"Ndah, gue duluan ya. Calon suami gue sudah menunggu tuh di sana." ucap Safira pada Indah saat mereka hendak pulang dari perusahaan tempat mereka bekerja.
"Ceileh, baru ketemu sehari sudah jadi calon suami. Hadeuuuh, cepet banget tuh cinta nampolnya." nyinyir Indah sembari mengekori Sambas dengan matanya.
"Ssssttt, jangan asal bicara. Cinta memang datang secara tiba-tiba. Tidak ada yang bisa menebak kapan cinta itu datang. Dan kau, sebaiknya urusi saja kisah cintamu dengan pria yang sampai saat ini kau idam-idamkan itu." sungut Safira penuh sindiran.
Indah membuang nafasnya kasar dan mendelikkan matanya jengah.
Sementara itu Safira tampak sudah masuk ke dalam kendaraan mewah milik calon suaminya.
Tanpa Safira sadari, sepasang mata tengah menatap tajam dan intens ke arahnya. Mengintimidasi setiap gerak-gerik Safira.
"Selamat sore calon istriku."sapa Sambas dengan sebuah senyuman manis lima ratus juta watt.
Safira tersenyum malu-malu, wajahnya tampak bersemu merah.
"Selamat sore, calon suamiku. He he he." sahut Safira diiringi cengengesnya.
Sambas tampak menatap gemas pada Safira yang terlihat imut dan manja.
"Gimana kerjanya? Menyenangkan atau melelahkan?" tanya Sambas sembari melajukan kendaraannya.
"Nano-nano. He he he."jawab Safira yang masih nyengenges.
Sambas tersenyum kecil dan kemudian mencubit pipi calon istrinya.
"Kau benar-benar menggemaskan." ucap Sambas.
Safira hanya tersenyum sembari mengusap pipinya yang terasa berdenyut.
"Kalau begitu aku akan mengajakmu makan enak di sebuah tempat kuliner yang luar biasa nikmatnya." seru Sambas antusias.
"Waaah, benarkah? Kau tidak keberatan?" tanya Safira.
"Pertanyaan macam apa itu, sayang." sungut Sambas.
"Sekarang kau sudah menjadi calon istriku. Tentu saja mengajakmu makan akan menjadi kebiasaan terindah bagiku. Jadi kau tidak usah canggung seperti itu." jelas Sambas meyakinkan Safira.
Safira tersenyum bahagia. Ia tampak memalingkan wajahnya ke samping, menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.
"Apakah kau setuju dengan pendapatku?" desak Sambas.
Safira terhenyak.
"Ah, iya, setuju. He he he." jawabnya sembari nyengenges.
"Oke, kalau gitu sekarang kita capcuuuus!!" sorak Sambas sembari menaikkan laju kendaraannya.
"Kita ke pantai, Sam?" tanya Safira yang tampak tercengang melihat hamparan lautan di sepanjang jalan yang mereka lewati.
"Yap! Aku akan mengajakmu makan di sebuah kedai yang menyediakan makanan khas sunda." jawab Sambas sembari menghentikan laju mobilnya.
"Hmmm, makanan khas sunda. Boleh juga!" gumam Safira.
Safira dan Sambas berjalan bersejajar menyapa pasir pantai yang kering. Beberapa kedai makanan berjejer rapi di setiap sudut daratan pantai.
"Mendekatlah padaku." bisik Sambas sembari menangkap tangan Safira dan menggandengnya.
Safira tampak terkejut, namun ia berusaha tetap santai.
Safira dan Sambas duduk di pondok-pondok kecil khas sunda. Tanpa kursi, mereka tampak duduk biasa di amben.
"Kau tahu? Ini kedai favoritku." ucap Sambas memberi tahu.
"Benarkah? Apakah makanannya enak?" tanya Safira antusias.
"Tentu saja. Makanya aku ajak kamu ke sini agar kamu tahu makanan favoritku. He he he." jawab Sambas sembari nyengenges.
