"Hanya tinggal lunching, Sayang. Siang ini Mama ada meeting dengan staf untuk produk serum terbaru dari klinik kita ini."
"Jangan lupa jatah untuk Dira dan Jesslyn, Mah. Mereka udah nggak sabar mau nyobain."
Claudya tersenyum, teman-teman dekat Trisha biasa mendapat produk gratis setiap kali kliniknya mengeluarkan produk terbaru. Semacam tester. "Pasti, dong. Mereka, 'kan pelanggan klinik juga. Tentu mereka dapat."
"Wah! Mereka pasti bakalan seneng banget, Mah. Nggak, bukan seneng lagi, mereka pasti histeris." Trisha terkekeh, menular pada Claudya dan Admaja.
Obrolan hangat di meja makan seperti ini tidak pernah absen, meski setiap anggota keluarga Admaja akan sibuk dengan urusan masing-masing setelahnya.
Tawa Trisha perlahan memudar, saat menatap satu kursi di meja makan itu yang sudah lama kosong. Trisha menghela napas, tiba-tiba rasa rindunya menyeruak.
Gadis itu kemudian bangkit setelah selesai sarapan, ia mencium pipi kanan-kiri Papa dan mamanya terlebih dahulu sebelum beranjak. Setiap hari selalu ada momen bercengkerama dengan kedua orang tuanya seperti sekarang ini. Trisha tidak mau kesibukan masing-masing menyita seluruh waktu. Ia tidak mau upaya memupuk materi merenggut kebahagiaan dan arti kehangatan keluarga yang sesungguhnya.
Kedua kaki gadis itu kini terayun menuju kamarnya, tetapi terhenti sejenak pada bingkai foto besar yang menggantung di dinding. Ia mendongak, kemudian menatap hening bingkai foto itu.
Bingkai foto keluarga dalam nuansa formal itu terdiri dari Papa, Mama, dirinya dan satu lagi anggota keluarga Admaja yang sudah lama tidak berada di tengah-tengah mereka. Sosok pria mengenakan setelan jas rapi berdiri gagah, tepat di samping Trisha. Sosok yang amat Trisha rindukan.
Arah pandang Trisha berpindah ketika Snowy sudah bergelayut manja di kakinya. "Hei! Kucing nakal," guraunya kemudian mengangkat Snowy ke dalam gendongan. Trisha terlihat gemas dengan kucing itu, kemudian memainkan salah satu tangan Snowy sambil berlalu, menyisakan bingkai foto berukuran besar yang sempat membuatnya hening tadi.
***
"Bikin malu aja!" ucap Admaja dengan intonasi meninggi. "Kamu benar-benar mencoreng citra baik keluarga kita, Tristan."
Tristan hanya menunduk.
"Skandalmu dibicarakan di mana-mana. Pria macam apa kamu ini? Kenapa kamu lari dari apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabmu!"
"Aku hanya dijebak, Pah. Wanita macam dia akan melakukan segala cara untuk bisa bersanding denganku. Untuk bisa menjadi bagian dari keluarga Admaja, bahkan dengan cara murahan seperti ini."
Ada jeda sejenak melingkupi.
"Nikahi dia, Tristan," putus Admaja lirih.
"Enggak!"
"Tristan!"
"Aku nggak mau, Pah. Aku hanya akan menikah dengan wanita yang aku cintai."
"Persetan dengan cinta, Tristan! Kamu sudah menghamilinya." Amarah dan kecewa membaur dalam kalimat Admaja.
"Enggak akan," tolak Tristan lirih, tetap pada keputusannya.
"Papa tidak pernah mendidikmu menjadi pria berengsek seperti ini, Tristan." Suara Admaja bergetar.
"Maaf," sahut Tristan singkat.
"Pergi!"
Tristan tercekat. Berusaha mencerna satu kata dari papanya yang bernada menghardik itu.
Trisha yang masih mengenakan seragam putih abu-abu menguping dari balik pintu kemudian tersentak, saat tiba-tiba pintu dibuka kasar oleh Tristan. Pandangan kakak beradik ini bertemu. "Kak?" lirihnya.
Pria yang Trisha panggil dengan sebutan 'Kak' itu terlihat menghela napas sekali, kemudian berlalu begitu saja dari hadapannya.
Trisha mengerjap, masih terpaku sesaat pada bingkai foto yang menggantung di dinding. Ia mengingat betul kejadian hari itu.
"Miouw ...."
