Chereads / Nier / Chapter 10 - Kemarahan Fikk

Chapter 10 - Kemarahan Fikk

Sementara itu di dalam hutan Greenwood Forest. Wilz tampaknya baru saja selesai mengajarkan sihir terakhir pada Nier.

Sambil menyeka keringat di dahinya, Nier berkata, "Ini sihir tersulit yang kupelajari, Teru. Butuh waktu dari sore sampai petang seperti ini untuk dapat kukuasai."

"Tidak Nier. Jika orang lain belum tentu bisa menguasainya. Kecerdasan dan bakatmu memang luar biasa," puji Wilz, dengan sungguh-sungguh.

"Baiklah Teru, aku menagih janjimu sekarang," ujar Nier, sambil tersenyum lebar.

"Tapi jangan pernah mengatakan pada siapa pun," kata Wilz, memberi syarat.

"Kenapa?" tanya Nier heran.

"Karena wajahku buruk, dan aku tidak suka dengan namaku," ucap Wilz berdalih, dan dijawab dengan anggukan oleh Nier.

"Jangan terkejut jika melihatku. Hup!" Kemudian Wilz berputar di tempat seperti gasing. Perlahan-lahan pakaiannya berubah menjadi hitam, wajahnya yang jenaka pun berubah menyeramkan. Separuh berwajah Moon Elf, dan separuh lainnya tengkorak. Ya dialah penguasa sisi gelap negeri zamrud, Dark Woodland, yang bernama ….

"Eruv, itulah namaku yang sebenarnya," kata Wilz yang bernama asli Eruv, seraya menyeringai menyeramkan.

"Eruv? Rasanya aku pernah mendengar nama itu," tukas Nier, mencerna ingatannya.

Eruv tersenyum, dan kembali berkata, "Nama yang pasaran, siapa pun bisa menggunakan nama itu Nier."

"Ah, ya sudahlah. Sekarang Teru hendak ke mana setelah selesai mengajariku seluruh sihir?"

"Tentu saja ke tempat tinggalku. Tapi kamu tidak akan tahu di mana letaknya. Jangan khawatir, sesekali aku akan datang berkunjung."

"Aku menunggu saat-saat itu, Teru," ujar Nier sedih.

Eruv mengangguk. "Sampai bertemu lagi, Nier. Kamulah karyaku yang akan mengguncang Greenwood Forest! Hahaha!" Seiring tawa mengerikan itu, Eruv pun melesat menerobos pepohonan.

Eruv berkarya dengan keangkuhan dan rasa dengki. Mentransfer segala kebenciannya pada Nier, melalui perencanaan penuh angkara. Yang kelak akan menggunang Marrow Land.

***

Sembilan tahun berlalu, Nier tumbuh menjadi seorang gadis yang menjelang dewasa. Pada usia tersebut, kecantikannya mulai meranum. Rambutnya yang berwarna ungu, terlihat indah dan berkilau. Tanduknya yang dulu hanya sejengkal, kini elok bak mahkota yang menghiasi kepalanya. Wajahnya tak lagi bundar, dan berubah menjadi oval. Parasnya yang sedari dulu cantik, sekarang semakin cantik dan anggun. Matanya lebar dan berhias bulu mata yang lentik, hidungnya mancung dan pipih, bibirnya tipis dan segar. Dengan sederet atribut tersebut, pantas jika dikatakan kecantikannya sempurna.

Apalagi ditunjang dengan lekuk tubuhnya yang elok bagai gelas bertangkai, membuat Nier layak menjadi idola para laki-laki.

Tapi tidak. Ras-ras di Greenwood Forest masih enggan mendekatinya. Bagi mereka, asal usul Nier yang tidak jelas, membuat mereka resah. Mereka tak ingin kedamaian yang berlangsung selama ratusan tahun, terancam rusak begitu saja. Tentunya hal itu tidak berlaku bagi Hob dan Fikk, yang masih menjalin persahabatan dengan Nier. Seperti halnya Nier, keduanya pun telah memasuki usia yang sama. Hob sekarang bertinggi seratus enam puluh sentimeter— lebih tinggi dari rata-rata ras Kob pada umumnya. Warna bulunya pun lebih gelap dibandingkan ketika ia masih kanak-kanak. Sementara itu tinggi Fikk tak mengalami pertumbuhan berarti. Namun kelopak bunga pada kepala serta kulitnya, kini menjadi lebih gelap. Ketiganya masih senang bermain bersama, kendati permainan yang mereka lakukan jauh lebih menantang dibandingkan sebelumnya. Terutama Nier, yang mengambil kesempatan bermain untuk melatih kemampuannya diam-diam.

Saat itu hari masih pagi, ketika ketiganya mengayun sambil memegang tali di antara pepohonan.

