Kesibukan terlihat di sebuah kafe yang masih dalam persiapan terakhirnya sebelum dibuka secara resmi, besok.
Kafe yang memakai container terbuka sebagai tempat meramu pesanan para pelanggan itu, berada di lokasi strategis. Dikelilingi area perkantoran dan kampus. Itu membuat pemilik kafe ini optimis.
"Semua persiapan udah kelar, Van. Kafe ini sudah siap mengudara besok. Huft! Akhirnya, ya."
Ervan mengangguk, mengedarkan pandangannya pada kursi yang berjajar, lampu kelap-kelip yang menyala, dan container warna merah di sudut ruang.
"Lo mau ke mana setelah ini?" tanya Adam--teman Ervan yang juga akan menjadi salah satu pelayan kafenya.
Ervan meneguk kopi espreso-nya terlebih dulu sebelum menjawab, "langsung pulang."
"Ngapain, sih buru-buru amat. Ini belum larut-larut banget, kita ke mana dulu gitu, kek."
Untuk sejenak, fokus Ervan tertuju pada layar ponselnya--membaca sebuah pesan yang kemudian membuatnya buru-buru beranjak dari posisinya.
"Gue harus balik sekarang, Dam. Tolong beresin ini sebelum lo pulang."
"Oke, nggak masalah. Tapi lo keliatan buru-buru amat mo ke mana, sih?"
"Pulang," sahut Ervan singkat.
"Ya, udah hati-hati. Kita grand opening besok."
Ervan sudah menaiki motornya, memakai helm full face dan mulai memacu motor retro klasik jenis cafe racer miliknya.
Ervan membunyikan klakson sekali, sebelum benar-benar berlalu. Menyisakan Adam yang lalu mulai membereskan cangkir kopi mereka tadi.
Malam memang belum terlalu larut, tetapi pria itu seolah diburu oleh sesuatu hingga kecepatan motornya dipacu di atas rata-rata.
***
"Kenapa nggak nginep aja, sih, Tris? Ini udah malam tahu," ujar Jesslyn.
"Nggak apa-apa, Jess. Tenang aja."
"Hati-hati kalau gitu."
"Siap. Gue balik sekarang, ya."
"Oke, kalau udah sampai rumah kabarin."
"Beres."
Trisha mulai memasuki mobil sedan hitam mewah miliknya, memakai sabuk pengaman dan sesaat kemudian ia sudah meninggalkan kediaman Jesslyn. Gadis itu memutar play list lagu favoritnya dari audio mobil, untuk menemani sepanjang perjalanannya menuju rumah.
Jalanan tampak lengang. Gadis itu berpikir bisa sampai rumah dengan cepat. Namun ternyata, ia salah. Apa yang menghadang di depan membuatnya menginjak rem secara tiba-tiba. Jantung Trisha berpacu lebih cepat karena terkejut. Belum lagi ia melihat sekawanan pria tinggi besar berpakaian serba hitam turun dari motor kemudian menghampirinya, mengetuk kaca jendela dengan kasar.
Panik, itu yang dirasakan Trisha saat ini. Merasa terancam, gadis itu meraih ponselnya untuk meminta pertolongan. Namun sial, daya ponselnya habis. Trisha lupa mengisinya tadi.
Ketukkan kasar dari luar masih terdengar. Trisha tidak mungkin membukanya, itu terlalu berbahaya.
"Siapa saja tolong aku," gumamnya gemetar.
Seorang pengendara motor terlihat melintasi jalanan itu. Pengendara motor itu merasa sedikit janggal dengan kawanan pria tinggi besar berdiri di samping mobil mewah yang berhenti di tepi jalan. Ia menyempatkan menoleh sesaat. Seorang gadis terlihat melambaikan tangan ke arahnya dari dalam mobil.
Trisha berusaha meminta pertolongan pada pengendara yang melintas itu dengan melambaikan tangannya penuh harap. Namun sia-sia, pengendara itu melewatinya begitu saja. Air mata Trisha sudah menganak sungai saat ini. Segala kemungkinan buruk mulai hadir di kepalanya. Trisha menunduk, sambil tersedu, ia menutup kedua telinganya saat sekawanan pria tinggi besar di luar menghantam kaca jendela mobilnya dengan benda tumpul.
Ervan memutuskan berbalik arah, kembali ke tempat di mana ia melihat sekawanan pria tinggi besar yang berhenti di pinggir jalan tadi.
