Chereads / Berjodoh Dengan Ustadz / Chapter 24 - TIDAK SEPERTI BIASANYA

Chapter 24 - TIDAK SEPERTI BIASANYA

"Kamu kenapa sih, Fira? Harusnya kamu nurut saja tadi! Jika seperti ini, Ustadz Uwais akan kecewa dan mungkin malas menanggapi pasien seperti dirimu itu!" omel Ayah Usman yang tampak terlihat kesal dan marah pada putrinya.

Safira memutar bola matanya dan membuang napasnya kasar, "Fira merasa jika Ustadz itu tidak pandai dalam hal gaib. Tidak sepandai yang Ayah dan Ibu katakan pada Fira!" ujarnya yang tampak menaikan suaranya.

Bu Kartika tampak menatap heran dan miris pada putrinya yang semakin berani membentak orang tuanya sendiri. Padahal, dulu Safira tidak seperti itu. Sejak kejadian menyedihkan terakhir kali yang menimpanya, wanita cantik itu memang berubah menjadi tempramen dan mudah tersinggung. Mungkin karena ia terlalu kesal dan lelah dengan derita yang selalu datang padanya.

"Astaghfirullah, Fira. Kamu kok berani bentak-bentak Ayah seperti itu, sih? Kamu lupa ya, jika membentak orang tua itu termasuk dosa? Bagaimana kalau Ayahmu itu sakit hati dan sampai menangis lalu kecewa padamu, hah? Kamu tidak takut dosa? Ya Allah, Ibu semakin heran padamu, Nak." Bu Kartika bicara dengan nada yang lemah lembut namun penuh penegasan.

Memang Safira yang saat ini sungguh berbeda dengan Safira yang mereka kenal. Biasanya, wanita cantik itu akan menurut pada kedua orang tuanya dan tidak berani membentak apalagi menaikkan suaranya seperti itu. Tentu saja hal ini membuat Ayah Usman dan Bu Kartika semakin yakin jika di dalam diri putri mereka ada sesuatu yang membuat wanita cantik itu tempramen dan berani melawan kedua orang tuanya.

"Mungkin benar yang dikatakan oleh Ustadz Uwais, Bu. Di dalam diri Safira ini ada makhluk yang ikut dengannya. Wajar saja jika dia seperti ini. Ayah benar-benar tak habis pikir pada anak Ibu yang sekarang. Jauh! Jauh dan sangat jauh dari Safira yang Ayah kenal!" timpal Ayah Usman yang tampak menekan setiap ucapannya dan menatap sengit pada putrinya sendiri.

Sudah malu, tidak enak hati pada Ustadz Uwais, kini ia harus marah, kesal, kecewa dan emosi pada putrinya sendiri. Ayah Usman bahkan berpikir jika saat ini yang berhadapan dengannya bukanlah Safira putrinya. Melainkan sosok makhluk ghaib yang menempel di tubuhnya.

"Benar, Yah. Dia memang bukan Safira. Mungkin Fira betah dengan makhluk yang mengikutinya. Kata Ustadz Uwais, makhluk itu ada di punggung Safira, Yah. Ibu jadi tidak ingin dekat-dekat dengannya apalagi mengusap punggungnya. Hiiiiy, mengerikan!" tutur Bu Kartika panjang lebar.

Safira tampak melipat bibirnya ke dalam. Seketika bulu kuduknya pun merinding saat sang Ibu mengatakan jika di punggungnya ada sosok mahkluk ghaib. Tentu saja hal itu membuatnya parno sendiri dan merasa jika dirinya semakin tidak aman.

"Ihhhh, Ibu! Jangan bicara seperti itu, Bu." Safira berkata sembari berlari mendekati Ibunya. Namun, sang Ibu bergegas berlari menjauhi putrinya yang seperti sedang meminta perlindungan.

"Tidak, Fira! Jangan dekat-dekat dengan Ibu! Ibu tidak mau kenal dengan makhluk yang ikut denganmu itu!" sanggah Bu Kartika sembari menepiskan tangannya mengusir putrinya agar tidak terus-terusan mendekatinya.

Safira terdiam dan menggigit telunjuknya. Ia begitu bingung dengan keadaan yang menimpanya saat ini. Benarkah di dalam dirinya ada sosok makhluk ghaib yang membuatnya seperti sekarang ini? Entahlah.

*

*

*

Seorang pria masuk ke dalam ruangan kerjanya. Sebagai manager di sebuah perusahaan milik negara, pria tampan yang sudah mapan itu harus disiplin dan tepat waktu.

"Aku belum bertemu dengan Ammara. Hm, informasi apa yang dia dapat dari mantan calon suami Safira," gumam Ardi sembari melepas jas navy yang melekat di tubuhnya.

