Trisha menjatuhkan tatapan ke arah Ervan yang berada di bawah tangga. Gadis itu tersenyum singkat. "Nggak perlu, Van. Aku sama supir."
"Aku antar aja, ya. Supir bisa pulang sendiri. Kamu aku antar pulang naik motor."
Praktis gadis itu menghentikan aktivitasnya sejenak. Tawaran Ervan begitu mengiurkan.
Kapan lagi diboncengin sama Ervan, 'kan?
"Tris?"
"Hmm?"
"Pulang sama aku, ya?"
Ah, kalimat itu kenapa begitu nyaman?
"Boleh, deh."
Ervan mengangguk. Aku tahu kamu nggak akan menolak, Tris. Kamu begitu mudah ditebak.
Ada smirk samar hampir tak terlihat saat pria itu berhasil melempar umpannya.
Trisha masih berupaya menyelesaikan detail lukisannya, sementara Ervan melenggang ke dalam container--memasak steak ayam untuk dua porsi.
"Van, kamu ngapain?" Trisha sudah mendekat ke arahnya.
"Masak steak untuk kita berdua."
"Wuah ... kamu bisa, Van?"
"Yup!"
"Keren, sih."
Setelahnya mereka fokus dengan kesibukan mereka masing-masing, Trisha membereskan peralatan melukisnya, memungut kertas-kertas koran bekas, dan melipat tangga kemudian ia singkirkan di pojok ruangan. Sementara Ervan menyelesaikan masakan steak-nya dengan menaruh saus di atas daging ayam yang sudah matang serta tumisan sayuran seperti jagung, buncis, dan wortel, ia letakkan di sisi daging dalam hot plate.
"Makan dulu, Tris." Ervan meletakkan dua porsi steak di salah satu sudut meja.
Dilihat dari tampilannya, steak itu begitu menggoda. Seketika menggugah selera makan Trisha.
"Duduklah, aku bikin minum dulu. Mau minum apa?"
"Air dingin aja, Van."
"Oke."
Trisha sudah duduk nyaman menghadap steak yang masih mengepulkan asap tipis di atas piring panas.
"Silakan." Dua botol air mineral dingin ikut menghias meja.
Mereka memulai menyantap makan malam mereka, hanya berdua saja.
"Gimana?" tanya Ervan saat Trisha berhasil menelan suapan pertama.
"Enak! Enak banget."
Ervan mengalihkan tatapan ke arah dinding di sudut ruangan. Lukisan Trisha sudah selesai. Dinding polos itu terlihat lebih hidup dan lebih berwarna sekarang.
"Berapa dana yang kamu habiskan untuk melukis itu, Tris? Akan aku cicil."
Trisha menghentikan pergerakannya, gadis itu seketika meletakkan garpunya.
"Nggak perlu, Van."
"Belum lagi tenaga dan pikiran seorang seniman yang tercurah di sana."
"Van, ayolah nggak perlu begitu. Aku ikhlas, kok." Trisha tersenyum.
"Aku jadi nggak enak."
"Nggak perlu merasa nggak enak."
"Sekali lagi terima kasih, Tris."
"Sama-sama."
Malam semakin melarut ketika mereka selesai makan dan mulai menutup kafe. Supir Trisha sudah diperintahkan untuk pulang lebih dulu.
"Pakai ini." Ervan mengulurkan jaket jeans
warna light blue miliknya.
"Nggak usah, Van."
"Angin malam dingin, Tris."
"Kamu aja, kamu, 'kan di depan."
"Pake aja."
"Tapi ...."
"Jaketku nggak bau, kok."
"Bukan gitu."
"Udah pake aja."
Trisha tidak bisa menolak, kemudian menerima jaket Ervan dan memakainya. Jaket itu tampak kebesaran di tubuhnya yang mungil.
"Ayo naik."
Motor retronya dipacu membelah jalan raya yang seolah tak tak pernah lengang. Meski larut malam, kendaraan masih lalu-lalang berlomba agar segera sampai di tujuan. Setidaknya mereka punya tujuan, punya orang-orang yang menunggu di rumah, tidak seperti Ervan. Pria itu bahkan tidak tahu kenapa ia tetap pulang, meski tidak ada yang menunggunya di rumah.
Sepanjang jalan keduanya seperti ditelan keheningan malam. Ervan hanya fokus berkendara, sementara Trisha, Gadis itu sibuk menjinakkan debaran jantungnya yang meliar. Berada sedekat ini dengan Ervan, tentu sanggup menimbulkan kegilaan tersendiri.
Trisha berharap rute rumahnya bisa lebih jauh lagi saat motor Ervan memasuki kawasan real estate, di mana pengalaman mendebarkan ini akan segera berakhir.
