Caoli melihat jam di tangan sementara Robi menghela nafas resah. Gelas berisi wine di tangan. Asap rokok membumbung ke atas mengisi ruangan sempit. Tak ada udara selain AC, suara musik mengalun lembut memberikan ketenangan. Pertemuan Caoli dan Robi untuk memastikan satu kali lagi mengenai keterlibatan Robi dalam permainan Caoli.
"Caoli, kamu nyakin jika aku ikut terlibat, Rui tidak akan menaruh dendam padaku" ucapnya lemah ditengah hangatnya cairan wine di tenggorokan.
"Tidak ada jalan mundur" teriak Caoli marah. Rokok dimatikan dalam asbak dengan tenaga ekstra, tangan menyambar gelas dengan kencang sehingga tumpah bercecer di atas meja.
"Aku tahu tapi resiko ketahuan Jero sangatlah besar. Kerugian menyinggung akan berlipat-lipat bahkan tak bisa di anggap enteng" kata Robi kesal. Membayangkan kemarahan Jero pada dirinya bahkan mungkin bisa membuat ia terbunuh. 75% saham miliknya sudah berpindah tangan menjadi perusahaan gabungan milik Jero. Seandainya gagal maka di pastikan ia bangkrut bahkan untuk membayangkan kebangkrutan tersebut bikin Robi ngeri.
brak!
"Kamu mau mundur? bangsat! ingat, saat ini kamu membutuhkan uangku!" teriak Caoli kecewa.
"Caoli, Aku-- hanya tak ingin menyakiti Riu" kata Robi pelan, ia tahu Riu tidak akan menyetujui sikapnya.
"Bukankah kamu katakan masih menginginkan Riu? ini kesempatan bagus untuk memulai segalanya" ujar Caoli mengelengkan kepala lalu menarik satu batang rokok dari bungkus.
"80% dalam proses masuk ke dalam rekening milikmu sementara 20% malam ini tepat jam 20.00 tersedia di rekening. Apalagi yang kamu pikirkan?" tanya Caoli membeberkan banyak fakta terselubung.
"Entahlah Caoli" jawab Robi melemah. Caoli memperhatikan penampilan kusut Robi. Ada 3 jam sebelum pesta besar Carlo. Pesta yang ditunggu sebagian besar orang demi sebuah pengakuan.
"Hutang sudah bertumpuk masih gengsi di pelihara" ucap Caoli menyodorkan bungkus rokok, Robi mengambil dengan pasrah.
"Kamu benar" kata Robi menyetujui perkataan Caoli, siapapun akan melepaskan perasaan gengsi tapi ini Jero pikirnya lambat.
"Aku hanya bisa membuka jalan kekayaan dan kesenangan. Semua juga tergantung pada keputusan dan keberuntungan" ujar Caoli bangkit berdiri lalu melambaikan tangan pada salah satu pelayan.
"Baiklah aku ikut" kata Robi bangkit berdiri setelah mematikan rokok, bukan karena tawaran dari Caoli melainkan hatinya yang ingin bertemu Riu. Caoli mengeluarkan uang dari dompetnya, pelayan menerima dengan anggukan mengerti.
Kalimat yang ditunggu akhirnya terucap, Caoli tersenyum sinis dalam hati seperti mengatakan selamat datang di neraka buatan.
Robi mengendarai mobilnya dengan hati-hati, ia tak mau celaka hanya karena masalah sepele. Jalanan tak terlalu padat sehingga ia cepat sampai rumah.
Rumah berlantai dua dengan taman asri di depannya membuat siapapun betah untuk berlama-lama berada di dalamnya. Robi perlahan masuk kedalam, terdengar teriakan dari putra kesayangannya. Suara teriakan dari arah dapur ikut mewarnai. Ia terus melangkah menuju kamarnya di lantai dua.
Kamar yang dihuni beberapa tahun terakhir, Robi terus masuk hingga balkon. Rokok dan minuman keras menjadi pelariannya. Ponsel ditangan berulangkali di baca dengan perasaan berantakan, sebenarnya ia tidak ingin mengusik Riu tetapi ada hutang yang harus dibayarkan di masa lalu.
klik!
"Robi, kapan kamu pulang? aku tidak mendengar kamu masuk", Elisabeth berjalan perlahan menghampiri Robi. Tangannya melingkar di pinggang, kepalanya di sandarkan pada punggungnya, ada rasa rindu terselip di hatinya.
Robi diam membisu, dua tahun terakhir seperti ini, perselingkuhan Elisabeth diketahui lama tetapi ditahannya demi putra semata wayangnya. Elisabeth merasakan keheningan di antara mereka menjadi sebuah awal dari pernikahan. Usapan halus oleh tangan Elisabeth di sekitaran perut Robi memberikan harapan tapi Robi menahannya lebih lanjut.
