Chereads / Jagat Raya Trisha / Chapter 8 - JagatRayaTrisha #8

Chapter 8 - JagatRayaTrisha #8

"Wah ...." Mata Trisha berbinar. "Makasih, Van."

"Hmm. Mau kutemani di sini?"

"Eum ... emang kamu nggak sibuk?"

"Enggak, kebetulan kafe agak sepi." Ervan  menarik kursi kosong dan duduk tanpa menunggu persetujuan Trisha.

Kafe emang agak sepi, sih, tapi hati aku riuh tahu, Van. Bikin sketsa ditemani kamu yang ada aku gagal fokus, batin Trisha, tetapi bibirnya menyunggingkan senyum.

"Udah jadi?"

"Baru setengah."

Ervan memperhatikan kertas sketsa Trisha. "Bagus."

"Apanya? Belum juga jadi, Van." Trisha tertawa kecil.

"Ya, daripada gambaranku, gambar kamu tentu lebih bagus."

"Masa, sih?"

"Gambarku kayak gambaran anak SD."

Trisha tertawa kecil. "Jangan gitu, ah."

"Serius." Ervan memindahkan tatapan dari kertas sketsa ke wajah Trisha.

Mereka hening, larut dalam tatapan satu sama lain.

"Eum ... aku cobain, ya, Van." Trisha meletakkan papan sketsanya di kursi kosong, kemudian meraih gelas affogato-nya, berusaha menyamarkan degup jantung yang kini bak genderang.

Satu suap es krim vanilla mendarat sopan di mulutnya. Ervan masih memperhatikan Trisha. Sekarang gadis itu justru takut kalau makannya belepotan.

"Gimana?"

Trisha mengulum bibirnya. "Enak."

"Cobain roti bakarnya."

"Oke." Trisha mulai memotong roti bakarnya, kemudian potongan roti bakar berbentuk dadu itu masuk menyapa indera pengecapnya.

Ervan menunggu reaksi Trisha yang masih mengunyah pelan-pelan.

"Enak, manisnya pas."

"Ya, udah abisin."

"Aku sambil nyelesain sketsa."

Ervan mengangguk.

"Oh, ya, Van. Aku ada sesuatu buat kamu."

"Apa?"

"Sebentar." Trisha meraih sesuatu dari dalam tote bag-nya. "Ini."

Ervan menerima sebuah bingkai ukuran 5R dengan lukisan dirinya di dalam sana.

"Ini?"

"Itu kamu, maaf kalau lukisanku jelek."

Ervan masih menatap dirinya dalam bingkai kemudian bergantian menatap Trisha.

"Aku bikinnya siang tadi, sambil lihat foto profilmu di What'sapp."

"Ini ... keren."

"Apa kamu suka?"

"Suka banget!"

"Syukurlah ...." Ada helaan napas lega dari Trisha.

Ervan kembali menekuri dirinya dalam bingkai. Trisha mau repot-repot melukis dirinya, tentu ini sebuah pertanda baik. Sepertinya upaya untuk mendekati Trisha membuahkan hasil.

"Makasih, Tris."

"Disimpan, ya, Van."

"Aku bakal taruh di kamar."

"Beneran, ya."

Ervan mengangguk. Sesaat ia hening menatap ke arah Trisha yang tersenyum manis.

Apa semudah ini meluluhkan hatimu, Tris? Baiklah, mungkin nggak lama lagi kamu bakal masuk ke dalam perangkapku!

"Van." Trisha menyebut Ervan sesaat setelah memasukkan sendok berisi es krim vanilla yang kesekian kalinya ke dalam mulut.

Tatapan Ervan berpindah dari bingkai lukisan dirinya ke arah Trisha. "Ya?"

"Kalau kamu berkenan, aku bisa melukis sesuatu di dinding polos itu biar lebih rame."

Praktis Ervan menoleh ke arah sudut dinding bercat putih polos yang hanya berhias bingkai tulisan hand littering.

"Melukis?"

Trisha mengangguk semangat.

"Aku nggak ngerti, emang bisa?"

"Bisa banget."

"Tapi ...."

"Aku yakin itu akan jadi daya tarik. Selain pengunjung bisa menikmati makanan dan minuman di sini. Mereka bisa selfie. Lukisan di dinding polos itu akan jadi spot foto menarik. Bayangkan, jika setiap pengunjung yang datang ke kafe ini berswafoto di sana, lalu mereka mengunggahnya ke media sosial. Itu akan jadi soft promosi yang bagus buat kafe ini."

