"Sama seperti aku? Memangnya kau tahu apa alasanku mengakhiri hubunganku dengan Safira?" selidik Ardi dengan tatapan yang penuh telisik.
Ammara tampak terdiam dan menelan ludahnya kasar. Sementara wajahnya kini tampak terlihat tegang dan kaku.
"Sepertinya aku mencium bau aroma kriminal di sini," gumam Ardi dalam hati.
Ammara menggaruk pelipisnya yang sama sekali tidak terasa gatal. Entah mengapa ia tiba-tiba merasa tegang dan kaku seperti kanebo kering.
"Kenapa kau diam? Jika bisa jawab, jawablah! Kau tadi bilang bahwa menurutmu alasan pria itu—" Ardi menggantung ucapannya saat tiba-tiba Ammara menyelanya.
"Namanya Sambas, Pak!" sela Ammara memberitahu nama mantan kekasih Safira atau lebih tepatnya mantan calon suami Safira.
"Ah, tidak peduli namanya siapa. Itu tidak penting bagiku, Mara!" ujar Ardi penuh penegasan, "Yang penting saat ini, aku ingin tahu alasannya mengapa mengakhiri hubungannya dengan Safira? Dan kau, jangan mengalihkan pembicaraan! Cepat jawab pertanyaanku tadi. Atas dasar apa kau mengatakan jika alasan pria itu sama seperti diriku!?" lanjutnya penuh desakan dan sindiran.
Ammara kembali diam ia tampak seperti sedang berpikir keras. Macam seorang narapidana yang sedang melakukan sidang di pengadilan, seperti itulah yang Ammara rasakan saat ini.
"Hei!" Andre mengejutkan Ammara dengan suara dan gebrakannya di meja.
"Astaga! Anda mengejutkan saya, Pak Ardi," desis Ammara sembari mengelus dadanya.
Ardi mendelikan matanya dan menatap jengah pada mantan kekasihnya itu, "Cepat jawab! Kau sengaja, ya. Membuang-buang waktu denganku? Dengar, ya! Jangan berharap aku akan kembali lagi padamu, Ammara. Karena aku ... aku mungkin akan kembali pada Safira," ujarnya yang tampak menekan setiap ucapannya.
"Tidak! Ah, maksudku ... aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang alasanmu mengakhiri hubunganmu dengan Safira. Dan, apa yang kuucapkan tadi, sungguh aku hanya menebak saja. Kukira begitu, Sambal eh maksudku Sambas, dia mengakhiri hubungannya dengan Safira mungkin alasannya sama dengan dirimu. Itu tidak menutup kemungkinan, Pak Ardi! Sebab, setiap pria yang akan menjadi suami Safira, mereka akan mengakhiri hubungannya ketika hari pernikahan mereka akan dilaksanakan sebentar lagi. Dan itu terjadi sampai berkali-kali." Ammara berkata panjang lebar dan terlihat tanpa beban.
Ucapannya mengalir dan seperti tidak mengada-ada. Namun tentu saja Ardi tidak langsung percaya begitu saja. Namanya orang licik dan memiliki niat busuk pasti mereka akan cerdik dan pintar menyembunyikan kejahatan mereka. Seperti itu yang Ardi pikirkan saat ini.
"Benar, kasus ini terjadi berkali-kali bahkan sampai membuat Safira depresi berat. Tapi ... aku sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Oh ya, apakah kau sama denganku? Penasaran pada penderitaan yang selalu datang pada Safira?" tanya Ardi sembari berpangku tangan.
Ammara melipat bibirnya ke dalam, untuk sesaat ia terdiam lalu memutar bola matanya santai, "Aku rasa ... tidak sama sekali!" jawabnya tanpa basa-basi.
Ardi tampak memfokuskan netranya pada wajah cantik Ammara. Tentu saja ia ingin melihat sinar dan sorot di manik mata milik mantan kekasihnya itu.
Safira yang merasa terus didesak dan diselidiki tampak sedikit jengah dan kesal. Ia merasa jika dirinya saat ini tengah menjadi tersangka.
"Apa-apaan sih loe, eh maksudku kamu. Ngapain natap saya kayak gitu, Pak? Jangan terlalu lama dan serius menatap wajah cantik saya, nanti Anda bisa jatuh cinta lagi pada saya. Ehem!" Safira malah berkelakar dan menggoda pria tampan di hadapannya.
Seakan tak ada beban dan sesuatu yang sedang disembunyikan oleh wanita cantik itu, Ardi bahkan merasa bingung dan terkecoh dengan sosok Ammara yang sulit sekali ditebak dan diprediksi.
