"Ayo silakan dimakan pisang goreng dan mendoannya mumpung masih hangat," ucap Bu Kartika pada Indah dan Ardi.
"Iya, Bu," jawab Indah dan Ardi secara bersamaan.
"Tidak usah ditawari juga Indah pasti bakalan nyomot, Bu." Safira menyindir.
Indah memelototkan kedua bola matanya dan memanyunkan bibirnya pada Safira. Sementara Safira hanya tersenyum usil dan tetap santai.
"Ya sudah, dinikmati saja ya. Ibu lanjut ke belakang," ucap Bu Kartika yang sangat ramah.
"Ya, Bu." Ardi yang menjawab.
Bu Kartika pun melenggang pergi meninggalkan tiga orang di sana. Tentu saja ia tidak akan mengganggu obrolan grup anak muda itu.
"Mas minum ya kopinya, Ra," ucap Ardi pada mantan kekasihnya.
Safira mengangguk disertai senyumannya, "Iya, Mas. Silakan," jawabnya.
Ardi pun meneguk kopi yang telah Safira buatkan untuknya, "Hmmmp, enak sekali. Rasanya tidak pernah berubah," pujinya sembari meletakkan kopinya kembali.
Safira tersenyum manis dan tampak salah tingkah, sementara Indah tampak memutar bola matanya dan memencengkan bibirnya.
"Ya iyalah rasanya enak dan tidak pernah berubah. Orang itu kopi instan. Hahaha!" seloroh Indah disertai tawa meledeknya.
Safira terkekeh kecil dan mencubit pinggang sahabatnya itu, "Sudah jangan mencibirku terus menerus, Ndah. Lebih baik sekarang kau ceritakan pengalamanmu bekerja tanpa aku," ujarnya sembari menatap serius wajah sahabatnya itu.
Indah tersenyum sembari mengangguk, "Baiklah. Kau tahu? Aku begitu galau dan kesepian selama kau cuti. Tapi, benarkah kau hanya cuti? Tidak resign, bukan?" ucapnya yang juga mulai bicara serius.
Safira menyunggingkan senyuman kecilnya. Kemudian wanita cantik itu membuang napasnya berat, "Memang kenapa kalau misalnya aku resign? Kau sedih?" wanita itu menatap sendu pada sahabatnya.
Indah melipat bibirnya ke dalam lalu menatap dalam wajah Safira, "Menurut loe?" selorohnya.
Safira tersenyum kecil lalu menggenggam tangan sahabatnya, "Kalau aku resign karena menikah, bagaimana? Kau akan sedih juga?" desaknya.
Indah terdiam sejenak dengan raut wajah sedih menatap wajah sahabatnya. Sejurus kemudian, ia pun tersenyum lantas mengusap wajah cantik Safira, "Tentu saja aku akan sedih karena bahagia. Duh, gimana, ya? Emh, pokoknya aku pasti akan menangis, tapi karena aku bahagia," ujarnya panjang lebar dan penuh penjelasan.
Safira tersenyum manis dan mengangguk kecil. Binar matanya tampak cerah dan terkesan bahagia. Ya, ia sangat bahagia karena sahabat baiknya menemuinya setelah beberapa waktu mereka tak pernah bertemu.
"Tapi, memangnya Fira akan menikah dengan siapa?" tanya Ardi sejurus kemudian.
Safira yang tadi tersenyum, kini tampak menatap kosong dan melongo saat Ardi bertanya demikian padanya. Benar, akan menikah dengan siapa dia? Tentunya Safira sendiri sungguh tidak tahu.
"Kenapa bertanya seperti itu, Mas Ardi? Bukan kah kita memang tidak tahu jodoh kita itu siapa? Jodoh itu 'kan ada di tangan Tuhan," protes Indah yang tampak menjawab kebingungan Indah.
Ardi tersenyum kecil dan memalingkan wajahnya ke samping. Sebenarnya ia hanya iseng saja bertanya seperti itu pada mantan kekasihnya. Ia ingin tahu apa jawaban dari wanita itu.
"Jangan-jangan, Mas Ardi masih berharap untuk menjadi suami Safira? Oh noooo! Aku tidak setuju jika Mas Ardi ingin kembali pada Safira!" Indah menebak dan terkesan menuding.
Ardi tampak membulatkan kedua bola matanya penuh dan menatap tajam pada Indah, "Memangnya kenapa? Kenapa kau tidak setuju?" tanyanya penuh selidik.
Indah memutar bola matanya malas dan menatap serius wajah tampan Ardi, "Karena itu terlalu menyebalkan! Soalnya Mas Ardi sudah meninggalkan Fira dengan seenak hati dan seenak jidat! Jadi, sangat tidak tahu malu jika Mas Ardi tiba-tiba ingin kembali pada Safira!" ujarnya penuh penekanan.
