Safira mengeringkan rambutnya yang panjang. Ia bersemedi menghadap cermin besar di dalam kamarnya.
"Kamu memang cantik, Fir. Maka tak heran jika Mas Sambas ingin segera menikahimu." gumam Safira bicara pada dirinya sendiri.
"Tapi, bukan soal fisik yang aku banggakan. Aku ingin pria yang menjadi suamiku mencintaiku apa adanya, bukan melihat dari fisiknya saja. Aku ingin dia melihat dari hatiku, karena jika mencintai hanya karena kecantikanku, suatu saat nanti jika aku sudah berumur dan wajahku keriput, kecantikanku akan menghilang. Dan, begitu pun dengan cintanya, pasti akan pudar. Oh Ya Tuhan, aku tak ingin itu terjadi." bisik Safira berargumentasi dengan pikirannya sendiri.
"Kuharap kali ini aku tidak akan gagal lagi. Kuharap dia benar-benar mencintaiku. Walau sebenarnya aku sangat was-was saat ini. Bagaimana pun, kejadian buruk yang selalu menerpa hubunganku dengan mantan-mantanku tak pernah luput dari ingatanku." bisik Safira lagi.
Safira menjatuhkan tubuhnya di atas kasurnya, setelah seharian ia menghabiskan waktu untuk bekerja dan berkencan dengan Sambas, wanita cantik itu tampak lelah dan penat.
Tak berselang lama..
"Tok tok tok!" terdengar suara pintu diketuk dari luar.
Safira mendongakkan wajahnya, kemudian ia berteriak menyuruh masuk pada seseorang yang sedang mengetuk pintu.
"Masuuuuk! Pintunya tidak dikunci." pekik Safira dengan suaranya yang masih terdengar lembut.
Pintu pun dibuka dari luar, sesosok wanita paruh baya tampak berjalan masuk ke dalam kamar Safira.
"Ibu, ada apa?" tanya Safira sembari membangunkan dirinya dari rebahannya.
"Fir, sebentar lagi kan hari pernikahan kalian." ucap Kartika diawal percakapannya.
"Ya, lantas kenapa Bu?" tanya Safira tak mengerti.
"Begini, apakah kamu sudah menceritakan suka duka asmara cintamu selama ini pada calon suamimu?" tanya Kartika dengan kelembutan yang haqiqi.
Safira terdiam dan mencerna setiap ucapan Ibunya.
"Apakah itu perlu, Bu?" selidik Safira.
Kartika mendudukkan bokongnya di sisi kasur putrinya.
Kartika menghela nafas panjang dan membuangnya pelan.
"Begini Nak, seperti yang sudah kau alami sebelumnya. Saat ini Ibu dan Ayah benar-benar was-was dan sangat waspada. Kami khawatir sekali pada hubungan kalian. Apakah kau merasakan hal yang sama?" tutur Kartika penuh kelembutan.
Safira membuang nafas beratnya.
"Sebenarnya Fira pun sangat takut, Bu. Bagaimana pun Fira.. Argh! Jika mengingat kejadian buruk itu membuat Fira sangat sakit hati Bu. Jadi sebaiknya lupakan dan jangan bahas ini lagi. Do'akan saja agar kami benar-benar berjodoh." ujar Safira yang tampak tak kuasa jika harus mengingat masa lalu yang sangat buruk baginya.
Kartika mengulas senyuman tulus, tersirat beberapa harapan di garis wajahnya. Naluri seorang Ibu tak bisa dibohongi, ia sangat mengkhawatirkan keadaan putrinya.
"Aamiin, Ibu dan Ayah selalu mendo'akan yang terbaik untukmu, Nak." ucap Kartika sembari mengusap lembut puncak kepala putrinya.
Safira tersenyum lalu menghamburkan dirinya ke dalam pelukan ibunya.
****
Keesokan harinya, seperti biasa Safira kembali melakukan aktivitas yang sudah menjadi kewajibannya. Yaitu bekerja dan mengabdi pada perusahaan milik negara.
"Bu, Yah, Fira berangkat dulu ya." pamit Safira pada Ibu dan Ayahnya.
