Leti memandangi wajah Jero di hadapannya. Keringat dingin muncul sebesar biji jagung di belakang punggung, diam-diam mengutuk Jose suaminya yang tidak muncul juga.
Mengapa dari sekian malam malah memilih hari ini datang terlambat?. Matanya cemas berulangkali melirik ke arah pintu. Ponselnya tidak bisa dihubungi sama sekali.
Wajah tampan Jero sangat mempesona tetapi, aura yang mendominasi sangat menakutkan bagi wanita kecil seperti dirinya. Terkadang heran, Riu sahabat kerjanya bisa bertahan lama dengan pria ini.
"Leti, dimana Jose sekarang ini?" tanya Jero mengeryitkan keningnya melihat jam di tangan mendekati waktu makan malam. Sebentar lagi Riu pasti bangun dan saat-saat seperti ini, ia tak mau terlalu lama diluar. Sejak pengakuan yang di dengarnya di taman, Jero ingin menghabiskan waktu lebih lama. Namun, telepon dan dokumen telah membuat hatinya kesal, memaksanya mengambil tindakan pencegahan.
"Saya tidak tahu tuan, ini baru pertama kalinya Jose tidak ada kabar berita" jawabnya takut. Leti hanya bisa berharap Jose akan baik-baik saja di sarang Caoli.
Kaki Jero yang panjang di angkat naik ke atas meja di depannya. Perasaan kesal menunggu sangat menganggu tapi ia harus mendapatkan konfirmasi dari Jose sebelum melakukan langkah selanjutnya.
"Tidak apa-apa. Hubungi aku, begitu Jose datang. Kamu siapkan saja rencana alternatif jika masalah datang lebih cepat" tunjuknya pada dokumen yang ada di meja.
Jero beranjak dari duduknya, berjalan bagai raja hutan, tidak ada aura yang bisa membantahnya jika ia berbuat kesalahan sekalipun ada, tetap terlihat benar.
Sepeninggal Jero, Leti jatuh terduduk di lantai. Tangannya gemetaran memencet nomor ponsel Jose yang ada pada daftar atas kontak. Tak ada nada sambung, kepanikan mulai dirasakan Leti. Iapun melesat menuju mobilnya yang terparkir di depan rumah. Otaknya mengingat-ingat dimana letak rumah mewah Carlo.
Cinta begitu dibutakan demi satu wanita sehingga mudah melecehkan wanita lainnya tanpa peduli jika menyakiti.
Elisabeth berdiri di hadapan Caoli dan Carlo, badannya sudah bersih walau ada luka di tempat-tempat tertentu. Kepalanya menunduk ke arah lantai, terlalu takut melihat wajah Caoli meskipun hati mencintai.
"Kamu pulang dulu ke rumah Robi. Jaga baik-baik anak kita disana. Ada tugas untukmu, periksa Robi! aku ingin tahu dia mengkhianati kita atau tidak"
Asap mengelilingi seperti ancaman yang bisa diartikan jika ia menolak, kemungkinan Elisabeth hanya tinggal nama. Perlahan-lahan mengangkat kepala untuk melihat pria yang telah memberikan anak padanya dan melukai badannya bagai binatang. Apakah Elisabeth akan bisa melaksanakan tugas yang diberikan ataukah ia akan terjebak dengan intrik-intrik permainan Carlo.
Rasa takut itu muncul disertai kengerian yang bisa saja nyawanya terenggut oleh Caoli. Senyum sinis dan jijik terlihat di wajahnya, ini menggores dalam hatinya sekali lagi.
Carlo bangkit berdiri menghampiri, "Jangan bodoh! aku tidak bisa menjamin nyawamu tetap ada tetapi nyawa anakmu bisa aku jamin akan baik-baik saja, mengingat kita satu keluarga" ujarnya pelan di telinga Elisabeth.
Sontak Elisabeth merasa tak berdaya, maju salah mundur nyawa taruhannya. "Aku--" suaranya tertahan di tenggorokan, Caoli mengelengkan kepalanya lalu mengibaskan tangannya seperti mengusir.
Elisabeth berbalik pergi dari tempat itu dengan langkah pelan, sakit yang dirasakan sama seperti hatinya. Mungkin pilihannya salah tapi cinta ini tidak dapat dihapuskan sama sekali. Mobil putih di depannya, "Nyonya Elisabeth, tuan Caoli berpesan kepada kami untuk mengantarkan anda pulang ke rumah dengan selamat" katanya sopan. Elisabeth masuk ke dalam mobil tanpa berkata-kata, ia terlalu bingung dengan kepulangannya ke rumah Robi. Apa yang bisa dikatakan kepadanya? apakah Robi akan menerima dirinya setelah ditinggalkan? tangan mencengkeram kuat sisi kursi yang diduduki.
