Desti langsung berjalan ke arah kamar Caoli yang berada di lantai dua meninggalkan Pedro sendiri memandang dari belakang dari pintu utama rumah. Marah dan kecewa tampak di wajah Pedro tetapi Desti tidak peduli. Desti hanya tahu hatinya dan tujuan hidupnya.
klik!
Caoli berdiri di depan jendela kamar yang menghadap taman. Ia tidak menoleh ke arah pintu karena tahu Desti lah yang datang. Satu tangan melingkar pada pinggang Caoli lalu sebuah kecupan di punggung di berikan padanya.
"Kamu sudah datang"
"Ada apa, kak"
"Aku butuh kamu untuk membantu perusahaan"
"Berapa yang kakak butuhkan?"
"Tidak banyak"
"Apa terasa sakit?"
"Apa maksudmu?"
"Kakak sudah lama menginginkan Riu tetapi terpaksa bertekuk lutut di lantai karena butuh bantuan Jero suaminya. Apakah ini sebanding?"
"Kamu tidak mengerti. Cintaku itu cinta mati sama seperti mu. Orang seperti kita, untuk naik ke atas panggung butuh tenaga ekstra. Hanya orang seperti Jero maka Riu bisa melihat kebaikan yang ada pada diri kita"
Desti bergeser ke arah depan Caoli, tangannya masih melingkar di pinggang. Kilatan jenaka berbaur pesona memberikan angin segar pada hati yang kering karena menginginkan sesuatu jauh dari jangkauan tangan. Mata saling menatap, bibir mendekat sebagai langkah memberi namun tidak menerima maksud lain.
"Orang hanya tahu kita saudara tetapi tes DNA membuktikan kita berdua bukan saudara sedarah. Ayahmu menipu ibuku habis-habisan demi cinta, apakah kamu ingin mengikuti jejaknya demi wanita seperti Riu?"
"Mengapa tidak? jika harus seperti itu maka bantu aku, Desti"
"Aku ingin Carlo, kak. Kamu bantu aku juga pasti bantu"
Desti melepaskan tangan dari pinggang Caoli, ia berjalan ke arah sofa dan duduk disana menunggu tindakan Caoli selanjutnya. Caoli mendesah malas namun tersenyum di arah mata pada wajahnya.
"Apa yang kamu butuhkan agar uang di tanganmu itu keluar membantuku"
"Buat aku hamil"
"Kamu gila!"
"Tidak! aku hanya bayar sperma milikmu. Apa salah? coba kakak pikir daripada dibuang untuk pelacur atau wanita keturunan tidak jelas diluar sana"
"Desti!"
"Kak, coba kakak pikir lagi. Ini semua demi keuntungan dan kepentingan bersama"
"Tapi, ini salah"
"Aku tidak tahu harus pakai cara apalagi kak, Carlo sangat kuat menjaga dirinya. Setiap saat tidak lupa mengunakan pelindung, berbeda pada Ayun"
Caoli menghampiri sofa dimana Desti duduk. Jarinya mencolek hidung Desti dengan gemas lalu bersandar pada bahu sofa. Otaknya bisa gila mendengar rencana Desti yang nekad. Cinta memang gila.
"Bagaimana dengan Pedro?"
"Dia tidak tahu tentang kita"
"Bukan itu Desti. Orang luar hanya tahu kita saudara tiri, hanya ayah yang tahu jika kamu bukan anak kandungnya melainkan anak orang lain. Kamu pikir bagaimana tanggapan semua orang akan menghakimi kamu jika tahu itu anakku"
"Pedro? dia hanya orang kepercayaan kakak saja, benar atau salah, tidak usah dilibatkan"
"Desti!"
"Selama Carlo mengakui anak ini adalah anaknya, aku nyakin tidak ada masalah tapi aku takut pada Carlo jika tahu"
"Desti..."
"Satu-satunya lawan yang sepadan adalah Jero. Aku tahu Ayun hanya mencintai Jero, apakah kakak bisa bantu?"
Sesaat Caoli terdiam. Apabila Ayun pergi dari rumah Carlo dan bersama Jero maka Riu menjadi miliknya cepat atau lambat, Desti juga pasti senang karena mendapatkan Carlo, bukankah semua mendapat keuntungan pikirnya tetapi hamil? ini terlalu besar taruhannya.
Desti mengamati perubahan wajah Caoli yang tidak disembunyikan baik olehnya. Tangan Desti meraih di tempat yang tertutup dan terlarang untuk bertengger. Caoli menoleh ke arahnya dengan pupil mata membesar karena jari tangan tersebut masuk lebih dalam. Nafasnya berubah.
