Sementara itu, di dalam Dark Woodland. Kabar peristiwa yang terjadi pada Nier pun telah sampai pada Eruv.
"Cru, jadi kekuatan Nier sudah hampir sempurna?" suara parau Eruv menyiratkan perasaan puas di dalam dadanya.
"Kaaak ... benar Tuan Eruv ... kaaak ... hanya tinggal ... kaak ... menunggu sayapnya muncul ... sebentar lagi Tuan ... kaaak ... karena tadi otot-otot di punggungnya ... kaak ... berkontraksi hebat ... kaak ..." terang Cru, yang baru saja tiba di depan kastil.
"Hmmm ... rupanya energi besar yang dikeluarkannya, menyebabkan proses kontraksi bekerja lebih cepat ..." ucap Eruv, sambil mengusap Wormzy. "Pengorbanan anakmu tidak sia-sia Wormzy. Sekarang Nier bebas berada di dalam kerajaan— sesuai rencanaku! Ha ha ha!"
Gema tawa Eruv terdengar sampai seluruh pelosok negeri kegelapan tersebut, seakan menandai awal dari nestapa yang akan menimpa Greenwood Forest, sekaligus mengubah jalan hidup Nier yang bersimbah darah. Namun, bukan hanya Greenwood Forest yang terancam, setiap jengkal Marrow Land pun akan berguncang. Nier ... ya, dialah yang menjadi tokoh sentral dari semua malapetaka yang akan menimpa Marrow Land. Poros dari segala duka yang melanda setiap ras. Sayang, gadis itu demikian polos sehingga mudah terperangkap dalam rencana kejam yang dipelihara Eruv. Kalau tidak, tentu jalan hidupnya akan berbeda.
***
Di kala pagi hari, cahaya mentari yang keperakan, menerpa dedaunan zamrud di kerajaan mahsyur, Greenwood Forest. Angin pun mengembus dengan ramah, menyapa para Moon Elves, Pikk, dan Kob yang terlihat sibuk menyambut Penganugerahan Gelar Kepahlawanan. Sebuah penyematan kehormatan pada Nier— sosok yang tak pernah terbayang oleh mereka akan mendapatkan gelar agung tersebut. Sosok yang sebelumnya mereka takuti akan membawa kemalangan pada negeri damai itu.
Namun kini mereka menyongsong pergelaran dengan sukacita. Nier mendadak menjadi sosok yang populer. Kejadian kemarin, tak henti-hentinya menjadi bahan obrolan hangat di antara penduduk. Pun para pedagang, menjual pernak-pernik bertemakan Nier. Dari mulai topeng, hiasan kepala berbentuk tanduk, sampai wig berwarna ungu, tersedia di pasar yang berada di alun-alun.
Kontras dengan kegembiraan yang tampak di sana, Hob dan Fikk terlihat murung saat duduk di sebuah pohon rindang.
Fikk menghela napas, seraya menatap rerumputan dengan tatapan kosong. "Hob, kenapa Nier tidak bercerita pada kita?" tanya Fikk.
"Entahlah Fikk. Mungkin ia tak ingin kepandaiannya dalam sihir, membuat kita takut dan menjauh," jawab Hob, yang terlihat sedih.
"Tapi kalau dia memang menganggap kita sahabatnya, seharusnya tidak ada yang disembunyikan dari kita, kan?!"
Hob diam sesaat, dan mencerna kata-kata Fikk. "Kamu benar. Aku pun merasa kecewa pada Nier. Berarti selama ini, dia tak menganggap kita sahabat."
"Aku jadi enggan menghadiri penganugerahan gelar kepahlawanan," tukas Fikk, merasa kecewa.
"Lantas kita mau ke mana?" tanya Hob.
"Hutan. Lebih baik berada di sana, daripada menghadiri acara tersebut," usul Fikk.
"Bagaimana kalau kita berangkat sekarang?"
Fikk mengangguk, lantas berdiri. "Ayo, kita ke hutan sekarang."
Perasaan sakit yang dirasakan Hob dan Fikk memang dapat dipahami. Terlebih lagi, persahabatan mereka sudah terjalin selama belasan tahun. Sebelumnya tidak ada satu pun kisah yang mereka tutupi satu sama lain.
Sebenarnya Nier ingin membagi kisahnya, hanya saja hal itu terlarang. Apalagi selama ini, saat punggungnya terasa sakit, ia tidak bisa berkeluh kesah pada kedua sahabatnya. Nier justru merasakan sakit, lebih dari yang dirasakan Hob dan Fikk. Sebab tidak hanya hatinya, tetapi juga tubuhnya yang meradang.
Seperti saat ini, ketika tubuhnya gemetar merasakan hawa dingin yang menusuk-nusuk punggungnya. Kulit Nier terlihat semakin pucat— bahkan hampir seputih garam. Giginya pun bergemeletak, mencoba menahan hawa tajam yang menyayat kulitnya. Penderitaan itu tak urung membuat Nier mengerang kesakitan.