"Aku lelah, keluarlah!"
Robi melepaskan ikatan tangan di depan tubuhnya supaya bisa menjauh dari kekecewaan Elisabeth. "Robi, aku--", Robi terus berjalan masuk kedalam kamar kemudian duduk di ranjang. Elisabeth menarik nafas tajam sebelum menghentakan kaki ke lantai untuk pergi.
bum!
Suara pintu terdengar keras di lantai satu rumahnya. Robi menarik lepas dasinya, wajahnya muram, ditariknya laci di bawah tempat tidur. Beberapa foto berserakan di dalamnya, "Riu" gumamnya. Tampak foto Elisabeth di antaranya bersama pria yang dikenalnya.
"Kalau kamu masih ingin bermain-main dengannya maka apa boleh buat, terpaksa aku melibatkan diri" desisnya marah, meraup satu foto Elisabeth bersama Caoli dan Orlando. Penipuan yang dilakukan Elisabeth telah mengacaukan banyak hal padanya, kertas berisi tes DNA Orlando di ambilnya dan dibaca sekali lagi, hatinya kosong. Wanita yang dinikahinya selama ini sanggup menipunya.
Robi menutup kotak kemudian di geser kembali tempatnya. Kepalanya pening efek alkohol, iapun merebahkan dirinya di atas kasur tetapi telinganya masih menangkap suara samar mobil pergi dari rumahnya sebelum jatuh tertidur.
Malam semakin pekat. Caoli bermaksud pulang untuk mempersiapkan besok. "Bos, nyonya Elisabeth datang" kata Jose orang kepercayaannya bersiaga. "Berkas sudah disiapkan untuknya?" tanya Caoli tenang. Jose menyerahkan berkas tersebut di atas meja bertepatan Elisabeth duduk di hadapan mereka berdua. Wajahnya tak terlalu baik, "Mengapa kamu ingin menemui ku?" tanya gusarnya. Caoli mengangkat alisnya satu, ia tak suka mendengar nada suara Elisabeth namun ditahannya demi tujuan yang lebih besar. Ia harus membersihkan kekacauan dalam hidupnya sebelum benar-benar mendekati Riu, menghindari kerugian sekecil apapun supaya tidak bersifat merusak.
"Perjanjian pelepasan aset dan kamu juga tanda tangani ini" jawabnya dengan santai menarik tangan Elisabeth lalu diletakan pena. "Apa ini?" tanya Elisabeth bingung, terpaksa ditandatangani walaupun belum membaca.
"Tanda tangani maka hidupmu akan baik-baik saja. Ingat Elisabeth, Orlando bisa aku ambil tanpa kamu cegah dan membuat Robi tahu siapa dirimu" ujarnya santai memakai kembali celananya yang teronggok di betisnya. Ia tidak peduli dengan kondisi Elisabeth yang kehilangan arah, semua orang penting terpampang dengan cantik di mata semua orang yang disekelilingnya.
Orang kepercayaan Carlo dan anak buahnya bersiaga dengan mata sekilas memandang. Diskotik ini sebagian besar saham miliknya tapi jika Elisabeth ingin membuat masalah dengannya maka terpaksa dilakukan pencegahan kerugian.
Elisabeth cepat membaca dokumen lalu mengangkat matanya pada mata Caoli. "Ini bukan perjanjian tiga tahun lalu, Caoli! kamu tidak bisa begini padaku. Kita ada Orlando disini terlibat" seru Elisabeth marah setelah menandatangani, ia baru menyadari jika Caoli mampu berbuat lebih menakutkan dari yang ia perkirakan. "Orlando anakku! ingat itu" kata Caoli bergerak pergi tinggalkan Elisabeth yang termangu di tempatnya. Dunia berputar-putar menurut porosnya. Cinta bergerak diantara permainan anak manusia.
Elisabeth terdiam sepeninggal Caoli, desah kesalnya tak berbuah hasil yang diinginkan. Ia bangkit berdiri segera pulang, hatinya kacau. Dulu berharap banyak pada Robi ketika masa itu, hamil dan tak berdaya. Begitu di dalam mobil air matanya menetes deras. Penyesalan mulai timbul padahal selama ini, ia cuek selama Caoli tetap bersamanya meski status istri Robi.
"Orlando, maafkan mama"
Tangannya bergerak menyalakan mobilnya meninggalkan tempat itu. Tempat dimana semua hidupnya berubah 180° penuh penyesalan.