Riu menatap langit dalam keheningan malam. Tak ada angin bahkan suara yang biasa menganggu, tidak terdengar olehnya.
Ingatannya melayang di masa kecil. Dimana segalanya terasa mudah untuk semua orang. Apakah kamu ada disana merindukanku? itu pertanyaan yang berulangkali di sebutkan dalam hatinya meskipun cincin melingkar manis bahkan Jero telah memberi banyak. Namun, masih ada terselip rahasia dalam hatinya.
Riu tersenyum tipis melihat langit tak bersahabat dengannya malam ini. Tiap malam terbangun dari tidurnya, ia selalu pergi ke tempat ini.
"Aku tak tahu kabarmu sekarang tapi aku tak ingin mengucap selamat tinggal. Mengapa kamu pergi"
Kata-kata pelannya hilang tanpa jejak seiring malam bertambah larut. "Aku selalu berharap kamu ada disini" gumamnya tanpa bisa dicegah mengucapkan dalam hatinya.
Di bawah gelapnya malam dan pelukan hangat yang kamu berikan di saat segalanya hanya ada kata kita.
"Aku tidak tahu, apakah ada jalan yang bisa mengembalikan jalan untuk kita kembali bersama".
Riu tertawa sedih, perlahan-lahan air matanya jatuh di tengah-tengah pipinya. Entah berapa kali dirinya menekan kuat perasaan kesepian yang datang padanya. Tak adil bagi Jero, ia tahu tetapi bukankah cinta tak dapat dipisahkan atau dipaksakan. Ia hanya bisa membalas cinta Jero dengan perasaan sayang yang tersisa dalam dirinya.
Ia tidak buta dan tuli, malam pesta pertunangan Ayun dan Carlo, sebenarnya ia melihat jelas siluet bayangan Jero yang diam-diam mendengarkan perkataannya bersama Robi. Betapa konyol jika ia mempertaruhkan dirinya untuk sebuah kematian yang sia-sia.
Tangannya mengusap lengannya yang mendadak dirasakan dingin. Entah berapa kali ia berharap tidak mengucapkan selamat tinggal pada satu nama yang enggan di ucapkan meskipun otaknya berteriak untuk bersikap layaknya wanita yang sudah menikah.
Tapi, cinta itu telah jatuh terlalu dalam hingga berkarat di sana. Senyumnya tipis memandang langit di depannya dengan hati penuh keraguan. Tak ada yang tahu, rahasia itu tersimpan manis di sudut tersembunyi. Nama Robi hanya sebuah nama lain untuk berlari dari nama itu.
"Sayang, mengapa kamu disini? aku mencari mu di seluruh rumah"
Riu menengok cepat ke arah samping, tampak Jero bersandar malas di kusen pintu. Tatapan matanya penuh tanda tanya yang mungkin ia tidak bisa menjawabnya. Jero berusaha tetap tenang, dua puluh menit ia memperhatikan Riu dari tempatnya berdiri. Tak ada kata-kata yang mampu menggambarkan kecurigaan kecilnya terhadap sikap Riu yang aneh.
"Aku-- terbangun , aku-- tidak bisa tertidur lagi"
Jero melangkah ke arahnya lalu melingkarkan tangannya di pinggang. Matanya menatap malas di samping kepala Riu. Sekilas di kecup lembut pelipis Riu dengan hati penuh cinta.
"Lain kali bangunkan aku, jangan sendiri seperti ini. Aku merindukanmu"
Riu diam membisu, hatinya berdetak cemas begitu disadari apakah Jero mengetahui dirinya menangis, bagaimana bisa Jero berada disini pikirnya, tempat ini adalah tempat kosong yang dilupakan orang.
"Aku panik begitu tak melihatmu. Tempat ini sudah lama tidak digunakan, bagaimana bisa kamu ada disini?"
"Hanya berjalan-jalan mencari udara segar. Mungkin bisa tertidur lagi tapi tak kukira dari sini bisa melihat langit penuh bintang"
Jero memperhatikan langit di atas lalu mengerutkan keningnya ketika tak didapatkan satupun bintang. Bulan bertengkar pahit dengan awan yang galak menutupi.
"Disini dingin. Ayo, ke kamar. Terlalu lama tidak akan baik untukmu"
Jero membalik badan Riu lalu menatapnya dalam-dalam, "Riu, aku sangat mencintaimu. Aku ingin punya anak denganmu, apa kamu keberatan?" tanyanya dengan suara berubah serak.