Ardi tampak memelototkan kedua bola matanya dan begitu tercengang mendengar ucapan Indah. Sejurus kemudian ia menelan ludahnya kasar lalu memalingkan wajahnya ke samping.
Seketika suasana menjadi hening. Ardi diam tak segera menjawab. Sementara Safira tampak melongo menatap bergantian pada Ardi dengan Indah.
"Ah, kenapa jadi hening dan tegang begini. Astaga! Santai saja, kali. Aku hanya bercanda. Hahaha!" ucap Indah diiringi tawa ngakaknya.
Mendengar ucapan Indah, Ardi tampak memutar bola matanya dan membuang napasnya pelan.
"Aku rasa Indah sedang bahagia deh hari ini. Soalnya, sedari tadi dia ketawa melulu," ucap Safira sembari tersenyum kecil.
Indah terkekeh, "Ya, dong! Memangnya kau pikir aku tidak bahagia bertemu denganmu?" jawabnya sembari memeluk hangat Safira.
Safira tersenyum, "Pasti. Aku juga sangat bahagia. Kupikir sudah tidak akan ada yang mau berteman denganku lagi. Tapi ternyata, kau masih mau menjadi sahabatku," ucapnya sembari menekuk wajahnya melas.
"Hei, kau bicara apa, Fira? Tentu saja aku akan selalu menjadi sahabatmu. Dan dia," ucapnya sembari menolehkan wajahnya pada Ardi, "Akan selalu menjadi mantan kekasihmu. Hahaha!" lanjutnya disertai tawa ngakaknya.
Safira membulatkan netra hitamnya itu sembari tersenyum tipis. Sementara Ardi tampak menatap tajam pada Indah yang selalu saja meledeknya.
"Ck! Kenapa, sih? Kau selalu senang melihatku menderita," decak Ardi sembari mengusap wajahnya kasar.
"Sudah biarkan saja, Mas. Mungkin dia memang sedang bahagia," timpal Safira menengahi.
Ardi tersenyum lantas mengangguk. Sementara Indah tampak masih tertawa kecil melihat kekesalan Ardi. Ya, sejak Ardi menjadi kekasih Safira, dulu. Indah menjadi akrab pula dengan pria itu. Ketika di luar kantor, ia akan memanggil Ardi dengan panggilan biasa yaitu Mas Ardi. Sedangkan ketika berada di kantor, ia akan memanggil Ardi dengan sebutan Pak Ardi. Berbeda dengan Safira yang selalu memanggil Mas Ardi di mana pun berada.
"Ah sudahlah jangan tertawa terus. Nanti kau bisa mengompol, Ndah!" ujar Safira sembari menepuk kecil paha sahabatnya itu.
"Hehehe, iya iya iya. Lagipula, aku sudah merasa lelah. Lihat, rahangku sampai keram seperti ini," balas Indah yang kemudian menggerakkan rahangnya ke atas ke bawah, ke kanan dan ke kiri.
"Salah siapa!" desis Ardi sembari menyandarkan tubuhnya pada badan sofa.
Indah hanya menyengir kudanil dan menggaruk pelipisnya yang sama sekali tidak terasa gatal.
"Eh eh eh, ini kenapa pisang goreng sama mendoan tempenya masih penuh begini? Kasihan lho, dicuekin gitu aja," sosor Bu Kartika yang baru saja menghampiri ketiga orang yang sedang berkumpul di ruang tamu.
"Hehehe, iya, Bu. Kami sibuk mengobrol sedari tadi." Ardi menjawab sembari nyengenges.
Bu Kartika tersenyum sembari mendudukkan bokongnya di sofa, "Ayo silakan dimakanin. Ibu sangat senang sekali karena kalian bisa membuat Fira tertawa riang," ucapnya.
"Tentu saja, Bu. Itu sudah tugas kami. Ya, walaupun harus ada yang diledekin. Hahaha!" jawab Indah disertai tawa renyahnya.
"Hahaha!" Ardi dan Safira turut tertawa terbahak-bahak.
"Oh ya, Nak Ardi. Kemarin, kami mohon maaf karena tidak menunggu Nak Ardi. Alhamdulillah, Fira sudah bertemu dengan Ustadz yang akan mengobatinya," ucap Bu Kartika dengan senyuman manisnya.
Ardi mengangguk sembari tersenyum. Sementara Safira tampak sedikit malas membahas soal pengobatannya. Tentu saja karena ia belum setuju soal ruqyah yang akan Ustadz Uwais lakukan padanya.
BERSAMBUNG...