"Hob, sampai mana tali ini kamu pasang?" Fikk bertanya pada Hob, yang mengayun di sebelahnya.

"Seperti biasa Fikk, kupasang sampai air terjun."

"Hei! Coba kejar aku!" seru Nier, dari kejauhan.

Nier mengayun cepat meninggalkan kedua sahabatnya di belakang. Kecepatan Nier bukan hanya karena kemampuannya mengayun, melainkan juga disebabkan kemampuan meringankan tubuhnya yang luar biasa.

Ia sengaja meninggalkan kedua temannya agar diam-diam dapat melatih sihir yang dipelajari dari Eruv.

"Hmm ... mereka sudah jauh di belakang." Nier menggumam, seraya mengumpulkan energi di tangannya.

"Twister Blood!" seru Nier, melemparkan bola energi yang membuat pohon di sebelahnya roboh. "Kalau Fikk tahu, ia pasti marah padaku, karena sudah merobohkan pohon."

Namun tanpa ia ketahui, di atas pohon itu terdapat Monyet-monyet Troll yang sedang mengintai mangsa untuk dijarah.

"Uups ... aku mengusik mereka. Dan sekarang mereka mengejarku. Kebetulan, aku bisa melatih sihir, sekaligus membasmi Monyet-monyet Troll yang jahat itu." Nier membatin, sembari memperlambat laju ayunannya.

Monyet-monyet Troll mengejar dengan cepat, jarak antara mereka dan Nier pun semakin dekat. Tapi memang itulah yang Nier tunggu. Ketika Para Monyet Troll sudah berada dalam jangkauan, Nier mengeluarkan sihir Purple Blood, yang menghancurkan mereka hingga menjadi debu.

"Ha! Rasakan Purple Blood-ku monyet-monyet jahat!" seru Nier, senang.

Kemampuan sihir Nier kini semakin hebat. Sayang, ia tak pernah memiliki kesempatan menguji kemampuannya pada monster yang tangguh. Namun, saat menguji kemampuannya sebentar lagi tiba.

Nier mendarat pada sebuah dahan. Ia pun memandang sekumpulan orang yang berada di bawahnya.

"Erol dan teman-temanya ... sedang apa mereka?" batin Nier, seraya memperhatikan dari atas pohon.

Erol tampak sedang memamerkan sihir pada teman-temannya. Kemampuan sihir Erol memang luar biasa. Wajar, selain berbakat, ia pun dilatih secara langsung oleh Raja Elijore.

Bola-bola cahaya putih berhasil memporak-porandakan pohon-pohon di sekitarnya. Suara riuh rendah terdengar dari teman-temannya yang merasa takjub. Pun sama halnya dengan Nier, yang kagum dengan kemampuan Erol.

"Sihirnya luar biasa ... tapi siapa lebih kuat di antara aku dan Erol?" gumam Nier.

"Hei, Nier! Sedang apa kamu di atas pohon ini?" tanya Hob, yang baru saja datang, seraya mendarat di samping Nier.

"Ssst ... jangan bersuara," bisik Nier, sembari melemparkan pandangan ke bawah.

"Erol dan teman-temannya ..."

Tak lama kemudian, Fikk tiba dengan napas terengah-engah. "Kalian selalu saja saja meninggalkan—"

"Fikk, kecilkan suaramu." Nier menginterupsi, seraya menunjuk ke bawah.

Fikk mengangguk, lalu bersama-sama menyaksikan pertunjukan Erol dari atas pohon.

Selama beberapa saat, mereka berada di sana. Hob dan Nier terpukau melihat sihir-sihir Erol, tapi tidak dengan Fikk.

"Kurang ajar! Apa salah pohon-pohon itu sehingga dihancurkan olehnya?!" geram Fikk.

Fikk merasa sangat marah. Dadanya bergemuruh, cairan dalam tubuhnya seakan mendidih sampai menjalar ke kelopak bunganya. Sebagai Ras Pikk, melihat tanaman-tanaman disakiti, tentu membuatnya jengkel.

"Tenanglah Fi—"

Terlambat, peringatan Nier sama sekali tak digubris oleh Fikk yang merasa emosinya membuncah, dan langsung melompat turun.

"Erol! Hentikan perbuatanmu! Apa yang kamu lakukan sudah keterlaluan!" Fikk membentak Erol, penuh amarah.

Erol dan teman-temannya pun terhenyak, lantas menoleh pada Fikk.

"Ah, si Tanaman Kerdil,cemooh Erol dengan pongah, yang diikuti dengan gelak tawa teman-temannya. "Jadi kamu tidak terima kalau aku ..." Erol tak melanjutkan kalimatnya, dan langsung melesatkan cahaya-cahaya putih yang menghancurkan pepohonan.

***