"Nyonya, ini ada obat. Sebaiknya nyonya meminumnya sebelum bertemu tuan Robi" ucapnya pelan, Elisabeth berpaling melihat siapa yang bicara. Jose menyetir mobil dengan tenang.
"Kamu--!"
Jose tersenyum tipis. "Dunia begitu sempit bukan? mantan pacar harus mengantarkan istri bos tapi..." sindirnya tak diteruskan karena ia merasa kasihan pada Elisabeth.
Jika boleh berteriak maka itu hal pertama yang ingin dilakukan Elisabeth saat ini. Bagaimana tidak mantan pacarnya yang melihat semuanya? ini karma atau tidak, ia sendiri tak tahu. Dulu meninggalkan Jose demi mengejar Caoli karena Jose miskin.
"Aku beri saran, pergilah sejauh-jauhnya dari Caoli. Kamu tidak akan bisa hidup dengannya. Ingat anakmu" tuturnya kasihan. Dering ponselnya beberapa kali terlihat di layar, buru-buru di silent. Ia tak mau diganggu, meski layar ponsel menunjukan nama Leti istrinya disana.
Cinta pertama sangatlah sulit di terima akal sehat jika ada pertemuan.
"Aku beri kamu kesempatan untuk lari sekarang. Anakmu menyusul" ucapnya pelan melewati jalan berlubang.
"Tapi..." , mata Jose melihat arah belakang melalui kaca spion tengah. "Lari Elisabeth! aku hanya bisa beri satu kali kesempatan padamu" , emosi terlihat di mata Jose.
Elisabeth menunduk menangis tersedu-sedu, "Maaf" katanya. Hati siapa yang tidak tergoncang ketika melihat mantan dalam kondisi buruk. Walaupun perpisahan sangat tidak baik tetapi ada hari dimana momen indah itu pernah ada. Hanya mereka berdua tahu apa arti maaf yang dikatakan.
Jose menghentikan mobilnya di depan stasiun kereta api, "Pergilah! anakmu akan baik-baik saja, Caoli terlalu menyayangi bahkan memujanya" ucap pelan sembari membuka tombol kunci pintu mobil.
Elisabeth ragu-ragu membuka pintu, "Tidak ada kesempatan kedua untuk lari Elisabeth" ucap Jose lirih memberikan isyarat jika Elisabeth berubah pikiran dengan kesempatan yang diberikan, Jose tidak dapat membantu setelahnya.
"Terima kasih" ujar Elisabeth keluar dari mobil, jendela mobil diturunkan Jose. "Ambil ini, aku harap kamu bisa berhemat sampai kamu bisa mandiri. Elisabeth, aku harap kamu tidak berbuat bodoh lagi dalam hidupmu" katanya menyerahkan sebuah tas.
Elisabeth menerima dengan wajah malu dan sedih. Tanpa mengucap apa-apa lagi, mobil Jose berjalan menjauhi Elisabeth. Hati Jose terpukul secara kejam, ingatannya bagai benang senar gitar yang putus tentang Elisabeth. Selama ini berpura-pura tak mengenal sama sekali, tetapi mata tajam melindungi. Jose mempertaruhkan nyawanya sendiri demi wanita yang telah mencampakkan hatinya.
Sementara itu di rumah mewah Carlo,
"Dia mengantarkan sampai stasiun" , Caoli menoleh ke arah Carlo. Di wajahnya tampak muram, "Jadi, dia pengkhianat sesungguhnya" katanya. Carlo melempar cerutu ke arah asbak, tangannya meraih kotak cerutu. Keningnya mengerut ternyata habis, "Beri umpan datang ikan yang menyambar" katanya mengunakan perumpamaan.
"Dia lama bekerja di sisiku. Bagaimana bisa..." , sulit untuk mempercayai laporan yang diberikan anak buah Carlo sesaat tadi.
"Cinta masa lalu" jawabnya dengan santai. Caoli menghela nafas panjang, ia ingat dulu, Elisabeth yang mengejarnya hingga nekad mengandung anaknya tetapi siapa sangka masih ada hubungannya dengan Jose.
"Dunia itu sempit. Apa tindakanmu sekarang padanya?" tanya Carlo mengambil rokok milik Caoli. Rasanya asam ketika dibakar. "Aku ingin tahu apa yang dikatakannya" jawab Caoli menghembuskan asap ke arah langit-langit rumah. Carlo diam, menghisap rokoknya seperti turut berfikir padahal hatinya mengejek kebodohan Caoli.