Arah pandang Trisha kemudian berpindah saat Snowy sudah bergelayut manja di kakinya.
"Hei! Kucing nakal," guraunya kemudian mengangkat Snowy ke dalam gendongan, Trisha memainkan salah satu tangan Snowy sambil berlalu. Menyisakan bingkai foto berukuran besar yang sempat membuatnya hening tadi.
Gadis penyuka seni itu kembali ke dalam kamarnya dengan Snowy yang masih berada dalam dekapan. Ia masih punya banyak waktu untuk bercengkerama dengan kucingnya, sebelum berangkat kuliah.
Pintu balkon kamar disibak hingga terbuka lebar. Hangat matahari menerobos masuk tanpa permisi. Udara pagi ini masih segar. Gadis bersurai hitam legam sepunggung itu, terlihat menghidup napas dalam-dalam lalu mengembuskanya perlahan, ia memejam sambil tersenyum. Saat matanya mulai dibuka kembali, ia menyipit oleh sinar matahari yang menyiluakan.
Pandangannya kemudian menyapu hamparan hijau padang golf di hadapan, lagi-lagi itu menarik ingatannya pada seseorang yang sudah lama pergi meninggalkan rumah.
"Begini, buka sedikit kedua kakimu seperti ini. Pastikan pijakanmu sudah seimbang. Pegang stik golf dengan kuat dan buat gerakan mengayun tangan ke belakang, ini disebut teknik backswing. Setelah itu buat gerakan berlawanan arah dengan fokus menghantam bola, ini disebut teknik downswing."
Tristan telaten mengajarkan teknik dasar bermain golf pada Trisha. Kemudian unjuk kebolehannya dalam memukul bola. Pukulan yang cukup kuat, membuat bola golf melesat jauh dari pandangan, hampir mengenai sasaran.
"Wuah ... Kakak hebat!" Trisha bertepuk tangan.
"Sekarang giliranmu."
"Aku?"
"Hmm."
Trisha bersiap, memosisikan diri dengan seimbang. Tristan menginterupsi dari dekat, membenarkan pegangan tangan Trisha pada stik golf agar bisa terayun sempurna ke belakang. Trisha kemudian sudah mengayunkan stik golf di tangannya menuju arah berlawanan, siap menggempur bola. Namun, bukan bola yang lepas landas dari porosnya, tetapi justru stik golfnya terlempar--lepas dari genggaman. Peristiwa itu kemudian berhasil memancing tawa keduanya.
"Eh, kok bisa, sih?"
Tristan masih tergelak. "Udahlah, Tris. Main petak umpet sama Snowy aja sana."
"Dih!" Trisha mencebikkan bibir.
"Udahlah, kamu nggak bakat, udah."
"Jahat!"
Trisha tersenyum simpul mengenang momen kebersamaannya dengan Kakak laki-laki satu-satunya itu.
"Snowy, apa kamu juga merindukan Kak Tristan?"
"Miouw ...."
"Aku sangat merindukannya, Snowy," ucap Trisha sambil menatap Snowy, mengusap kepala Snowy hingga membuat kucing berbulu putih lebat itu memejam, merasakan sentuhan tangan lembut Trisha.
***
Mobil sedan hitam mengkilat baru saja terparkir rapi di sebuah area kampus ternama, tempat di mana Trisha menghabiskan waktu tiga tahun terakhirnya.
"Trisha!"
Trisha menoleh, kemudian mendapati Dira dan Jesslyn berlarian kecil ke arahnya.
"Lo baru nyampe?"
"Kalian udah dari tadi?"
"Nggak dari tadi banget, sih," jawab Jesslyn.
"Tadi kita ke kantin dulu." Dira menimpali.
"Dira, nih udah abis dimsum seporsi, masih nambah roti bakar, menyusul jus alpukat segelas. Heran, perutnya nggak meledak apa."
"Kalau meledak, gue nggak lagi berdiri anggun di sini sekarang."
Jesslyn merotasi bola mata. "Nggak adil banget emang, dia bisa makan serakus itu, tapi badannya nggak berubah. Sementara gue, ngeliat dia makan aja, nambah sekilo timbangan gue."
"Ngiri, 'kan lo? Jangan ngiri, deh mending lo nganan aja."
"Dih!"
Trisha meloloskan tawa kecil melihat berdebatan konyol kedua sahabatnya itu. Tingkah Dira dan Jesslyn selau bisa membuat dirinya merasa terhibur.