Selang beberapa lama, Ammara pun masuk dengan sebuah laporan di tangannya.

"Permisi, Pak Ardi. Saya membawa laporan dari staf manager pemasaran," ucap Ammara dengan penuh sopan santun.

Ya, tentu saja Ammara bisa sopan pada atasannya. Jika pada Safira, sepertinya wanita itu anti yang namanya sopan dan ramah. Baginya, Safira adalan rival terbesarnya karena telah berhasil mendapatkan Ardi yang tak lain adalah mantan kekasihnya.

"Baik, duduklah. Kau tidak lupa 'kan pada tugas yang aku berikan padamu?" tanya Ardi memberi kode.

Ammara tampak mengerutkan dahinya dan menatap tak mengerti pada pria tampan di hadapannya, "Tugas? Tugas apa, ya?" ia malah seperti orang kebingungan.

Ardi menajamkan netra hitamnya. Menatap serius wajah Ammara yang sebenarnya sangatlah cantik. Namun, walaupun Ammara cantik, tetap saja ia sudah tidak cinta lagi pada mantan kekasihnya itu.

"Kau lupa? Bahkan baru kemarin kau menemui pria itu!?" desak Ardi penuh sindiran.

Ammara membulatkan kedua bola matanya penuh dan menepuk jidatnya frustasi, "Aduh!" desisnya.

"Kenapa? Kau tidak mendapat informasi apa-apa?" selidik Ardi penuh desakan.

Ammara menggeleng kecil lantas mengucek hidungnya dan berusaha bersikap santai, "Ah, tidak, bukan begitu. Sebenarnya aku ... sorry banget, ni. Aku lupa jika kau memintaku untuk menyelidiki kasus yang menimpa Safira. Entah apa yang terjadi, yang jelas kemarin aku benar-benar tercengang dan begitu semangat makan bareng pria itu. Wajahnya tampan, gagah, humble dan benar-benar menggemaskan. Sampai-sampai aku lupa pada rencanaku sendiri. Hehehe," ungkapnya panjang kali lebar kali tinggi.

Cengenges tanpa dosa yang Ammara keluarkan sontak saja membuat Ardi semakin curiga. Tidak mungkin jika wanita muda seperti Ammara mudah lupa dengan apa yang harus dia lakukan. Dan hal itu benar-benar membuat Ardi sedikit jengkel namun juga ingin memastikan apakah Ammara benar-benar serius dengan ucapannya atau hanya berbohong saja?

"Kau pikir aku senang dengan kebodohanmu ini?" cicit Ardi dengan tampang dinginnya.

Ammara menghentikan cengengesnya dan mulai kembali serius dengan pria di hadapannya, "Tidak, Pak. Saya tahu saya bodoh dan ceroboh. Tapi saya harap Anda tidak marah dan memaafkan saya," ucapnya sembari menunduk lesu.

Ardi membuang napasnya berat dan menghempaskan kepalanya pada tubuh kursi kebesarannya.

"Duh! Gila sih, gue. Semoga Ardi gak marah," desis Ammara dalam hati.

"Tapi, apakah kau yakin jika kau benar-benar lupa? Atau mungkin kau sengaja melupakannya?" selidik Ardi.

Ammara dengan cepat menggeleng. Tentunya ia tidak mau dicurigai atau dituduh yang buka-bukan oleh atasannya itu, "Tidak, Pak. Saya tidak sengaja melupakannya. Emh, maksud saya ... saya benar-benar lupa jika saya—" ia menggantung ucapannya saat tiba-tiba Ardi menyelanya.

"Lakukan lagi dengan baik dan benar! Kau harus mendapat informasi dari pria itu! Aku tak mau tahu! Besok atau lusa, kau sudah harus mengetahui apa penyebab pria itu mengakhiri hubungannya dengan Safira," ujar Ardi penuh paksaan dan desakan.

Ammara tampak menelan ludahnya kasar dan mengangguk kecil. Namun sebenarnya ia sangat malas melakukan apa yang Ardi perintahkan padanya. Tentu saja itu jauh dari tugas pekerjaannya di kantor.

"Memangnya untuk apa sih Anda harus tahu soal pria itu? Aku rasa, alasannya sama seperti dirimu," selidik Ammara yang sebenarnya penasaran mengapa Ardi sangat ingin tahu.

Ardi tampak menyipitkan matanya dan menatap intens pada wanita di hadapannya itu. Seketika ia merasa heran dan ada yang mengganjal di pikirannya saat ia mendengar ucapan mantan kekasihnya itu.

BERSAMBUNG...