Trisha mengangkat wajah, ketika tidak lagi mendengar hantaman pada kaca jendela mobilnya. Saat ini, ia justru melihat perkelahian sekawanan penjahat itu dengan seorang pria. Ada seorang pria datang untuk menyelamatkannya? Ia mengucap syukur dalam hati.
Pria itu menggunakan helm full face-nya untuk menghantam kepala dari salah satu kawanan penjahat. Trisha menyaksikannya dari dalam mobil. Pria yang pemberani, ia menghadapi kawanan penjahat itu sendirian. Dalam hati, Trisha berdoa agar Tuhan melindunginya.
Setelah berada di dalam mobil dengan harap-harap cemas, Trisha melihat sekawanan penjahat itu akhirnya kabur. Melihat situasi dirasa sudah aman, Trisha keluar dari dalam mobil.
"Kamu nggak apa-apa?" Trisha menghampiri Ervan.
"Enggak."
"Tapi itu ... hidungmu keluar darah."
Ervan mengusap hidungnya dengan punggung tangan. "Nggak apa-apa, sedikit."
"Terima kasih banyak. Aku nggak tahu apa yang terjadi padaku tadi, kalau kamu nggak datang."
"Sama-sama," sahut Ervan singkat.
"Apa yang bisa kulakukan untukmu, sebagai ucapan terima kasih?" Trisha merasa ucapan terima kasih saja tidak cukup.
"Nggak perlu."
"Eum ... siapa namamu? Aku Trisha." Trisha mengulurkan tangannya.
Ervan menyambut uluran tangan Trisha. "Ervan."
Untuk sejenak, tatapan mata mereka masing-masing saling menyusuri wajah lawan bicaranya.
"Sekali lagi terima kasih, Ervan."
"Lain kali jangan berkendara sendirian malam-malam."
Trisha mengangguk.
"Pulanglah, kukawal dari belakang."
"Hah? Eum ... nggak perlu."
"Aku khawatir sekawanan penjahat tadi masih mengincarmu."
Trisha menelan ludah, mendadak ngeri mendengarnya. "Tapi--"
Ervan membukakan pintu mobil Trisha. "Masuklah, kukawal dari belakang."
Sesaat Trisha hanya terdiam menatapi pria asing yang barusan menyelamatkannya. Entah mengapa dalam sekejap ia merasa sangat dilindungi.
Trisha sudah duduk di kursi kemudi, menatap ke arah Ervan yang berada di depannya. Pria itu sudah berada di atas motor sambil mengenakan helm full face-nya.
Suara klakson dari motor retro milik Ervan menyadarkan Trisha yang masih terdiam. Pria itu benar-benar akan mengawalnya sampai ke rumah? Kenapa Trisha jadi merasa tersentuh seperti ini?
Mobil Trisha mulai menapaki jalanan aspal yang lengang. Sesekali ia mengarahkan pandangan pada Ervan yang berada di belakang lewat kaca spion. Pria itu terlihat gagah di atas motornya, membuat Trisha membayangkan bagaimana rasanya dibonceng olehnya?
Astaga Trisha! Apa yang kamu pikirkan?
Kenapa pikiran Trisha jadi ke mana-mana begini? Sepertinya tindakan Ervan menyelamatkannya tadi, membuat terkagum. Ditambah, pria itu akan mengawalnya sampai ke rumah. Ini benar-benar manis.
Trisha mengurangi kecepatan laju mobilnya ketika sudah tiba di depan kediamannya. Ervan ikut berhenti, melepas helm lalu menyugar rambut yang sedikit acak. Trisha yang menyaksikan itu, entah mengapa seperti melihat Ervan dalam gerakan slow motion. Pria itu terlihat--keren.
"Ini rumahmu?" tanya Ervan yang masih berada di atas motornya.
"Eum ... iya," jawab Trisha sesaat setelah menghampiri Ervan. "Mau mampir dulu?"
"Ini udah malam."
"Ah, iya juga."
"Aku cabut, ya."
"Eum ... terima kasih, Ervan."
Ervan yang sudah siap memakai kembali helmnya, dibuat urung. "Udah berapa kali kamu bilang terima kasih?"
Trisha menatap Ervan lalu tersenyum simpul. "Karena sebenarnya terima kasih aja nggak cukup."
"Bagiku cukup."
"Eum ... boleh aku pinjam ponselmu?"
"Ponsel? Untuk apa?"
"Pinjam sebentar, please ...."
Ervan merogoh kantong depan celana jeans-nya, meraih ponsel kemudian mengulurkannya pada Trisha.
"Buka dulu kuncinya."
Meski tak paham maksud Trisha, Ervan menuruti interupsi gadis itu. "Udah."