"Bagaimana Devor?" tanya Madam Runa, terlihat cemas.
Perempuan Elf berambut pendek, tidak segera menjawab. Ia pun menghangatkan punggung Nier dengan sihir pengobatan. "Aku tidak tahu penyebab rasa sakit di punggungnya. Tapi sihirku nanti akan menurunkan demamnya sebelum sore hari." jawab Devor, setelah selesai menghangatkan punggung Nier.
"Jadi, apakah kita perlu menunda pergelarannya?" tanya Raja Elijore yang juga berada di sana.
"Kupikir lebih baik demikian, Yang Mu—"
"Ja— jangan ... aku sa— sangat menantikannya ..." ucap Nier, menginterupsi dengan suara bergetar.
Madam Runa dan Raja Elijore saling bertukar pandang.
"Devor, bagaimana menurutmu?" tanya Raja Elijore.
Devor mengangguk, lantas berkata, "Ikuti saja keinginannya. Kurasa Nier akan benar-benar pulih sebelum pergelaran dimulai."
"Baiklah. Kalau begitu aku akan memerintahkan agar persiapan tetap dilakukan," tukas Raja Elijore, kemudian keluar dari dalam kamar megah yang berada di istananya.
"Madam Runa. Aku juga harus memeriksa pasien lain." Devor berkata, seraya berdiri.
Madam Runa mengangguk dan tersenyum ramah. "Terima kasih Devor. Kalau ada sesuatu yang genting aku mohon bantuanmu lagi."
"Jangan sungkan, Madam Runa." Usai berkata demikian, Devor berlalu meninggalkan Madam Runa dan Nier di dalam kamar.
Madam Runa menghela napas, sembari mengusap kening Nier. Matanya berkaca-kaca melihat keadaan Nier yang terkulai lemah di atas ranjang.
"Nier apa yang terjadi padamu? Apakah hawa jahat kembali mengganggu? Tapi, bukankah kalung pencegah hawa jahat masih menggantung di lehermu? Lantas dari mana kamu mempelajari ilmu sihirmu? Nier ..." batin Madam Runa, merasa sedih, sekaligus tak berdaya.
Dulu ia pergi ke utara dan mengambil Jamur Orc Merah untuk membuat mustika pencegah hawa jahat. Mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan Nier, bukanlah hal yang tabu bagi Madam Runa. Tapi kini, ia tidak tahu apa yang bisa dilakukannya untuk membantu Nier.
Apalagi, terlalu banyak misteri seputar Nier yang belum terjawab. Kekhawatiran pun menyeruak di dalam batinnya. Meski demikian, di antara semua kecemasan, kesembuhan Nier adalah hal yang utama. Madam Runa tak ingin sesuatu yang buruk menimpa anak yang sedari kecil ia rawat bagaikan anak kandungnya.
Waktu terasa lambat berlalu bagi Madam Runa. Namun, selang beberapa lama kemudian kondisi Nier berangsur-ungsur membaik. Kulitnya kembali cerah, demamnya pun turun.
Perlahan gadis cantik itu mengerjap, sebelum akhirnya membuka mata. "Ur. Apakah aku belum terlambat?" tanya Nier, dengan suara lirih.
Madam Runa menguntai senyuman hangat, lantas menjawab, "Sebaiknya acara itu ditunda, sampai kondisimu kembali pulih."
"Tidak Ur. Seumur hidup aku belum pernah mendapatkan perlakuan seperti ini. Inilah yang kudambakan selama bertahun-tahun. Lagipula aku sudah merasa segar," ujar Nier, seraya mengangkat badan, lalu menyandarkan punggungnya.
Madam Runa diam sejenak, dan mencerna ucapan Nier. Ia tahu bahwa bagi Nier, meraih pengakuan dari penduduk Kerajaan Greenwood Forest adalah sebuah impian. Bertahun-tahun Nier melintasi waktu dengan pandangan buruk di sekitarnya, tentu saja menyesakkan dada. "Baiklah. Sebentar lagi acaranya dimulai, sebaiknya kamu berganti pakaian, Nier."
Saat tengah berganti pakaian, terdengar suara ketukan dari pintu kamar. "Madam Runa, ini aku Vrel!"
"Ah, itu Ratu Vrel," gumam Madam Runa, seraya berjalan ke arah pintu. Setelah pintu dibuka, tampak seorang perempuan Moon Elf cantik dan anggun.
"Silakan masuk Ratu Vrel," sambut Madam Runa.
Ratu Vrel pun tersenyum ramah. "Bagaimana keadaan Nier?" tanyanya, sembari masuk ke dalam kamar.
"A— aku sudah sehat," jawab Nier, gugup.
"Kalau sudah siap, ayo ke alun-alun bersamaku, dan Raja Elijore," ujar Ratu Vrel.
"Baik, a— aku sudah siap."
Nier pun keluar dari dalam kamar bersama Madam Runa, dan Ratu Vrel.
***