"Ck! Tidak usah percaya diri, Mara!" decak Ardi sembari mengubah posisi duduknya lebih tegak.
Ammara terkekeh dan benar-benar seperti sedang tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Tapi, apakah memang tidak terjadi apa-apa? Ah, entahlah!
"Jika begitu, aku ingin kau menyelidikinya lagi. Kau masih bisa bertemu dengannya lagi, bukan?" perintah Ardi penuh desakan.
Ammara mengangguk, "Tentu saja kami akan sering bertemu, Pak. Sebab, kami sudah saling menyimpan nomor telepon dan sepertinya akan semakin akrab. Saya harap Anda tidak cemburu pada pria itu, Pak. Hahaha!" ucapnya disertai tawa renyahnya.
Ardi tampak memutar bola matanya malas dan melipat kedua tangannya di dadanya, "Cih! Terlalu percaya diri!" desisnya.
Ammara terkekeh dan menyibakkan rambutnya yang ia biarkan tergerai begitu saja.
"Ya sudah, jika memang seperti itu, aku harap kau bisa dengan cepat menyelidiki pria itu! Jangan gagal dan lupa lagi, ya!" tegas Ardi penuh paksaan.
Ammara menekuk wajahnya dan memainkan jemarinya pada dagunya, "Aku rasa ... aku tidak ingin melakukannya, Pak. Aku rasa ini sangat tidak penting," ucapnya menolak dengan halus.
Ardi tampak mengerutkan dahinya dan menatap tajam pada wanita cantik di hadapannya itu, "Tidak penting bagi siapa?" tanyanya.
"Bagiku!" jawab Ammara tanpa ragu.
Jawaban Ammara semakin membuat Ardi yakin jika wanita itu menyimpan sesuatu yang disembunyikan. Tetapi, terkadang sikap dan tindakan Ammara membuat Ardi terkecoh dan membuat dugaannya hilang begitu saja. Namun saat ini, ketika melihat penolakan wanita di hadapannya itu, Ardi kembali yakin jika Ammara yang telah melakukan hal gila itu pada mantan kekasihnya atau yang lebih tepatnya mantan calon istrinya.
"Hm, itu sangat wajar. Karena kau sudah lama membenci Safira," ucap Ardi dengan tatapan sinis.
Ammara mengangkat kedua alisnya, "Emh ... sebenarnya tidak benci, sih. Hanya...," ucapnya sembari menaikkan bola matanya.
"Hanya iri dengki!" tembak Ardi dengan cepat.
Ammara terkekeh kecil dan mengangguk tanpa dosa, "Hahaha! Jangan iri dengki, jangan iri dengki!" ucapnya bersenandung.
Ardi memutar bola matanya dan tersenyum sinis.
"Ya, kau tahu itu, Pak Ardi. Sejak dia berhasil mendapatkanmu, saat itu juga aku iri padanya," ungkapnya jujur.
"Ya, jadi tidak heran jika kau yang telah mengusili mantan kekasihku itu. Kau yang telah membuatnya menderita terus menerus!" rutuk Ardi dalam hati.
"Baiklah! Saya rasa sudah cukup keberadaan saya di sini, Pak. Boleh saya kembali bekerja?" Ammara meminta izin pada atasannya dengan hormat.
Ardi terdiam sejenak, tampak berpikir keras dan menimang-nimang apa yang harus dia lakukan.
"Ya sudah, silakan," jawabnya sedikit terlambat.
Ammara pun mengangguk lalu beranjak dari duduknya. Selepas menyunggingkan senyum, ia pun bergegas melangkahkan kakinya berjalan keluar dari ruangan Ardi.
Di luar, Indah yang tak lain adalah sahabat Safira tak sengaja berpapasan dengan Ammara.
"Hai, bagaimana kabarmu? Ah, bukan. Maksudku, bagaimana kabar sahabatmu itu? Apakah dia sudah dibawa ke rumah sakit jiwa? Ups!" hardik Ammara dengan wajah juteknya.
Indah tampak memutar bola matanya malas dan menyilangkan kedua tangannya di dadanya, "Jangan asal bicara! Dia baik-baik saja," ujarnya penuh penegasan.
Ammara tersenyum sinis, "Bagus deh! Jangan sampai dia gila karena selalu gagal menikah! Hahaha!" hardiknya lagi.
Indah tampak berdecak kesal dan mengepalkan tangannya. Sementara Ammara sudah berlalu dari hadapannya.
BERSAMBUNG...