"Kak, bantu aku, kali ini saja"
"Desti, ayah bisa mengamuk. Ibumu tidak akan melepaskan aku jika tahu anak kesayangannya memiliki keturunan dari orang yang dibenci dan dikenalnya sebagai suami"
"Itu urusan mereka berdua. Kak, bertahun-tahun kita hidup di bawah bayang-bayang orang tua atau orang lain, bukankah wajar jika sekarang kita bertindak egois"
Caoli terlihat tidak nyaman, pasalnya tangan itu terus bergerak secara pelan namun kuat memberikan perasaan yang tidak dapat disembunyikan. Perlu kekuatan lebih unggul untuk menghentikan tingkah Desti padanya tetapi badannya berkhianat.
"Desti, kita bicarakan lagi. Lepas dulu"
"Tidak mau. Kak, mau ya"
"Ini..."
Nafas Caoli sudah mau gila begitu gerakan tangan ditingkatkan signifikan. Perubahan wajah yang terus menerus bikin Desti semakin berani.
"Kak, aku minta tolong padamu. Apakah kamu mau melihat adikmu ini menderita lagi?"
Caoli mendengus dingin. Adik darimana jika begini kuat rangsangan yang diberikan. Walaupun bukan adik satu darah tapi hidup sudah bertahun-tahun bersama sebagai keluarga, Caoli nyakin ayahnya bakal membunuhnya jika tahu.
"Kita pakai pembuahan di RS, bagaimana?"
"Tidak bisa! Carlo pasti akan tahu cepat atau lambat"
"Di RS, kamu bisa memilih kualitas yang seperti apa. Kamu juga tidak akan dihakimi terlalu kuat"
Desti mengelengkan kepalanya kuat-kuat, air mata bahkan mulai turun membasahi pipinya, hati Caoli melemah. Perlahan tangan Desti ditarik keluar dari bahan kain yang terbuka lebar tersebut. Mau tak mau Caoli meraih kepala Desti untuk bersandar di bahu badannya.
"Kali ini saja, kak. Aku tidak pernah meminta apa-apa padamu tapi aku tidak punya jalan lain"
"Kamu tahu jika aku penuhi keinginan kamu, ini tidak bisa sekali jadi"
"Aku tahu"
"Desti, aku tidak ingin merusak masa depanmu"
"Kak, please..."
Nada suara Desti yang menyerah terdengar sangat menyakitkan. Mereka berdua merupakan korban dari keegoisan orang tua yang dipanggil ayah. Ayah Desti sebenarnya dibunuh ayah Caoli demi mendapatkan ibu Desti tanpa setahunya. Mereka berdua tahu dikarenakan musibah tak disengaja pada waktu masa sekolah. Rumit itulah keluarga Caoli.
"Please. Kakak bisa anggap aku adalah Riu dan aku akan anggap kakak adalah Carlo. Aku nyakin kita bisa lakukan"
"Desti..."
Suara tangis putus asa sangat menganggu telinga Caoli. Benar atau salah di mata masyarakat luas, hanya mereka berdua yang tahu di balik pintu tertutup keluarga dimana pun, selalu ada cerita yang berbeda.
"Baiklah"
Desti mengangkat kepalanya dari bahu Caoli, ia menatap mata menyerah kakaknya. Usapan lembut pada pipi Desti memberikan arti babak baru dalam hidupnya.
"Berjanjilah apapun yang terjadi jika anak itu lahir, jangan satu kali pun kamu ucapkan aku adalah ayah dari anakmu. Ini semua demi kebahagiaan kamu, Desti"
"Iya kak"
Caoli beranjak dari duduknya sambil menarik pelan Desti untuk mengikuti langkahnya ke arah tempat tidur. Desti berbaring diatas tempat tidur dengan hati berdebar, ini kali pertama mereka berdua melangkah lebih jauh selain berciuman tidak penting selama ini.
"Tidak ada penyesalan?"
Pertanyaan Caoli hanya sekedar memastikan sementara tangan sudah mulai bekerja pada Desti. Mata menelisik seperti mencari penyesalan di mata Desti tapi hanya sebuah tekad kuat untuk mendapatkan keinginan.
"Tidak ada"
Usai berkata demikian, Desti menarik wajah Caoli untuk mencium. Menutup akal sehat Caoli agar terus melakukan apa yang diinginkannya. Gila bisa dikatakan seperti itu tapi Desti hanya ingin bersama Carlo, apapun akan dilakukan meskipun salah atau menghancurkan hidupnya di masa depan.
Kata orang, cinta bisa berasal darimana saja tergantung hati siap atau tidak.