Jero berbincang dengan salah satu kolega. Matanya tak pernah lepas dari gerak gerik Riu yang berputar dari satu tamu ke tamu lainnya. Wajah dan penampilan hari ini, banyak dari kolega yang memuji. Hal ini menambah rasa bangga sekaligus cemburu silih berganti. Tangannya memutar isi gelas wine yang berwarna putih bersih, senyum tak pernah lepas dari wajah Jero tapi ada terbersit perasaan khawatir ketika sekelebat melihat sosok Robi berjalan santai menuju arah jalan yang dipilih Riu.
Tak mau kegelisahan hatinya bertambah parah, Jero memandang ke arah lain. Di sudut khusus keluarga tampak Ayun bersama Carlo dengan senyuman merekah hingga menyilaukan mata.
"Jero" panggil Caoli santai, Jero tidak bereaksi sama sekali dengan panggilan dari Caoli. Satu tegukan cairan merah membanjiri tenggorokannya, tapi matanya tak pernah lepas dari pandangan Riu. Caoli diam-diam memperhatikan reaksi Jero yang dingin padanya. Umpatan kesal karena diabaikan dalam hati merusak ketenangannya sedikit.
"Kapan datang? mengapa tidak bergabung dengan kami di meja undangan?" tanyanya berdiri dekat Jero sambil memasukan tangan ke dalam saku celananya. "Sebentar lagi" jawab Jero pelan. Gelas ditangan digenggam erat sebagai pertahanan terakhir. Jero bersandar pada meja bar, konsep pesta ini sedikit biasa padahal ia tahu Carlo membutuhkan waktu yang banyak untuk menyiapkan.
Caoli tersenyum sinis menatap wajah Jero yang beku, tidak ada tanda-tanda dia menyadari teman-teman dekatnya akan menusuk dari belakang.
"Dimana Riu, istrimu?" tanya Caoli memecah keheningan diantara mereka berdua. Jero menyesap minumannya dengan elegan, tidak melirik sedikit pun padanya. Bukan tak tahu tapi hanya ingin mengusir perasaan tidak nyaman akibat dikhianati. "Ada di sekitar sini" jawabnya tanpa mengalihkan perhatiannya pada gerakan Riu.
Mata Caoli meneliti satu persatu para tamu tapi ia tidak menemukan sama sekali Riu, iapun bingung. Jero tidak mengatakan apa-apa lagi, kemanapun Riu pergi, ia akan selalu tahu.
Anggun dan berkelas, itu satu kombinasi yang selalu ada pada Riu. Wanita yang dipujanya sejak kuliah, ada kalanya ia benci dimana ayun pernah menjadi istrinya karena kebodohannya yang tidak meneliti lebih dulu. Tangan mengengam kuat gelasnya, kali ini dunia boleh menyeretnya ke bawah tapi Riu istrinya tetap ada di atas. Sekali lagi, Jero melirik Caoli, terlihat jelas kekesalan di wajah Caoli karena tidak menemukan Riu di antara para tamu yang memenuhi ruangan ini.
Seperti kata pepatah atau orang, tidak selamanya berada di tempat yang di inginkan atau di rencanakan.
Caoli merasakan gusar melihat tingkah Jero yang tidak seperti biasanya. Ada yang salah dengannya, ini masalah.
Jero masih berpura-pura berfikir namun matanya awas melihat secara pasti keseluruhan tempat ini. Jarinya memberikan tanda sepele seperti meletakan gelas pada sisi kanan yang hanya di ketahui orang kepercayaannya.
"Bagaimana kalau kita bergabung dengan mereka, Jero? tentu kamu tidak ingin mengecewakan teman dan saudara Riu" tanya Caoli sekali lagi. "Aku ingin menghabiskan satu gelas, kamu duluan" jawab Jero menyesap lagi minuman keras di gelasnya. "Baiklah kalau begitu, aku duluan kesana" katanya sambil menepuk lengannya sebagai basa basi.
Jero diam saja melihat cara Caoli padanya. Dulu mungkin tertipu tapi kali ini, segala cara akan ia lakukan demi menjauhkan Riu dari tangan Caoli. Orang kepercayaannya mendekat, "Tuan, nyonya ada di taman. Tuan Robi bergerak mengikuti". Jero mengeryitkan keningnya lalu menyesap lagi, "Awasi pergerakannya". Tanpa berkata-kata lagi, orang kepercayaannya segera pergi dari samping Jero.