"Hati-hati ya Nak, jangan tinggalkan sholat." pesan sang Ibu pada putrinya.
Safira mengangguk diiringi senyumannya. Kemudian ia menyalami tangan kedua orang tuanya.
"Jangan lupa pakai helm, Fir." sang Ayah mengingatkan, Safira memang berangkat kerja mengendarai motornya.
"Baik, Yah."sahut Safira. Ia pun bergegas keluar dari rumahnya. Menyalakan mesin motor maticnya dan mengenakan helmnya.
Namun pada saat itu..
"Tin tin.." terdengar bunyi klakson mobil yang sudah tak asing lagi baginya.
Safira terpaku di tempatnya, enggan untuk menolehkan wajahnya. Karena ia tahu siapa yang datang pagi itu.
"Mas Ardi kah? Untuk apa dia datang ke sini." bisik Safira dalam hati.
Beberapa detik kemudian..
"Selamat pagi, Fir." sapa Ardi yang tampak menghampiri Safira.
Safira terjingkat kaget, terpaksa ia menolehkan wajahnya pada mantan kekasihnya itu.
"Mas Ardi. Se.. Selamat pagi." ucapnya lirih.
Ardi tersenyum cerah secerah pagi ini.
"Kebetulan sekali kau belum berangkat. Kalau begitu aku tidak terlambat menjemputmu ke sini."ucap Ardi tanpa basa-basi.
Safira mendelikkan matanya, menatap heran pada pria tampan yang akhir-akhir ini kembali menjadi baik padanya.
"Kalau begitu ayo masuk, aku sengaja menjemputmu untuk berangkat bersama."ajak Ardi sembari membuka pintu mobil bagian depan samping kemudi.
Safira melongo tak mengerti. Kemarin-kemarin pria tampan itu menyakiti hatinya tanpa kompromi, sekarang pria tampan itu malah bersikap manis padanya. Sungguh cobaan bagi hubungannya dengan Sambas.
"Hei, kenapa kau melamun!? Ayo silakan masuk." sekali lagi Ardi mengajak Safira ikut dengannya.
Safira masih terdiam. Sedang berpikir keras dan tindakan apa yang harus dia lakukan.
****
Safira masih terdiam di tempatnya, sedangkan Ardi tampak harap-harap cemas.
"Ra, ayo." ajak Ardi lagi.
Safira membuang nafasnya kasar.
"Maaf Mas, aku tidak bisa. Silakan berangkat sendiri. Aku akan mengendarai motorku." tolak Safira dengan suara yang sangat ingin.
Ardi terhenyak kaget. Ia tak menyangka jika Safira akan menolaknya begitu saja.
"Tapi, aku ingin berangkat denganmu. Saat pulang nanti, aku akan mengantarkanmu kembali."paksa Ardi yang tampak memelas.
Safira membuang nafas kasar dan memutar bola matanya malas.
"Maaf Mas, aku benar-benar tidak bisa. Terima kasih atas keperduliannya." jawab Safira ketus.
Ardi benar-benar dibuat frustasi oleh sikap Safira yang sangat dingin terhadapnya.
"Ayolah Fir, ikut dengan Mas. Kali ini saja, Mas mohon." rengek Ardi memohon pada mantan kekasihnya.
Safira semakin kesal dan jengah meladeni mantan kekasih yang tak tahu diri itu.
"Sudahlah Mas, jangan memohon seperti itu. Sekuat apa pun kamu memohon, aku tidak akan mau ikut denganmu. Karena kita sudah tak ada hubungan apa-apa lagi. Aku tidak ingin mengotori citra Mas yang bergemilang." tegas Safira penuh percaya diri.
Ardi mengusap wajahnya frustasi.
Ia bergegas meraih tangan Safira dan menggenggamnya penuh cinta.
"Fira, Mas mohon. Jangan bersikap dingin seperti ini pada Mas. Mas tahu kamu masih marah atas kejadian kemarin, maka dari itu Mas ingin minta maaf padamu. Maafkan Mas yang terlalu ceroboh dan terburu-buru untuk mengakhiri hubungan kita. Mas benar-benar menyesal, karena Mas masih mencintai dan menyayangi kamu." kali ini Ardi benar-benar memohon dan menekan setiap ucapannya.