Ervan tertegun, tidak menyangka Trisha punya ide secemerlang itu.

"Biarin begitu aja," putusnya.

Trisha menelan ludah kasar--kecewa.

"Aku nggak ada dana lagi buat idemu itu, Tris."

Mata Trisha yang meredup mendadak berbinar lagi. "Nggak perlu khawatir soal itu."

Ervan mengeryit. "Kok, gitu?"

"Tenang aja." Trisha menyuap kembali affogato-nya dengan santai. "Aku yang bakal kerjain. Jadi, kamu tenang aja."

"Jangan, Tris. Itu bakal merepotkanmu."

"Enggak, kok, asal kamu setuju aja dengan ideku."

Ervan menatap Trisha sejenak, kemudian mengangguk pelan. "Asal itu juga enggak ngerepotkanmu."

"Enggak, Van," lirihnya menyakinkan. Senyum manis Trisha terbit, membuat Ervan terpaku.

***

Ervan sudah menghuni kamar sesaat setelah ia sampai di kediamannya. Ia menggeser laci meja dan melempar asal bingkai lukisan dari Trisha di sana.

"Siapa juga yang peduli dengan lukisanmu." Pria itu menutup kembali laci mejanya dengan tak acuh.

Hening sejenak sebelum ia mengempaskan diri di tepi ranjang. Pertemuannya dengan Trisha hari ini seolah menyita energi. Memperhatikan Trisha berbicara, tersenyum bahkan tertawa kecil membuat Ervan berada di antara harus membenci semua itu atau justru mengagumi.

Pria itu merasa lelah kemudian memilih membaringkan diri di atas ranjang, tatapannya kosong terarah ke langit-langit kamar.

Apa Trisha serius dengan tawarannya?

Ervan tahu, Trisha begitu berbakat. Ia sudah melihat kepiawaiannya dalam melukis lewat akun Instagram pribadi Trisha. Ervan adalah pengikut gelapnya, bahkan Trisha tidak tahu Ervan sudah menjadi pengikutnya sejak tiga tahun terakhir.

Suara Mocca dari balik pintu yang sedikit terbuka itu membuatnya menoleh. Kucing berbulu kecokelatan terlihat berjalan mendekat.

"Sini, Mocca!"

Mocca sudah melopat ke atas ranjang dan merambat ke dadanya. Ervan mengusap kepala kucing itu, masih dalam keadaan merebah. Mocca menikmati tiap usapan lembut tangan Ervan pada bulu-bulunya dengan memejam. Kucing itu tampak nyaman.

Ervan mengingat kembali bagaimana akhirnya ia memelihara seekor kucing. Jelas, karena Trisha menyukai kucing. Apa pun hal yang bisa mendukung keberhasilannya mendekati gadis itu, akan ia lakukan.

Namun, barangkali Ervan tidak sadar. Esok atau lusa, bisa saja ia terjebak di dalam permainannya sendiri. Itu kemungkinan terfatal yang harus ia antisipasi.

Ervan memilih memejamkan mata, dengan Mocca yang kini menyandarkan kepala di atas lengannya. Pria itu berusaha menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan buruk di depan nanti. Belum tentu terjadi dan ia pastikan itu tidak akan pernah terjadi!

***

Kuliah lapangan hari ini membuat Trisha dan mahasiswa seni rupa lainnya berbondong-bondong mengunjungi Galeri Nasional Indonesia. Sebuah galeri atau museum seni rupa modern dan kontemporer milik pemerintah yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Area parkir galeri itu tampak ramai. Para mahasiswa yang datang langsung disambut dengan suasana teduh pepohonan rindang yang tumbuh di kiri dan kanan halaman. Juga lukisan 3D di pelataran galeri berupa retakan tanah dengan larva pijar yang seolah-olah seperti kubangan api. Lukisan itu sejurus kemudian mematik ide Trisha, ia akan membuat lukisan dengan konsep yang sama di dinding kafe Ervan nanti. Ya, 3D.

"Keren, ya?" decak kagum Jesslyn mendapat anggukan persetujuan dari Dira.

Mereka tidak melewatkan kesempatan untuk berswafoto di sana lengkap dengan ekspresi seolah-olah ketakutan seperti sungguhan berada di atas kubangan api.

"Wuah ...." Mata Dira berbinar saat sampai ke dalam galeri. Di sampingnya--Trisha dan Jesslyn--pun merasakan hal yang sama.

Di sana di sudut ruangan, beberapa lukisan sudah tampak menggantung di dinding juga patung-patung yang tak pelak menarik perhatian.

