Safira mendongakkan wajahnya dan sejurus kemudian ia menatap wajah tampan Ustadz Uwais yang sedang menunduk fokus entah menatap apa.
"Ini kenapa kok malah pada diam, ya?" gumam Safira di dalam hati.
Safira sama sekali tidak mengerti apa yang harus ia lakukan. Yang ia tahu saat ini,. semestinya Ustadz Uwais bertanya tentang permasalahannya.
Sementara itu, Ustadz Uwais yang masih diam dan tak bisa mengalihkan bayangan Safira di dalam pikirannya, tampak kewalahan dan kebingungan menghadapi dirinya sendiri.
"Astaghfirullah, ini ada yang tidak beres. Kenapa aku seperti ini? Ya Allah. Sepertinya aku harus ambil wudhu lagi," ucap Ustadz Uwais di dalam hati.
Ustadz Uwais mengusap wajahnya dan sedikit mendongak menatap Ayah Usman. Safira yang duduk di tengah-tengah kedua orang tuanya sebisa mungkin untuk tidak menjadi santapan kedua bola matanya.
"Tunggu sebentar, ya. Saya izin ke luar dulu," ucap Ustadz Uwais pada Ayah Usman.
Ayah Usman mengangguk dengan sopan, "Baik, Aa," jawabnya.
Ustadz Uwais pun beranjak dari duduknya dan bergegas melangkahkan kakinya ke luar. Ia benar-benar kalut dan bingung pada dirinya sendiri. Mengapa bisa selengket itu wajah Safira bergelayut di dalam pikirannya.
"Astaghfirullahaladzim! Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini," gumam Ustadz Uwais memohon ampun.
Ustadz tampan itupun bergegas mengambil wudhu, mensucikan jasadnya kembali. Tentu saja ia pun berharap hati dan pikirannya bisa kembali suci tanpa bayangan wanita cantik yang baru saja bertemu dengannya. Wanita cantik yang akan menjadi pasiennya.
"Uwais," terdengar suara seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah Ibunda Ustadz Uwais.
Ustadz Uwais menolehkan wajahnya dan sedikit tersentak kaget, "Astaghfirullah, Umi! Mengejutkan saja," desisnya sembari meletakan tangannya di dadanya.
Umi Jannah tersenyum kecil dan melangkahkan kakinya mendekati putranya yang tampak gugup, "Kenapa rupanya? Kau terlihat gugup sekali, Nak," ucapnya dengan lembut.
Ustadz Uwais melemparkan pandangannya ke tempat yang jauh dan membuang napasnya kasar, "Tidak, Mi. Uwais hanya bingung dengan pasien wanita yang bukan mahram Uwais. Gimana ya, Mi? Emh, apa perlu Uwais tidak menerima pasien wanita muda lagi?" ujarnya panjang lebar.
Umi Jannah tampak tersenyum kecil dan begitu mengerti dengan kekhawatiran putranya itu. Namun, saat ini ia pun belum bisa mengambil keputusan yang mendadak. Apalagi, di ruang tamu villa sudah ada pasien Ustadz Uwais yang menunggu sedari tadi.
"Tenangkan hati dan pikiranmu dulu, Uwais. Tetap pasrahkan semuanya pada Dzat Yang Maha Kuasa. Kuatkan imanmu dalam menghadapi pasien wanita. Ingat! Hanya fokus pada niatmu yang harus menolong orang-orang yang datang padamu. Kau yakin bukan, jika orang-orang yang datang dan meminta tolong padamu itu adalah orang yang dipilih oleh Allah?" kata Umi Jannah yang tampak mencoba menenangkan dan memberikan pencerahan pada putra tunggalnya.
Ustadz Uwais mengangguk kecil tanda mengerti, "Ya, Mi. Uwais mengerti," jawabnya.
"Nah! Jadi, fokuslah pada pengobatan saja, ya. Tetap ingat pada Allah agar kau tidak melenceng ke mana-mana. Lagipula, Abi pun sudah sering berpesan padamu untuk terus melayani siapa saja yang datang padamu, bukan? Jadi, sebaiknya kau lakukan saja apa yang harus kau lakukan," ujar Umi Jannah penuh penegasan.
Ustadz tampan yang masih lajang itu pun kembali mengangguk. Setelah mendapat pencerahan dari Uminya, ia pun bergegas melangkahkan kakinya kembali menuju ruang tamu villa.
Di villa, Safira beserta kedua orang tuanya tampak menunggu dengan harap-harap cemas. Mereka sangat penasaran dan tidak sabar ingin segera berkonsultasi pada Ustadz Uwais.
