Chereads / Cinta Istri Kedua / Chapter 20 - Mata Berkabut

Chapter 20 - Mata Berkabut

Riu memainkan kotak di tangan dengan penuh keraguan. Jero memperhatikan tingkah Riu dari ia berdiri. Kotak perhiasan panjang diletakan di meja rias sejak tadi tapi sepertinya pikiran Riu kemana-mana.

"Jangan salah paham, kamu hanya perlu bertingkah sesuai status" ujarnya membenarkan pakaiannya, senyum dingin terpatri di wajahnya.

"Aku tahu". Perkataan lemah Riu menyebabkan alis di kening Jero terangkat sedikit ke atas, ada rasa tidak menyukai tapi ia sudah terbiasa dengan ini.

"Akhirnya, hari ini datang juga" kata Jero berbalik melihat Riu melalui kaca meja rias. Riu duduk di kursi meja rias, wajahnya dipoles sempurna bahkan cenderung indah. Jero menyukai dandanan Riu yang seperti ini.

"Kamu senang bukan" kata Riu datar. Hatinya menjerit bahkan meronta tak terima. Hidupnya mirip layang-layang putus selama lima tahun ini hingga datang hari ini.

"Tentu saja aku senang" ujar Jero tanpa merasa bersalah. Ini impiannya sejak lama untuk membuktikan kekuatannya pada dunia luar terutama Riu.

Jero berjalan mendekati Riu dari belakang lalu meraih kotak dan membukanya. Satu set perhiasan yang indah terpampang depan mata.

"Jaga kelakuanmu" tegur halus Jero, tangan melekat erat di pinggang, dagu di lekuk leher Riu. Bau lembut parfum kesukaan Riu menggoda setiap saraf Jero. Keharuman yang bikin perasaan terbuai dengan feminim bahkan seperti memberikan perhatian yang mewah.

Sebuah kalung terukir nama dengan hiasan bunga mawar di sekelilingnya, sungguh cantik dan menawan. Sepasang anting tempel berbentuk mawar dengan berlian di satu sisi, terlihat menawan.

"Ini...". Tangan Riu meraba leher ketika kalung di letakan di sekitar leher Riu dengan indah, memperlihatkan lekuk lehernya yang putih dan halus. Jero mendaratkan bibirnya lembut, setiap kali menyentuh,

"Riu, kamu milikku" ucapnya tanpa bisa ditahan lagi, menghisap seperti vampir untuk meninggalkan jejak kemerahan sebagai tanda kepemilikan yang hakiki.

"Aku tahu tapi tidak hatiku" kata Riu jengah, biar seperti apapun hubungan mereka berdua namun jelas sudah ikatan pernikahan.

"Mengapa tidak?" tanya Jero dengan nada tidak senang. Aura ketidakpuasan mulai datang dari diri Jero.

"Aku tidak bisa" jawab Riu pelan. Lima tahun sudah berlalu tapi masih tidak bisa mengantikan sebuah nama di hati Riu, sangat menjengkelkan pikir Jero.

"Jangan lupa kamu istriku sekarang" tegur Jero mengingatkan. Riu menghela nafas sebanyak ia bisa, irama di leher berubah menjadi kepemilikan yang kuat.

"Tidak perlu kamu ingatkan, aku sudah tahu" kata Riu acuh tak acuh. Jero terhenti dari kegiatannya, memikirkan lagi apa yang akan dikatakan.

"Robi akan datang". Perkataan tersebut sukses menghentikan pemikiran Riu di kepala. Matanya sontak menatap langsung pada mata Jero.

"Dia?" tanya Riu heran. Mengapa mendadak Robi muncul setelah memberikan pesan setelah sekian lama tak ada kabar, apa maksudnya ini pikir Riu.

"Satu kali kamu bergerak maka seluruh hidup Robi akan musnah" cetus Jero melanjutkan lagi kegiatannya yang sempat terhenti yaitu memberikan tanda jelas di leher Riu.

Riu memandang Jero dari kaca meja rias. Wajah laki-laki yang mengejarnya hingga ke ujung dunia. Hatinya sakit. Pria yang dicintainya menghilang bahkan meninggalkan ia sendiri, lalu apa yang dicarinya.

"Apa kamu tau cinta tidak harus memiliki?" tanya Riu sangat hati-hati. Ia tak mau malam ini berubah menjadi ajang kemarahan Jero.