Jero meletakan gelas di meja lalu berjalan menuju arah taman. Matanya terus mencari dimana Rui berada. Hatinya kosong tanpanya.
"Jero"
Ayun berdiri dengan kaki gelisah. "Kamu mau bertunangan, mengapa disini? dimana Carlo?" . Mata Ayun menatap dengan rakus, ia hanya ingin merekam semua gerak gerik Jero untuk dirinya.
"Aku tidak tahu"
Mereka berdua berjarak cukup jauh, hal ini tidaklah baik jika di lihat orang. "Ayun, aku tidak mau ada kesalahpahaman" teguran nyata dan menyakiti. "Apa maksudmu?" tanya ayun berpura-pura tidak mengerti, ia ingin menghampiri tapi aura yang diperlihatkan Jero membuatnya tidak bisa mendekat.
"Aku harap kamu berbahagia" ucapnya tulus, bagaimanapun juga mereka pernah berbagi ranjang suka dan suka
"Jero" panggil putus asa Ayun. Ia tak mau kehilangan Jero, ia berharap Jero mau berbuat sesuatu sebelum cincin itu melingkar di jarinya.
"Jangan katakan apapun! kamu tahu aku sudah menikah, aku termasuk ipar" bentaknya kencang, nada marah yang di pakai sengaja digunakan untuk menghentikan pemikiran Ayun yang mungkin saja terlintas.
Kalimat termasuk ipar menghentikan semua pikiran Ayun, awal berniat meminta Jero untuk menghentikan acara pertunangan kali ini tapi malah begini, ini bukan rencananya.
"Baiklah kalau itu mau kamu" ujarnya mengalah pada Jero tapi selintas rasa sakit hati muncul di matanya, Jero diam membisu seribu kali lipat.
Setelah mengucapkan itu, Ayun berbalik lalu berjalan menjauh darinya. Jero menarik baju jasnya supaya terlihat rapi, "Mau sampai kapan berdiri disana" katanya malas.
Tepuk tangan di keluarkan dengan sedikit keras, Carlo keluar dari persembunyiannya. "Dia masih mencintaimu" ujarnya malas, kalau tahu mengikuti kaki Ayun menjadi begini maka lebih baik tidak di lakukan.
Jero tertawa keras lalu mengelengkan kepala berkali-kali sebelum menepuk debu yang mungkin saja menempel.
"Kamu tahu siapa yang aku cintai. Untuk apa merebut sesuatu yang sejak awal aku tidak lihat" jawabnya ketus. Carlo harus mengakui pernyataan Ayun dan sikap Jero menjadi pertimbangan utama untuk melanjutkan acara hari ini dalam hati.
Carlo berubah suram di wajahnya, "Jero, aku masih menghormati tapi jika kamu melewati batas, jangan salahkan aku" . Peringatan kecil terdengar sepele di telinga Jero, namun bukan Jero namanya jika tak bisa membuat lawannya berfikir ribuan kali untuk melawannya.
Lagi-lagi Jero tertawa kencang, sejak kapan manusia setengah gila yang dikenalnya sebagai sahabat mulai berani mempertanyakan keputusan yang diambilnya.
"Pertimbangkan persahabatan kita, Jero". Ucapan setengah mengancam ini hanya membuat tawa Jero semakin keras. "Kalau begitu, batalkan keputusan bodoh itu" ucap bernada rendah tapi datar.
"Kamu mengetahui itu" cela Carlo dengan pelan. Tuduhan tak berdasar tapi tepat, Jero memasukan tangan ke dalam saku celananya. "Tidak ada yang tidak aku ketahui, kebangkrutan bisa menjadi alasan bagi Ayun untuk pergi darimu", Jero tahu jelas seperti apa mantan istrinya. Di mata Ayun, kemewahan dan intrik dijadikan benar hanya demi kata cinta palsu.
"Baiklah aku keluar dari permainan. Aku akan beritahu lainnya", Carlo berbalik meninggalkan taman itu, tekad bulat sudah ada di tangan. Masalah Caoli mengamuk itu akan dipikirkan belakangan. Jero diam menatapi kepergian Carlo. Masalah satu sudah di singkirkan tapi masalah terpenting lainnya belum bisa di ambil keputusannya.