Bagaimana tidak? malam ini Riu terlihat berbeda daripada malam-malam sebelumnya. Ia sangat cantik bermandikan sinar bulan dan wajah yang lembut. Benar-benar kecantikan murni yang tak bisa dikatakan, ingin rasanya Jero menyimpan Riu dalam toples dan tidak mengeluarkan lagi.
Tak tahan lagi, Jero menciumnya penuh perasaan. Ia ingin Riu mengerti tentang perasaan terdalamnya. Tangannya lembut membimbing Riu untuk membalas setiap curahan hatinya.
Tanpa sadar Riu terbawa arus hingga larut di dalam lautan cinta Jero. "Ayo ke kamar" bisiknya pelan di telinga Riu begitu melepaskan ciumannya. Jero tahu Riu melemas, jadi cepat ia membopongnya menuju arah kamar mereka berdua untuk melanjutkan.
**
Mata Ayun menggeliat tanpa daya ketika melihat Carlo yang santai di depannya sambil memainkan dirinya dengan kecepatan sedang. "Ayun, kita akan menikah dua bulan lagi. Apa ada yang belum kamu siapkan, sayang" tanyanya membaca laporan tentang persiapan pernikahan mereka berdua.
"Aku--"
"Tubuhmu sangat sempurna sayang tapi aku ingin acara pernikahan kita juga sempurna dilihat orang"
Gerakan Carlo terus menerus memacu dalam diri Ayun untuk melepaskan segala kendali pada Carlo.
"Carlo, jangan terlalu lama menyiksa"
Alis Carlo terangkat dengan cepat mendengar kalimat Ayun, ia tak senang di buru-buru.
"Ayun, apa kamu lupa jika segalanya harus berjalan sesuai keinginanku?"
Ayun mencengkeram kuat seprai dibawahnya, ia tahu telah menganggu konsentrasi Carlo membaca laporan. Kebiasaan Carlo setiap malam jika membaca laporan pekerjaan selalu minta dilayani, terkadang ia harus rela merendahkan dirinya seperti anjing hanya untuk membuat Carlo tidak marah.
"Aku-- hanya tak bisa menahan lebih lama"
"Katakan kamu cinta aku"
"Aku cinta kamu"
"Good girl!"
Carlo meletakan kertas di tangan di samping tempatnya memacu Ayun. Seringai muncul di wajahnya, badannya diposisikan hingga Ayun melengkung tanpa daya menerima setiap hentakan yang diberikan. Satu cahaya tertinggi dari kehidupan primitif menyambar tanpa bisa dicegah membuat semuanya berkeping-keping menjadi pecahan.
"Apa sekarang kamu sudah selesai sayang?"
Ayun membuka matanya begitu mendengar kalimat tersebut, "Aku-- lelah" ujarnya panik. Ini kali ke empat hari ini, tak mungkin terus menerus lakukan.
"Sayang, laporan belum selesai aku baca. Mana boleh berhenti" katanya menarik keluar miliknya dari dalam lalu bergerak malas duduk disampingnya Ayun yang masih mengatur nafasnya.
"Carlo, bagaimana kalau lanjut besok. Aku lelah sekali. Aku janji besok aku akan layani kamu dua kali lipat"
Carlo tertegun mendengar kalimatnya, ia tak mengira Ayun bakal berkata demikian. Selama mengenal Ayun, ia tak pernah mendapatkan sesuatu yang sukarela darinya.
"Baiklah, tidur saja dulu. Tidak usah besok, nanti begitu kamu bangun... kita lanjutkan"
Carlo bangkit dari samping menuju kamar mandi tinggalkan Ayun yang diam-diam mengutuk kebuasan nafsu Carlo. Ia menyesal bertunangan dengannya. Dasar bangsat! ia harus keluar dari sini pikirnya, ia tak mau mati konyol, harus menghubungi Jero pikirnya lagi.
Selama bertunangan semua kemewahan diberikan tapi setiap kali juga harus dibayar mengunakan tubuhnya hingga jatuh pingsan. Ayun merasa hidupnya mengenaskan. Kalau dulu tidak bercerai dari Jero, ia mungkin tidak bernasib seperti sekarang.
Selama proses mengutuk itu, Carlo diam membeku di depan kamar mandi. Ia tahu Ayun masih belum bisa menerimanya dengan lapang dada bahkan kemungkinan cinta itu tak ada tapi ia tak peduli, Ayun hanya miliknya seorang. Mungkin mendesak agar Jero mempunyai tujuan lain merupakan ide yang bagus saat ini.