"Bu, tadi kenapa, ya. Kok Ustadz Uwais seperti salah tingkah begitu?" celetuk Safira yang tampak heran.
Bu Kartika membulatkan kedua bola matanya penuh dan menatap serius wajah putrinya, "Salah tingkah bagaimana? Ibu tidak memperhatikannya," ucapnya.
"Emh, ya ... begitulah! Seperti tidak nyaman gitu," jawab Safira.
Ayah Usman yang mendengar topik pembicaraan putrinya dengan sang istri tampak merasa sedikit risih, "Hust! Jangan bergosip, Fira! Sebaiknya kau siapkan dirimu untuk menjawab pertanyaan yang Aa Ustadz Uwais tanyakan padamu nanti," tegurnya mengingatkan.
Safira dan Bu Kartika seketika terdiam dan saling senggol-senggolan. Lalu Safira pun mengangguk mengiyakan.
Tak lama berselang, Ustadz Uwais pun telah kembali ke ruang tamu villa itu, "Assalamualaikum," ucapnya.
"Waalaikumsalam," sahut ketiga orang di dalam sana.
Safira menundukkan wajahnya tak berani menatap apa saja yang ada di hadapannya. Sementara Ustadz Uwais sudah duduk di sofa misnad.
"Maaf, ya. Tadi ada sedikit urusan," ucap Ustadz Uwais basa-basi.
Ayah Usman mengangguk kecil, "Tidak apa-apa, Aa," jawabnya.
Untuk sesaat Ustadz Uwais menarik napasnya dalam dan membuangnya perlahan. Mecoba merilekskan dirinya.
"Baik, sebelumnya saya ingin tahu, siapa nama yang ingin diobati?" tanya Ustadz Uwais tanpa mendongakkan wajahnya.
"Namanya Safira Khairunnisa, Aa Ustadz." Ayah Usman yang menjawab.
Safira tampak mulai deg-degan dan tidak tenang. Tentu saja ia pun semakin penasaran dan tegang.
"Hmmm, Safira Khairunnisa. Nama yang cantik," gumam Ustadz Uwais di dalam hati.
"Usianya sudah dua puluh empat tahun, Aa Ustadz. Tapi, dia belum juga menikah sampai saat ini," ungkap Bu Kartika.
Ustadz Uwais tampak mengerutkan dahinya dan tampak berpikir keras, "Apa masalahnya? Usia dua puluh empat tahun belum menikah, memangnya haram bagi wanita? Astaghfirullah, ada-ada saja. Apa kabarnya dengan diriku yang sudah berusia tiga puluh lebih. Ya Karim, mudah-mudahan bukan soal ini yang ingin mereka konsultasikan padaku," celotehnya dalam hati.
Ustadz Uwais tampak manggut-manggut tanda mengerti. Padahal, ia belum tahu apa kelanjutannya.
"Setiap kali dia hendak menikah, pasti selalu gagal dan gagal lagi. Anehnya, para calon suami Safira ini selalu membatalkan pernikahan mereka secara tiba-tiba. Katanya, wajah Safira ini tiba-tiba berubah menjadi jelek dan begitu menyeramkan," lanjut Bu Kartika menceritakan apa yang terjadi pada putrinya.
"Astaghfirullah!" Ustadz Uwais tampak tersentak kaget saat mendengar cerita Bu Kartika. Kini ia sudah mulai paham dengan apa yang terjadi.
"Benar. Hal ini membuat kami curiga, Aa. Sepertinya Safira ini ada yang ngusilin gitu. Pasalnya, hal itu terjadi sampai beberapa kali. Bahkan, saat kejadian terakhir beberapa minggu yang lalu, Safira sampai depresi dan stres karena selalu mengalami penderitaan yang sama," timpal Ayah Usman yang berhasil membuat Safira sebal karena harus mengatakan jika dirinya depresi dan stres.
"Ayah! Fira tidak seperti itu!" sungut Safira tak terima.
"Fira, kita harus mengatakan semuanya pada Aa Ustadz." Bu Kartika bicara dengan pelan.
Safira tampak mengerucutkan bibirnya bertingkah kesal, "Tapi Fira tidak depresi dan stres, Bu! Fira hanya terpuruk saja," ujarnya penuh penegasan.
Bu Kartika dan Ayah Usman terdiam namun saling beradu pandang. Sementara Ustadz Uwais tampak tersenyum kecil tanpa mendongakkan wajahnya. Ia tak ingin lagi menatap wajah cantik Safira yang berhasil mengacaukan pikirannya tadi.
BERSAMBUNG...