Waktu berlalu, seiring matahari yang melintas ke arah barat. Cahayanya pun seakan meredup, membuat birunya langit tak secerah sebelumnya.
"Hob, Fikk, kurasa kita sudah cukup bermain hari ini," tukas Nier.
Kedua sahabatnya saling bertukar pandang. Kebiasaan Nier baru-baru ini yang tak ingin lama bermain membuat mereka heran. Sebelumnya Nier selalu merasa waktu bermain tak pernah cukup.
"Nier, tapi waktu bermain kita belum habis," ujar Hob, dengan raut wajah kecewa.
"Hob benar, Nier. Mengapa akhir-akhir ini kamu selalu terburu-buru?" kata Fikk menggenapi kata-kata Hob, sekaligus bertanya pada Nier.
Nier diam, memikirkan jawaban terbaik pada kedua sahabatnya. "Kudengar akhir-akhir ini ada Orc yang berjalan di sekitar sini pada sore hari."
Jawaban itu sangat jitu. Hob dan Fikk pun gemetaran.
"Ya sudah kalau begitu. Ayo Hob," ajak Fikk, yang dijawab dengan anggukan Hob.
"Kalian duluan saja, aku masih harus memetik Daun Vigros untuk makan malam," tukas Nier.
"Sampai besok, Nier." Hob dan Fikk berpamitan, kemudian meninggalkan Nier sendirian di sana.
Nier menghela napas melihat keduanya pergi, lantas mendongak ke atas. "Keluarlah Teru Wilz! Aku tahu Teru sudah datang dari tadi!" seru Nier memanggil Sang Teru— guru.
Wilz melompat dari atas pepohonan, dan mendarat dengan ringan seperti sehelai bulu Kob.
"Oi ... oi Nier mungil!" sapa Wilz dengan menyeringai lebar.
"Teru!" Nier memeluk Wilz dengan erat, lantas bertanya, "Sihir apa yang akan kupelajari hari ini?"
"Hmmm ... bagaimana kalau kuajarkan sihir yang membuat lawanmu mematung, lalu bergerak selambat Siput Kumbang?" tanya Wilz.
"Mau, aku mau sihir itu!" Nier girang bukan main, sambil melompat-lompat di tempat.
"Baiklah, tapi kita praktekkan langsung," ucap Wilz singkat.
"Maksudnya?" Nier bertanya karena belum paham maksud Wilz.
Wilz tersenyum, seraya berjalan. "Kita lihat bagaimana sihir Purple Blood menghabisi para Hermit Crab."
"Yeaaay!" Nier mengikuti Wilz dengan dada yang bergemuruh. Sungguh sukacita ini melebihi keriangannya saat bermain.
Hanya melewati belasan semak belukar, akhirnya mereka menemukan sekumpulan Hermit Crab.
"Lihat ini, Nier," tukas Wilz.
Wilz berjalan mendekati kumpulan Hermit Crab. Kehadirannya mengundang perhatian mereka yang segera mengelilingi Wilz.
Nahas, belum sempat mereka bergeming lagi, Wilz sudah mengeluarkan sihir Purple Blood. Dari tubuhnya keluar cahaya ungu yang membesar, kemudian meledak hingga membuat para Hermit Crab menjadi serpihan kecil.
Seharusnya sihir itu membuat lawan mematung, kemudian bergerak lambat. Namun kekuatan dahsyat Wilz, menyebabkan mereka luluh lantak.
"Jadi Teru menghimpun tenaga di ulu hati, lalu ... baiklah aku mengerti," batin Nier, yang memperhatikan dengan seksama.
"Nier, apakah kamu su—awas di belakangmu!" Wilz berteriak tiba-tiba.
Di belakang Nier, ada lima ekor Hermit Crab yang menerjang ke arahnya. Tapi Nier mengelak dengan cepat ke samping, membuat serangan para Hermit Crab mengenai ruang kosong.
"Teru, inilah Purple Blood!" seru Nier mengeluarkan cahaya ungu yang meledak dahsyat.
Kekuatannya jauh lebih besar dibandingkan yang dikeluarkan Wilz. Seketika itu juga, para Hermit Crab lenyap tak berbekas.
Wilz tercengang melihat kehebatan Nier yang di luar nalar. Sungguh, tak pernah sekalipun ia melihat sosok berbakat seperti Nier.
"Luar biasa, ia memang jenius ... meski dengan tubuhnya yang baru, Ratu Dark Elf tetap memiliki kekuatan yang mengerikan. Tak terbayang kehebatannya jika semua sihir telah dikuasai," batin Wilz, bergidik ngeri.
"Bagaimana tadi Teru?" tanya Nier seraya tersenyum lebar.