Setelah semua mahasiswa seni rupa ini berkumpul bersama dosen pendamping, pihak galeri kemudian menyuguhi mereka dengan tayangan video profil Galeri Nasional Indonesia. Video tersebut bercerita tentang sejarah berdirinya galeri, termasuk di dalamnya berupa visi, misi, tugas, peran dan tujuan serta aktivitas yang berlangsung di dalam galeri.

Berdasarkan tayangan video, banyak kegiatan rutin yang dilakukan di Galeri Nasional Indonesia berkaitan dengan pelestarian dan apresiasi terhadap karya seni rupa diantaranya; pemeran tetap, pameran temporer, pameran keliling di dalam dan luar negeri, sosialisasi, edukasi, workshop, seminar, diskusi dan galery tour.

Seperti yang mereka lakukan saat ini-- mengelilingi galeri atau disebut juga dengan galery tour untuk mengapresiasi karya-karya seni rupa yang terbagi dalam dua gedung berbeda. Satu gedung berisi pameran tetap, satu sisi gedung lainnya berupa pameran temporer.

"Eh, abis ini kita mampir ke kafe depan kampus, yuk," bisik Dira di sela-sela kegiatan galery tour-nya.

Jesslyn yang tadinya mengamati lukisan yang menggantung di dinding seketika dibuat menoleh.

"Jangan mulai, deh!" Jesslyn berkacak pinggang.

"Apa, sih. Orang mau makan doang."

"Halah, basi!"

"Bodo amat kalau elo nggak mau." Dira melingkarkan kedua tangannya pada lengan Trisha. "Sama Trisha aja. Oke, 'kan, Tris?" Dira mengerlingkan matanya manja.

Trisha nyengir. Waduh, baru aja kemarin abis dari sana. Masa hari ini ke sana lagi?

"Oke, 'kan Tris? Pasti oke, dong."

"Sorry ... lain kali aja, ya, Ra."

Ekspresi kecewa lamat-lamat terpahat pada wajah gadis berambut pendek model bob itu. Penolakan Trisha membuat Jesslyn membekap mulut dari tawa kecil yang ia tahan. Gadis itu suka sekali menistakan sahabatnya sendiri.

Jesslyn merangkul pundak Trisha. "Di sana kayaknya ada patung yang estetik banget, deh, Tris. Cek, yuk!" Jesslyn sudah membawa Trisha berlalu dari hadapan Dira begitu saja.

Dira memanyunkan bibirnya kemudian mengekor sambil menghentakkan kaki.

***

Sabtu ini, Yours Cafe tutup lebih awal. Biasanya kafe baru tutup di atas jam sepuluh malam. Namun kali ini, sehabis jam lima sore kafe sudah menutup rapat pintu masuk. Ervan merelakan waktu kunjungan pelanggan yang biasanya ramai di Malam Minggu hanya untuk membuat Trisha fokus pada pekerjaan melukisnya.

Gadis itu sudah datang diantar oleh seorang supir. Ervan menghampirinya.

"Hai," sapa Trisha ramah saat turun dari mobil.

"Diantar supir?"

"Iya, takut pulang kemalaman."

Ervan mengangguk. Tampaknya gadis itu belajar betul dari pengalaman.

"Tolong buka bagasi, ya, Pak," titah Trisha pada sopirnya.

"Baik, Non."

"Aku keluarin dulu bahan-bahannya," ucapnya pada Ervan.

Sopir sudah membuka lebar bagasi mobil mewahnya. Trisha mengeluarkan beberapa kaleng cat, kuas set, kertas koran bekas, dan satu kardus berisi vas yang terbuat dari tembikar beserta bunga artifisial dalam masing-masing vas.

"Ini juga? Apa ini?" tanya Ervan heran saat mendapati berjajar vas bunga di dalam kardus yang ia angkut.

"Itu juga bagian dari ideku."

Ervan menatap ke arah Trisha.

"Meja-meja dikafemu polos. Jadi, aku ingin memberi sedikit sentuhan indah di tiap-tiap mejanya."

Ervan masih terdiam menatapnya.

"Eum ... tapi kalau kamu nggak berkenan, nggak apa-apa. Lupakan aja itu." Trisha tiba-tiba merasa tidak enak.

"Terima kasih," balas Ervan singkat, seperti biasa tanpa ekspresi kemudian berlalu begitu saja ke dalam kafe.

"Sama-sama," sahut Trisha lirih hampir tidak terdengar.

***

IG : @trishadmaja

MARI BERTEMAN 🤗