"Aku--" jawab Jero seraya melepaskan Riu, berjalan sedikit menjauh untuk memperhatikan, "Aku memang tidak dapat memiliki hatimu tapi tubuhmu, jiwamu bahkan kehidupan tujuh turunan tidak akan bisa kamu lepaskan" katanya datar.

Mata saling menatap di kaca meja rias. Hati siapa yang hendak berlomba-lomba untuk berbohong. Waktu lima tahun bukan waktu yang singkat diantara mereka berdua.

"Cepatlah! aku menunggu di luar" kata Jero berbalik keluar kamar dengan perasaan dingin.

Perlahan tapi pasti, mata Riu berubah berkaca-kaca. Ada perasaan tidak rela dengan dengung yang bertubi-tubi mencari kesempatan berlari.

Sepasang anting di gunakan di telinga, gelang di pasang di lengan, semua tampak indah dan berkilau tapi terasa kosong.

Riu melangkah keluar kamar menuju luar, dilihatnya Jero memandang langit dengan bersandar di pilar rumah. Tampak kesepian bahkan wajahnya memendam sejuta pikiran.

Jero memalingkan wajahnya ke arah belakang dimana Riu berdiri dengan anggun. Sebuah kesempurnaan yang tak terbantahkan oleh siapapun yang melihatnya.

Tersenyum kemudian menghampiri dengan santai tapi tegas, Jero mengarahkan lengannya untuk dipegang oleh Riu.

"Ayo" ucapnya lembut. Riu menganguk sambil berjalan mengikuti langkah pelan Jero. Semua orang akan mengakui keberadaan Jero malam ini bersama Riu disampingnya. Mobil BMW keluaran terbaru dengan warna metalik. Sopir membuka pintu lebar-lebar supaya keduanya masuk kedalam dengan nyaman.

Mobil berjalan perlahan sebelum meninggalkan rumah, Jero memandang wajah Riu dengan penuh minat. Riu membaca notifikasi di ponsel dengan hati-hati. Salah sedikit, Riu takut Jero akan mengetahui apa yang ada di ponsel.

Kepadatan mobil di jalanan mulai tampak di tikungan, mobil melambat. Hujan mulai turun membuat kepanikan di sana sini terlihat. Petir menyambar dengan kuat memberitahukan jika akan ada peristiwa penting yang akan terjadi.

Waktu terasa berjalan lambat, Riu menatap kosong jalanan luar jendela. Tangan berada di genggaman Jero, hati berkelana mengenang banyak hal.

"Riu"

Panggilan pelan dari Jero tidak mengubah posisi Riu untuk melihat ke arahnya. Jero menghela nafasnya lalu bergerak bersandar di bahu Riu untuk menarik Riu dalam lamunannya. Ia benci jika Riu mengacuhkan dirinya seperti ini.

"Riu... apa yang kamu pikirkan?" tanya Jero pelan. Wajah Riu terlihat muram mendengar pertanyaan Jero, bagaimana tidak ia memikirkan mantan kekasihnya yang akan hadir dalam pesta, apa yang harus dilakukan jika tak sengaja bertemu, apa maksudnya dari pesan yang dikirimkan sebelum mereka bertemu pikir Riu gamang.

Riu menggeser tubuhnya sedikit menjauhi Jero, "Tidak ada, aku hanya cemas" ujarnya lembut. Jero menegakan tubuhnya mendengarnya, ada semacam sentilan di hati melihat penolakan halus Riu. "Cemas? aku ada disini. Apa yang terjadi jika ada aku?" tanya Jero setengah memiringkan kepalanya menatap Riu, hatinya tergerak berulangkali setiap Riu terlihat kesepian namun ia terlalu egois untuk meraihnya. Riu mengangkat bahunya tanpa menoleh sedikitpun padanya.

Tak mau menyia-nyiakan sesuatu hal tak penting pada gejolak emosi Riu, Jero mengambil ponselnya untuk mengisi waktu sementara itu, kabut tipis berada di mata Riu sekali lagi, beruntung dirinya mampu menekan air mata agar tidak jatuh ke pipi dan merusak dandanannya.

Beberapa pesan mengusik Jero terkait orang-orang yang telah diberikan tanda merah olehnya. Senyum dingin dan amarah timbul begitu menyelesaikan pesan balasan. Mulutnya rapat terkunci, ponsel di masukan kembali di balik jas yang dipakainya.

Riu menggosok tubuhnya saat merasakan hawa dingin yang mendadak, sejenak linglung memperhatikan sekitarnya tapi hanya Jero yang sanggup memancarkan udara dingin bak pegunungan Himalaya.