Deggg!
Tatapan cinta yang terpancar dari sorot mata Ardi membuat Safira sedikit terenyuh. Terlebih saat Ardi benar-benar memelas padanya. Ungkapan cinta dari mantan kekasihnya kembali ia dengar.
Beberaoa detik berlalu, empat mata saling bertemu. Namun ada rasa yang membuat hati ngilu. Dengan cepat Safira melepaskan tangannya dari genggaman Ardi.
"Terlambat, Mas. Aku sudah menutup hatiku untukmu. Kemarin aku dengar dari mulutmu jika kau sudah tak lagi mencintaiku. Tapi sekarang? Kau datang dan memohon seperti ini. Mengatakan hal yang tak mungkin kupercayai." ujar Safira menolak ungkapan cinta dan penyesalan dari mantan kekasihnya.
Ardi terhenyak kaget. Dadanya terasa sesak dan bergemuruh tak karuan.
"Maafkan Mas, Ra. Kemarin Mas benar-benar bodoh dan egois. Tapi sekarang Mas benar-benar menyesali keputusan Mas. Dan Mas harap kamu bisa membuka hatimu kembali untuk Mas. Karena Mas yakin dalam hatimu masih terukir cinta untuk Mas." Ardi kembali memelas dan memohon.
Safira membuang nafasnya berat.
Memang benar yang dikatakan Ardi, di dalam lubuk hatinya, masih terukir cinta untuk mantan kekasihnya itu.
Namun, rasa kecewanya pun masih ia pendam sampai saat ini. Dan, hadirnya Sambas membuatnya ingin secepatnya melupakan pria tampan yang sudah menggores luka di hatinya.
"Mas salah, aku sama sekali tidak menginginkan Mas untuk kembali. Hatiku benar-benar sudah tertutup rapat serapat-rapatnya. Jadi jangan berharap hubungan kita akan kembali seperti dulu, karena aku.." Safira menahan ucapannya saat ia hendak mengatakan jika dirinya akan segera menikah.
"Kau akan menikah." timpal Ardi yang tampak berhasil membuat Safira terhenyak kaget.
"Apakah benar yang kuucapkan ini?" desak Ardi yang tampak terlihat sinis.
"Dan cincin yang kau kenakan itu, tak lain dan tak bukan adalah cincin tunangan kau dengan calon suamimu." sambung Ardi menebak namun tepat sasaran.
Safira terpaku tak mampu menjawab. Seketika pita suaranya tak mampu bekerja dengan semestinya.
"Kenapa kau diam? Kau tak mampu mengatakan yang sebenarnya padaku bukan!?" desak Ardi yang tampak menatap lekat wajah mantan kekasihnya.
Safira masih terdiam, entah mengapa dia merasa tidak rela jika Ardi mengetahui semuanya. Terlebih tentang pernikahannya dengan Sambas.
"Itu karena kau masih mencintaiku, Fira!" tegas Ardi penuh percaya diri.
Safira tersentak kaget. Namun ucapan Ardi benar-benar mengusik relung hatinya.
"Ayolah kau akui perasaanmu padaku. Jangan membohongi hatimu, itu semua hanya akan menyiksa.." Ardi tampak menggantung ucapannya saat Safira dengan cepat menyelanya.
"Cukup!!" bentak Safira dengan sorot mata yang berkilat marah.
"Jangan pernah lagi mengusik kehidupanku. Karena aku sudah tak menginginkanmu lagi. Dan soal pernikahanku, aku harap kau akan datang ke acara bahagiaku." tegas Safira yang tampak menekan setiap ucapannya.
Safira membuang nafas kasar, tanpa berkata apa-apa lagi ia pun kembali menghidupkan sepeda motornya. Meninggalkan Ardi yang masih menunggu jawaban baik dari Safira.
"Ck! Sialan! Dia benar-benar telah berusaha melupakanku." decak Ardi dalam hati.
****