Safira hanya tersenyum kecil dan memalingkan wajahnya yang tampak bersemu merah.
"Sam." panggil Safira kemudian.
"Ya."sahut Sambas.
"Aku belum sempat bertanya apa alasanmu terburu-buru melamarku? Apakah kau tidak butuh yang namanya PDKT? Seperti anak-anak muda pada umumnya." tiba-tiba Safira menanyakan tentang perasaan Sambas padanya.
Sambas terdiam sejenak, mencoba mencerna setiap ucapan calon istrinya.
"Emh, aku rasa sudah tak butuh PDKT lagi. Karena kita sudah tak lagi muda. Ha ha ha."jawab Sambas sekenanya. Tentu saja diiringi dengan tawa renyahnya.
Safira menyunggingkan senyumannya. Ia tampak menahan tawanya.
"Sorry-sorry, maksudku.. Aku sudah tak butuh PDKT lagi, sebab saat pertama kali aku melihatmu, aku sudah jatuh cinta. Dan pada saat itu aku langsung memantapkan hatiku untuk menjadikanmu istriku. Karena aku tidak butuh pasangan untuk bermain-main lagi, aku hanya butuh pasangan untuk menemani hidupku." tutur Sambas penuh perasaan.
Safira tertegun mendengar penuturan calon suaminya, dilihat dari segi mana pun Sambas tidak sedang berbohong dan ucapannya pun begitu terdengar tulus.
****
Ardi membanting pintu mobilnya dengan kasar. Bayangan Safira yang sedang masuk ke dalam sebuah mobil berwarna hitam masih menjadi beban pikirannya.
"Siapa yang berani menjemput wanita pujaanku." gumam Ardi yang terlihat tampak kesal.
"Ardi, ada apa denganmu? Kenapa kau terlihat kesal seperti itu?" tanya Ammara yang tampak heran dengan sikap mantan kekasihnya.
"Diam kau! Ini semua gara-gara kecerobohan kamu!" bentak Ardi dengan sorot mata yang berkilat marah.
"Apa?? Kenapa kau malah menyalahkan aku?"protes Ammara tak terima.
"Ya, karena kau selalu mengganggu Safira. Kini wanita itu selalu bersikap cuek dan dingin kepadaku." tegas Ardi yang tampak menekan setiap ucapannya.
Ammara menelan ludahnya kasar.
"Oh, jadi karena wanita itu kau marah-marah begini."ucap Ammara santai.
"Mungkin mantan kekasihmu itu sudah bosan mengemis cinta padamu. Dan, aku dengar kini wanita itu sudah memiliki kekasih baru. Wow, bahkan kau kalah cepat olehnya." sambung Ammara yang tampak memanas-manasi Ardi.
Ardi tampak tethenyak mendengar ucapan Ammara. Rahangnya mengeras sempurna, tangannya ia kepalkan menahan emosi.
"Diam!" bentak Ardi dengan sorot mata yang memancarkan api kemarahan.
Ammara terjingkat kaget, ia mundur selangkah, menghindari amukan Ardi.
"Aku tidak ingin lagi mendengar apa pun tentangnya dari mulutmu! Kau hanya membuatku kesal dan emosi. Lebih baik sekarang kau tinggalkan aku di sini!" lagi-lagi Ardi tampak memarahi Ammara yang sangat malang.
"Ardi, kau benar-benar sudah dibutakan oleh cintanya. Padahal wanita itu sudah tak lagi mencintaimu. Kau lihat kan tadi saat Safira dijemput oleh seorang pria? Itu adalah calon suaminya. Aku berkata jujur, tidak bohong. Asal kau tahu saja, Safira bisa dengan cepat mendapatkan penggantimu. Itu artinya dia tidak sungguh-sungguh mencintaimu." cerocos Ammara menjelek-jelekkan Safira di hadapan Ardi.
Ardi semakin tersulut emosi. Rahangnya kembali mengeras dengan sempurna. Dadanya naik turun menahan gejolak amarah. Rasa cemburu dan tak terima kini mengalir di dadanya.