"Bagus Nier. Kamu cepat sekali belajar, walau hanya sekali melihat—" Belum selesai berbicara, Wilz terhenyak melihat bola energi melesat ke arahnya.
Bola itu melesat sangat cepat. Alih-alih menghindar, menepis saja pun ia tak sempat. Untungnya, bola itu melewatinya dan menghantam seekor Hermit Crab di belakang Wilz.
"Jangan lengah, Teru," tukas Nier, yang baru saja mengeluarkan sihir Twister Blood.
Peringatan Nier justru membuat Wilz semakin bergidik. Jika Nier berniat menyerangnya, belum tentu ia dapat menghindar.
"Gadis cilik ini memang tepat menjadi alatku menyerang Greenwood Forest. Tapi, ia juga dapat menjadi ancaman untukku. Aku harus mengantisipasinya," batin Wilz.
"Teru, ayo ajarkan sihir lain," ucap Nier bersemangat, seraya menghampiri Wilz.
"Hari ini sudah cukup, Nier. Kita lanjutkan besok," jawab Wilz, terlihat enggan.
"Tidak bisakah belajar hari ini sa—"
"Maaf, aku ada urusan mendesak yang harus kutuntaskan segera. Besok adalah sihir terakhir yang akan kuajarkan," sergah Wilz, membuat Nier kecewa.
"Baiklah Teru. Tapi bolehkah aku meminta sesuatu setelah semuanya usai?"
Wilz tersenyum, lantas berujar, "Sebutkan, aku akan memenuhinya."
"Aku ingin melihat wajah Teru dan nama Teru yang sesungguhnya," pinta Nier, dan membuat Wilz terkejut.
"Bagaimana kamu bisa tahu kalau Wilz bukan namaku yang sebenarnya?" tanya Wilz, merasa heran.
Nier pun tersenyum. "Kalau penampilan saja disembunyikan, tentu nama pun demikian."
Wilz mencerna jawaban Nier beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab, "Baiklah."
Mendengar jawaban Wilz, Nier pun merasa gembira. "Terimakasih Teru, kalau begitu aku pulang sekarang."
Wilz mengangguk, lalu berkata, "Aku juga, sampai bertemu besok." Usai berujar demikian, Wilz melompat dan melesat menerobos pepohonan.
"Aku harus tetap mengajarkan seluruh sihir padanya, agar ia dapat memporak porandakan Greenwood Forest. Tapi aku pun harus mencari cara agar ia tak berbalik menyerangku ... kalau semua sihir sudah dikuasainya, tak ada satu pun yang dapat menandingi kehebatannya." Wilz membatin sambil terus menyeruak di antara pepohonan dan kabut di hadapannya.
Kekhawatiran Wilz hanya sementara. Karena bagi seorang pemikir ulung, hanya masalah waktu untuk menemukan formulasi yang dapat memuluskan rencananya.
***
Ras Orc menempati daerah utara di Marrow Land. Sehingga jalan yang ditempuh Madam Runa pun terbilang jauh. Kalau saja ia masih berusia muda, tentu lebih mudah menempuhnya. Namun tidak sekarang, saat raga tuanya mudah merasa letih.
Beruntung, ada seseorang yang mau mengangkutnya di atas kereta kuda berisi tumpukan jerami. Meski kereta itu berjalan lambat, masih lebih baik dibanding mengandalkan tongkat Madam Runa yang tak sekukuh dulu.
"Maaf kalau kereta ini tidak nyaman," tukas pemilik kereta, merujuk pada keretanya yang bergoyang seakan roda-rodanya hampir copot.
"Tidak mengapa. Bagiku ini sudah sangat nyaman. Kalian dari Ras Manusia memang selalu bermurah hati pada Moon Elves," ucap Madam Runa, menyanjung dengan tulus.
"Terima kasih, Nek. Moon Elves juga baik kepada kami," kata pria tersebut.
Pria itu tidak mengetahui bahwa nenek yang menumpang di keretanya adalah seorang Moon Elf yang melegenda.
"Nenek mau ke mana?" tanya pria itu dengan ramah.
Madam Runa tersenyum. "Aku ingin ke utara," jawabnya singkat.
Saking terkejutnya, pria itu menarik tali kekang, sampai kudanya meringkik keras.
"Utara? Bukankah itu daerah berkabut yang dihuni Orc dan Minotaur?!" serunya, tidak percaya.
Madam Runa mengangguk, kemudian berkata, "Benar. Lantas kenapa?"
"Nek, mereka bukan ras yang ramah terhadap orang asing. Apalagi mereka sangat kuat," kata pria tersebut berupaya mengingatkan.
Tetapi belum sempat Madam Runa menjawab, tiba-tiba kuda yang membawa mereka meringkik keras, sebelum akhirnya berdebam. Madam Runa dan pria tersebut pun terguling ke tanah.
***