Trisha menerima uluran ponsel dari Ervan kemudian mengetik nomer teleponnya di sana, terakhir ia menyimpan kontaknya di ponsel Ervan. Trisha lalu membuka aplikasi chatting milik Ervan dan mengirim stiker ke nomernya sendiri.
"Ini," ucap Trisha sambil mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya.
Ervan mengeryit.
"Aku udah simpan nomer teleponku di situ. Kalau ada yang kamu butuhkan, kamu bisa hubungi aku." Trisha menyungging senyum.
"Yang aku butuhkan?" tanya Ervan datar.
"Hmm. Apa saja, apa saja yang kamu butuhkan."
Ervan mengalihkan tatapannya dari Trisha ke arah rumah megah di sampingnya, kemudian menatap Trisha kembali. "Aku nggak butuh apa-apa." Ervan memakai helm, menyalakan mesin motor, dan siap beranjak.
"Ervan!" Trisha masih berusaha menahan pria itu.
"Kalau yang kamu maksud semacam balas budi, tak perlu," ucap Ervan dari balik helm full face-nya.
Sorot mata mereka beradu--hening.
"Masuklah, ini udah malam."
Trisha akhirnya hanya mengangguk. Melanjutkan langkah menuju mobilnya. Ia menyempatkan menoleh sekilas ke arah Ervan. Trisha kemudian sudah kembali duduk di kursi kemudi. Perlahan-lahan ia sudah memasuki gerbang menjulang yang terbuka secara otomatis oleh sensor. Trisha sudah menghilang dari pandangan Ervan.
Pria itu meraih ponsel dari saku celana, membuka kembali aplikasi chat-nya. Trisha sengaja mengirim stiker ke nomernya sendiri agar bisa menyimpan nomer Ervan. Pria itu memperhatikan foto profil Trisha di sana.
Tanpa ekspresi apa-apa, Ervan kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Pria itu memacu motor retro cafe racernya meninggalkan kediaman Trisha.
"Trisha, kenapa kamu baru pulang selarut ini? Mama sama Papa khawatir."
"Maaf, Ma tadi ...." Trisha tidak mungkin menceritakan apa yang baru saja ia alami.
Besok pagi aku akan suruh supir untuk membawa mobil itu ke bengkel segera, sebelum Mama dan Papa melihat kaca jendelanya yang retak. Aku enggak mau bikin Mama dan Papa khawatir.
"Mama sudah telepon Jesslyn dan Dira. Kata Jesslyn kamu sudah pulang dari tadi."
"Eum ... iya, Ma. Tadi ada kecelakaan di jalan terus bikin kendaraan macet parah." Trisha terpaksa berbohong.
"Kenapa ponselmu enggak bisa dihubungi."
"Baterainya habis, Ma. Aku lupa bawa cas."
"Trisha, Mama benar-benar khawatir."
"Aku baik-baik aja, Mah."
Claudya mengusap puncak kepala Trisha. "Syukurlah ... kamu sudah makan?"
Trisha mengangguk. " Udah, Mah, tadi di rumah Jesslyn."
"Ya sudah, sekarang kamu istirahat."
"Oke, Mah." Trisha mengecup singkat pipi Claudya. "Selamat malam," ucapnya kemudian berlalu.
"Malam, Sayang."
Trisha menghela napas lega saat sudah berada di balik pintu kamarnya. Ia tidak biasa berbohong kepada orang tuanya seperti tadi. Gadis itu menghempaskan diri di tepi ranjang empuk, kemudian bergegas mengacak isi tote bang-nya. Ponsel yang sedari tadi mati sudah berada di genggaman, ia mencolokkannya pada kabel charger. Sesaat kemudian, ponsel itu sudah menyala kembali.
Jemarinya mengulir layar. Ia mendapati spam chat dari Jesslyn dan Dira yang menanyakan apakah ia sudah sampai rumah atau belum. Chat mereka bernada khawatir. Trisha mengetikkan balasan bahwa ia sudah sampai rumah dan dalam keadaan baik-baik saja.
Perhatian gadis itu kemudian tertuju pada chat dengan nomer asing yang tak lain dan tak bukan adalah nomer Ervan. Trisha menelisik foto profil Ervan. Kenapa hanya dengan menatap foto profilnya saja, membuat jantung Trisha berdesir.
***
Bersambung 🍃
FOLLOW YUK!
👉IG story = @trishadmaja (spoiler part terbaru, qoutes, tiktok cerita, dll seputar cerita)
👉IG author = @niluhsuriasih (akun pribadi, DM aja soalnya dikunci)
Mari berteman! 😉