"Suatu saat nanti kau akan tahu siapa wanita yang benar-benar mencintaimu dengan tulus." sambung Ammara yang kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan Ardi yang sedang emosi.
"Aaaaaaaaargh!" teriak Ardi meluapkan emosinya. Kakinya menendang ban mobilnya dengan keras. Ingin rasanya ia membawa Safira ke planet lain saat ini juga.
"Benarkah kau sudah memiliki pria lain? Tega sekali kau, Fira." bisik Ardi yang tampak frustasi oleh tindakannya sendiri.
________.________
"Terima kasih ya, calon suami." ucap Safira saat ia telah sampai di depan rumahnya.
Sambas tampak tersenyum manis. Tangannya masih menggenggam tangan Safira.
"Apakah kau senang??" tanya Sambas.
Safira mengangguk.
"Kau akan merasakannya lagi dan lagi. Aku akan selalu membahagiakanmu, calon istriku." ucap Sambas yang berhasil membuat Safira tersipu malu.
"Terima kasih, kalau begitu aku turun ya. Tapi, lepaskan tanganku. He he." ucap Safira sembari nyengenges.
Ardi tersenyum nakal.
"Tunggu sebentar, calon istri." cegah Sambas.
Safira menolehkan wajahnya, dan menatap wajah calon suaminya dengan intens.
"Cium dulu!" pinta Sambas sembari mengetuk-ngetukkan jemarinya pada pipinya.
Safira terjingkat kaget. Selama ini Safira belum pernah mencium atau dicium oleh pria yang bukan muhrimnya. Walaupun oleh kekasih yang sangat ia cintai sekalipun, Safira selalu menghindari hal memalukan itu.
"Nooooo! Aku tidak bisa!" tolak Safira dengan ekspresi yang mulai panik dan tegang.
Sambas mengerucutkan bibirnya bertingkah manja.
"Ayolah, hanya mencium pipiku saja. Kau tidak akan rugi sayang. Lagi pula sebentar lagi kau akan menjadi istriku. Jadi kau harus terbiasa mencium pipiku." rengek Sambas yang tampak memaksa.
Safira benar-benar tegang dan panik. Jantungnya berdetak sepuluh kali lebih cepat dari biasanya.
"Sorry, aku benar-benar tidak bisa! Aku akan melakukannya nanti, saat kita sudah menikah. Jadi, kau sabar dulu ya!" lagi-lagi Safira menolak dengan halus.
Sambas membuang nafasnya kecewa.
"Kalau gitu aku saja yang mencium pipimu." ucap Sambas sembari mendekatkan wajahnya pada wajah Safira.
Tentu saja Safira syok dibuatnya, ia tampak menjauhkan wajahnya dari bibir seksy Sambas.
"Ya Tuhan, selamatkanlah diriku ini." bisik Safira dalam hati.
Sambas masih mendekatkan bibirnya pada pipi mulus Safira, sementara Safira tampak semakin tegang dan ketakutan. Hingga pada akhirnya..
Plaaaak!
Safira berhasil menampar wajah Sambas menggunakan majalah yang tadi ia baca.
"Aaauuuw." Sambas meringis kesakitan. Seketika wajahnya menjadi merah akibat tamparan majalah yang lumayan pedas.
"Eh, sorry-sorry. Aku tidak sengaja!" ucap Safira yang tampak tidak enak hati pada kekasihnya.
Sambas memegangi pipinya yang memerah.
"Kau!" ucap Sambas dengan sorot mata yang tajam.
"Maaf, kan sudah kubilang aku tidak bisa melakukannya. Ini semua kesalahanmu yang mencoba memaksaku." ujar Safira membela dirinya.
Sambas menyunggingkan senyumannya.
"No problem! Aku suka gayamu. Turunlah, Ayah dan Ibumu sudah menunggu di dalam." ucap Sambas yang berhasil membuat Safira melongo tak percaya.
****