeri. Suaranya tak cukup lirih, sehingga Nier menoleh padanya.

"Darah ... aku ingin darah!" Nier melompat dan menerjang Madam Runa dengan kecepatan bagai kilat. Cakar-cakarnya siap merobek Madam Runa.

Perasaan Madam Runa campur aduk antara cemas sekalgus kengerian. Namun, tak ada cara lain selain menghadapi gadis yang sudah dianggap sebagai anaknya itu.

***