Tawa itu, tawa yang sedari tadi diperhatikan diam-diam oleh seseorang yang tengah duduk di bangku kosong tak jauh dari tempat ketiga gadis itu berdiri. Hanya satu di antara ketiganya yang berhasil menarik atensi. Pria berpakaian casual itu membenarkan kaca mata, sambil masih memperhatikan objek indah di hadapannya itu dalam hening.
"Yuk, ah masuk. Bentar lagi kelas kita mulai." Jesslyn menginterupsi. Ketiganya kemudian melangkah beriring menuju kelas.
Tak lama kemudian, pria berkacamata itu bangkit, menyusul di belakang. Langkahnya kini terayun menuju ruangan yang sama dengan ketiga gadis tadi. Trisha terlihat sudah duduk rapi di bangkunya, meletakkan tote bag warna putih di atas meja. Pria berkacamata ini berjalan ke arahnya. Ketika sorot matanya dan Trisha bertemu, pria itu menunduk. Melewati Trisha begitu saja. Kemudian menuju bangku di seberang yang berjarak tiga bangku dari posisi Trisha duduk.
Ruangan kelas sudah penuh setelah beberapa saat. Dosen yang mengajar mata kuliah hari ini pun mulai memasuki ruangan.
"Selamat siang, Anak-anak."
"Siang, Pak!" jawab serempak seisi ruangan.
"Ya! Senang sekali siang ini kita dapat bertatap muka kembali di sini, untuk melanjutkan materi mata kuliah kita yaitu, Sejarah Seni Rupa."
Seisi kelas tampak tenang menyimak setiap kalimat yang keluar dari dosen berambut ikal yang sudah mulai memutih itu, tetapi tidak dengan pria berkacamata yang sedari tadi mencuri pandang ke arah Trisha. Dari tempat duduknya, ia bisa memandangi gadis itu dari samping. Trisha tampak fokus ke depan dengan mata lentiknya yang mengerjap setiap beberapa detik, juga sesekali jemarinya menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Gerak-gerik Trisha selalu sanggup menghadirkan damba di hatinya tanpa bisa dicegah.
Pria itu masih sesekali mengarahkan pandangannya pada dosen yang sedang menyampaikan materi. Namun, netranya ingin terus menatap gadis yang disukainya itu lebih lama lagi.
"Baiklah, Anak-anak, sebelum kelas kita tutup, Bapak ingin kalian membuat satu sketsa tentang kesenian yang ada atau yang kalian temui di sekitar lingkungan kalian. Bisa berupa perayaan adat atau apa saja. Sampai di sini ada yang ingin ditanyakan?"
Hening.
"Paham, ya? Baik, Bapak cukupkan kelas hari ini. Bapak tunggu sketsa terbaik kalian besok. Selamat siang," ucap dosen paruh baya itu kemudian meninggalkan ruangan.
"Siang, Pak!" sahut serentak seisi kelas.
"Wow! Bikin sketsa," seru Dira bersemangat.
"Deadline besok lagi." Reaksi Jesslyn tampak sebaliknya.
"Gimana kalau kita kerjain bareng di rumah lo, Jess?" usul Dira tiba-tiba.
"Ya udah ayo, tapi abis selesai kita maraton drakor, ya?"
"Gimana, Tris?"
"Boleh."
"Sebentar, gue angkat telepon dulu." Jesslyn menerima panggilan. "Hallo, Babe. Sorry, malam ini kita nggak jadi jalan. Gue ada tugas. Next, ya, Babe."
Trisha dan Dira yang menyandang status jomlo hanya terdiam menyaksikan Jesslyn yang tengah asyik melakukan percakapan dengan kekasihnya.
"Cari pacar, Tris. Biar ada yang bisa dipanggil babe."
Trisha mengulum senyum. Gadis itu masih betah sendiri. Padahal di kampus, tak sedikit pria yang berusaha mendekatinya. Namun, belum ada satu pun yang berhasil merebos masuk ke dalam hatinya.
"Kita mau langsung pulang aja?" tanya Jesslyn sesaat setelah memasukan kembali ponsel pintarnya ke dalam saku celana.
"Yuk, ah lebih cepat lebih baik."
Ketiga gadis itu kemudian beranjak meninggalkan ruangan. Berjalan beriring menuju area parkir.
***
Bersambung 🍃
follow IG @trishadmaja
Untuk informasi seputar cerita.