Hidup terkadang menjadi kelucuan sebagian orang ketika segalanya nampak di mata tapi malah membuang.
Acara pesta di selenggarakan di sebuah hotel termewah di Jakarta Selatan. Para tamu berduyun-duyun memasuki tempat acara. Gelak tawa mewarnai ketika bertemu kolega ataupun teman lama. Semua orang tahu tujuan pesta ini selain sebagai memperjelas hubungan tapi juga memperkuat bisnis masa depan.
Caoli berjalan santai di antara tamu. Kedatangannya lebih awal satu jam membawa kesenangan tersendiri. Matanya tak henti menatap wajah di seberang ia duduk.
Elisabeth Vic Cou duduk manis di samping Robi. Sesekali tangan Elisabeth menyapu lengan Robi sebagai tanda kepemilikan namun ejekan bagi Caoli. Tawa Caoli pecah dengan konfrontasi terang-terangan dari Elisabeth.
Elisabeth tersenyum lembut pada tamu di hadapannya lalu membisikkan di telinga Robi, "Aku pergi ke kamar mandi dulu". Robi mengangguk mengijinkan. Elisabeth bergerak anggun dengan langkah tenang, Caoli bergegas tinggalkan tamu dengan alasan ingin merokok.
Kaki Elisabeth menyelinap di antara para tamu terus menuju taman belakang lalu terhenti ketika sebuah tangan menariknya ke dalam sebuah lingkaran lembut.
"Apa kabar, sayang?" tanya Caoli lembut menghirup harum tubuh Elisabeth. "Luar biasa" jawab Elisabeth setengah menyindir. "Kabar Orlando?" tanya Caoli acuh tak acuh. "Orlando seperti biasa sehat" jawab Elisabeth berbalik ingin pergi. "Sayang, jangan buat aku patah hati. Kamu tahu malam ini adalah malam terpenting dalam hidupku" ujar Caoli merendahkan suaranya seraya mencegah Elisabeth bergerak lebih.
"Anak kita sudah tiga tahun, Caoli. Berapa lama lagi aku harus berpura-pura melayani pria itu?" keluhannya seperti lemparan api. "Sampai aku mendapatkan Riu!" katanya bertambah dalam, ada rasa takut di hati Elisabeth. "Riu? lagi-lagi wanita itu! kamu jahat, Caoli". Wajah muram sekelebat muncul pada Caoli, Elisabeth mengecup sekilas keningnya. "Tapi, aku menyukainya" kata Elisabeth sembari menekan hatinya yang terluka, sama seperti ia berpura-pura pada Robi maka itu berlaku juga dengan Caoli. Senyum palsu diberikan untuk Elisabeth oleh Caoli, ia bukan tak bisa membedakan tetapi demi kepuasan pribadi, semua cara akan dilakukan.
"Dan aku menyukainya juga, main satu ronde, sayang" pinta Caoli dengan hasrat tak dapat dibendung lebih lama. Permainan tarik ulur selama lima tahun bersama Elisabeth membuahkan seorang anak bernama Orlando tapi tidak bisa diakui karena saat itu status Elisabeth menjadi istri Robi. Cintanya hanya untuk Riu sementara Elisabeth untuk Caoli.
"Satu ronde tanpa jejak" ujar Elisabeth melingkari leher Caoli dengan senang. Wajahnya mendekat, senyum keduanya menghapus semua jarak yang terbentang. Kalau ini bisa membuat Caoli bahagia maka Elisabeth mengalah untuk melakukannya.
"Kamu nyakin, sayang. Aku tidak mau menambah anak dalam waktu dekat" sindir Caoli menyesap lembut daging yang disuguhkan tanpa penghalang. Elisabeth terjebak dalam kondisi linglung, "Tidak, bukan bulan subur" serunya dengan suara tertahan. "Buat Robi menandatangani perjanjian, Elisabeth" kata Caoli mengubah permainan yang membuat mata Elisabeth terbelalak. "Perjanjian? Perjanjian apa? Caoli, jangan bermain-main denganku kalau tidak aku akan membuat hidupmu menjadi neraka" bentaknya keras seiring desakan yang terus naik meminta menyerah pada kondisi fatal.
Leher dicengkeram kuat oleh Caoli sementara bagian tubuh menyatu bagaikan binatang. Tangan Caoli mengambil dokumen yang diserahkan oleh orang kepercayaannya tanpa tahu malu. Dokumen berisi laporan perihal saham dan lainnya, Elisabeth menyesali keputusannya mengikuti permainan Caoli yang selalu saja menyeretnya dalam keputusasaan.