Laju motor retro milik Ervan melambat. Sungguh Trisha belum rela, ia masih ingin berada di dekat pria yang tidak murah senyum itu.
Sebuah pengalaman mendebarkan ini akhirnya benar-benar berakhir, saat motor Ervan berhenti tepat di depan rumah megah milik Trisha. Dengan berat hati, gadis itu turun dari motor.
"Thanks, Van."
Ervan melepas helm full face-nya. "Oke, sama-sama."
"Oh ya, ini jaketmu." Gadis itu membuat gerakan melepas jaket Ervan yang membungkus tubuhnya.
"Lain kali mampirlah ke rumah, Van."
Ervan mengedarkan pandangannya ke arah rumah Trisha yang tampak luas dari tembok yang terbentang panjang nan angkuh itu.
"Nggak perlu, Tris. Aku nggak punya kepentingan apa-apa untuk datang ke rumahmu."
Ada hening sejenak menyelimuti.
"Kamu nggak harus ada kepentingan, kok. Datang aja, tapi kabari aku dulu kalau kamu mau datang."
Ervan yang masih berada di atas motornya menatap lurus ke arah Trisha. Gadis itu tersenyum tipis mesti tahu betul ia tidak akan mendapat balasan. Senyum Ervan terlalu mahal.
"Masuklah, Tris. Udah malam," putus Ervan.
Trisha mengangguk sekali. "Sampai ketemu lagi, Van. Hati-hati, ya." Trisha lagi-lagi tersenyum tipis sebelum memutar tubuh.
"Tris!" panggil Ervan tiba-tiba.
"Ya?"
"Besok kamu ada waktu?"
Ada getaran yang entah apa, saat Ervan melontarkan pertanyaan tadi. Melambungkan harapannya pada sebuah ajakan kencan.
"Kenapa, Van?"
"Kalau kamu ada waktu, aku mau ...." Ervan menggantungkan ucapannya, membuat Trisha semakin penasaran. "Aku mau ajak kamu jalan."
"Jalan?" Trisha hampir tak percaya pada pendengaranya barusan.
"Tapi kalau kamu nggak ada waktu nggak apa-apa, Tris."
"Ada, kok ada!" Trisha antusias.
"Jadi, kamu bisa?"
Trisha hanya mengangguk, berusaha keras agar tidak melompat girang.
"Jam berapa?"
Ervan berpikir sebentar. "Jam sepuluh?"
"Boleh," sahutnya semangat.
"Besok aku jemput?"
"Oke."
"Baiklah, besok kalau aku sudah sampai, aku telepon."
"Sampai ketemu besok. Aku masuk, ya." Trisha melambaikan tangan, pamit undur diri dari hadapan Ervan.
Ervan masih menatapnya sampai hilang dari balik pintu gerbang yang menjulang. Sepertinya besok akan jadi hari yang indah. Motor retronya sudah menyala, dengan sedikit menarik gas, Ervan sudah meninggalkan kediaman Trisha.
"Baru pulang, Tris?"
"Mama? Papa? Kenapa kalian belum tidur?"
"Kami menunggumu, Nak," sahut Admaja lembut.
"Aku tadi sudah bilang ke Mama, 'kan kalau aku bakal pulang agak malam."
"Supir sudah datang dari tadi, lalu siapa yang mengantarkanmu pulang barusan?" Claudya bertanya dengan nada tenang, meski Trisha tahu ia sedang diinterogasi.
"Barusan teman."
"Teman kuliah?"
"Bukan."
"Terus?"
"Ya, temen, Ma. Temenku bukan hanya dari lingkungan kampus."
"Kalian ada hubungan spesial?" Masih pertanyaan dari Claudya.
Trisha menggeleng.
"Ya sudah, lain kali jangan pulang malam-malam, Tris. Papa dan Mama khawatir." Admaja menengahi.
"Baik, Pa."
"Sudah makan?"
"Sudah."
"Ya sudah, istirahatlah, Sayang."
Trisha mengangguk. Mendekat ke arah Admaja dan Claudya untuk mendaratkan kecupan di pipi kedua orang tuanya secara bergantian.
"Selamat malam, Pa ... Ma ...." Trisha berlalu.
"Sepertinya putri kita sudah semakin dewasa. Trisha seperti bunga yang sedang mekar-mekarnya. Mengundang perhatian kumbang-kumbang untuk mendekat. Jangan terlalu memberi kebebasan. Mama khawatir, Pa."
"Jangan juga mengekang, Ma."
"Ya, aku tahu. Anak sekarang mana bisa dikekang." Claudya meloloskan napas panjang. Ia kemudian hening sejenak, matanya berkaca-kaca mengingat seseorang.
"Apa kabar Tristan?" Suaranya bergetar menyebut nama itu.
***
TBC ;)