"Akh...." teriakan Elisabeth mengakhiri semua kebutuhan primitif yang tersembunyi kuat. Caoli tersenyum puas, sesaat namun puas. Ditariknya pelan lalu mengambil tisu basah di tangan orang kepercayaannya, membersihkan bagian terpenting dalam dirinya tanpa mau peduli kondisi Elisabeth yang kesulitan membersihkan dirinya menjadi semula.
"Dimana Robi?" tanya Caoli pada Jose yang bersandar di dinding kamar mandi. "Disekitar pesta" jawabnya pelan bergerak mengikuti langkah cepat Caoli menuju ruangan pesta. "Awasi ketat setiap pergerakan orang-orang" perintahnya sesaat matanya menemukan orang yang di carinya.
Robi melihat-lihat tamu yang terus berdatangan. Pemilik acara belum datang tapi sepertinya tidak dipedulikan. Keluarga berdatangan di satu tempat sambil menunggu, mereka semua mengakrabkan diri. Sungguh menyenangkan melihat ini.
"Bagaimana? kamu setuju melanjutkan" kata Caoli duduk di sampingnya Robi. "Tentu saja" ucap Robi menyandarkan punggungnya di kursi. Elisabeth datang dengan penampilan sempurna, seperti tidak terjadi sesuatu hal dalam sekejap mata.
"Mengapa lama sekali, Elisabeth?" tanya Robi tidak senang, Elisabeth tersenyum lalu menempatkan tangannya pada tangan Robi, "Kamu tahu kamar mandi wanita selalu mengantri" jawab Elisabeth pelan menjelaskan kebohongan yang jelas memperkeruh aura wajah Robi. Elisabeth berpura-pura tidak mendengar, satu suami sah dan satu suami dibawah tangan. Hubungan rumit yang di sesali setiap detiknya oleh Elisabeth.
Caoli diam membisu mendengar penjelasan Elisabeth, sebatas dunia luar Elisabeth istri Robi tapi sesungguhnya, Elisabeth istrinya dibalik kertas. Inilah yang sebenarnya terjadi ingin diubah Caoli.
Masyarakat luas bahkan tatanan yang di gaungkan sebagai tradisional menjadi bias karena sebuah tipuan bernama kesopanan.
"Jangan bikin aku malu, Elisabeth" gumamnya rendah tapi Elisabeth mendengar jelas termasuk Caoli. "Aku tahu" katanya. Robi bangkit berdiri, "Mau kemana?" tanya Elisabeth bingung. "Jalan-jalan sekitar saja. Kabari aku jika acara dimulai" jawabnya sambil menepuk bahu Elisabeth pelan. Tanpa mengatakan sepatah katapun pada Caoli, Robi berjalan keluar menuju taman. Ia tidaklah bodoh, bau percintaan terpancar kuat dari sisi Caoli saat datang sebelum Elisabeth.
"Caoli"
Mata berkilat dari Caoli bikin Elisabeth menutup mulutnya rapat-rapat. "Ingat perkataan suamimu satu itu, jangan bikin masalah. Kamu tak lupa posisi dirimu, bukan?" tanyanya. "Aku tahu" jawab Elisabeth malas berdebat. Niatnya ingin memberitahu bahwa apa yang dilakukan Robi, jangan cemburu.
Caoli gusar melihat situasi diluar perkiraan. Ia mengira Elisabeth tidak akan menimbulkan masalah setelah menandatangani perjanjian kemarin. Matanya meneliti berkali-kali ke arah pintu masuk, tokoh utama dan tokoh cadangan belum muncul, jam telah lewat dari ketentuan. Pemikiran buruk terlintas, apakah Carlo membatalkan acara pertunangan mereka atau Jero mencium jejak pengkhianatan darinya.
Orang-orang terus memasuki ruangan pesta. Gelak tawa dan kesibukan pelayan mewarnai ruangan. Robi berjalan menyusuri taman luar ruangan, taman ini menghadap langsung ke ruangan sehingga ia tidak perlu susah melihatnya. Sungguh tempat yang indah, biasanya Riu akan terpesona dan memberikan berbagai angan yang konyol. Senyum terbit begitu mengingat Riu.
Caoli mengambil gelas berisi wine yang diberikan pelayan di atas meja. "Orlando, bukan barang Caoli" bisik Elisabeth serak mendadak. Matanya melihat jari kuat Caoli mengangkat gelas, Elisabeth merindukan bagaimana tangan itu memanjakan dan memberikan perlindungan tapi sejak kemunculan Riu di hadapan Caoli, hidupnya berubah drastis hingga ia harus terpuruk seperti ini. "Jika kamu tahu itu, mengapa kamu menikahinya?" tanya Caoli kasar setelah meminum cairan dalam gelas. Tak terdengar suara dari Elisabeth. Caoli tertawa dalam hati, bodoh! pikirnya.