Chereads / Jagat Raya Trisha / Chapter 7 - Jagat Raya Trisha #7

Chapter 7 - Jagat Raya Trisha #7

Matahari lamat-lamat muncul dari persembunyiannya semalam. Deru mesin cuci mulai terdengar beroperasi--memecah sunyi di pagi hari itu. Beberapa pakaian kotor tampak berputar-putar dari balik pintunya yang berbentuk bulat.

Ervan beranjak saat mesin cuci itu mulai bekerja, meneruskan langkahnya ke dapur minimalis yang terletak bersebelahan dengan ruangan loundry. Ia membuka lemari pendingin lalu mengambil satu butir telur dan beberapa helai sosis dari sana, juga wadah plastik berisi bumbu dapur. Tangannya kemudian terampil mengupas bawang putih, bawang merah, cabai, dan satu lagi bahan yang tidak boleh ketinggalan yaitu terasi bakar. Semua bumbu nasi goreng itu kemudian dihaluskan di atas cobek oleh tangan kokohnya.

Minyak dalam wajan berbahan stainless steel itu mulai panas, Ervan bergegas memasukan bumbu yang telah ia haluskan tadi, menumisnya hingga harum. Menyusul telor yang dipecahkan ke dalam wajan. Ervan mengaduknya hingga tercampur merata, barulah nasi putih ikut terjun bersamaan dengan potongan sosis. Ervan mengaduk kembali semua bahan, hingga menimbulkan bunyi khas saat spatulanya beradu dengan wajan. Pagi yang riuh untuk seorang pria bujangan sepertinya.

Sepiring nasi goreng terasi sudah siap mengisi perutnya pagi ini. Ervan menyuap sendok demi sendok nasi goreng itu ke dalam mulut. Menikmati sarapan pagi di meja makan seorang diri.

Ervan menghentikan aktivitas mengunyahnya untuk sejenak. Rasa nasi goreng ini mengingatkan pada ibunya. Ia merindukan mendiang ibunya. Ervan tertunduk, berusaha mengusir sepi yang tiba-tiba menampar.

Pria itu meraih gelas beling berisi air putih dan meneguknya perlahan. Setelah berhasil menguasai diri, Ervan melanjutkan menyuap nasi gorengnya kembali. Ia tidak boleh lemah seperti ini, tidak perlu juga menjadi melankolis.

Cuitan burung dalam sangkar dan gemericik air regulator aquarium memberi warna paginya. Ervan tidak sepenuhnya sendiri.

"Miouw ...."

Pria dengan ekspresi sedatar papan reklame itu menoleh ke arah kedatangan kucing yang belum lama ini menjadi hewan peliharaannya.

"Miouw ...." Kucing itu terduduk di lantai dengan tatapan mendongak ke arah Ervan.

Untuk sesaat, Ervan mengabaikan kucing berbulu kecokelatan itu, atensinya kembali pada sepiring nasi goreng di atas meja. Ervan lanjut menyantap sarapannya suap demi suap.

"Miouw ...."

"Kamu lapar Mocca? Tunggu sebentar, ya," ujarnya pada kucing yang ia beri nama Mocca itu. Seolah tahu maksud ucapan Ervan, Mocca tidak bersuara lagi, hanya berjalan mengitari kursi berakhir dengan bergelayut di kaki pria itu.

Setelah selesai dengan sarapannya, Ervan bangkit menuju wastafel, Mocca membuntutinya. Ia menyalakan keran kemudian tangannya luwes menyapu piring kotornya dengan spons yang berlimpah busa. Selesai, pria itu mengeringkan tangan dengan kain lap yang menggantung di dinding.

"Ayo, Mocca sekarang giliranmu makan."

"Miouw ...." Mocca mengekori Ervan.

Di teras rumahnya yang minim, Ervan menuang makanan kucing dalam kemasan ke wadah plastik lengkap dengan wadah berisi air minum. Kucing jantan jenis anggora itu tampak sudah tidak sabar untuk segera menyerbu jatah makannya.

Ervan berlutut, menatap senyap ke arah Mocca yang lahap. Pikirannya melayang pada Trisha. Hewan berbulu itu selalu bisa mengingatkannya pada gadis pemilik senyum menawan itu. Ya, meski Ervan bersumpah akan merampas senyumannya.

Hari ini hari Minggu, dia nggak mungkin datang ke kafe hari ini, batinnya menatap kosong ke arah lain.

Pandangan Ervan kembali tertuju pada kucing jantannya. "Mocca, suatu saat nanti kamu akan bertemu atau bahkan bermain dengan seorang gadis bernama Trisha. Akan aku bawa dia ke sini. Dia pasti menyukaimu." Ervan bermonolog sambil mengusap badan Mocca yang masih teramat fokus pada makanannya.

Aku sangat menantikan hari itu tiba! Ada gemuruh singkat di dadanya yang lalu ia loloskan dalam satu embusan napas.

Ervan mengerjap, terlintas sebuah ide di benaknya. Pria itu mengeluarkan ponsel yang sedari tadi berada di saku celana. Ervan kemudian membidik Mocca yang tengah melahap makanan dengan kamera ponselnya. Butuh beberapa jepretan sampai ia mendapat hasil yang  diinginkan. Terakhir, ia mengunggah hasil jepretannya ke media sosial, sesuatu yang jarang sekali ia lakukan. Dengan membubuhkan caption Mocca di sana, ia berharap Trisha melihatnya.

"Lanjutkan makanmu Mocca, masih ada yang harus kukerjakan."

Mesin cuci satu tabung itu sudah tak terdengar lagi riuhnya. Ervan memindahkan potongan baju yang telah selesai dicuci ke dalam keranjang kemudian berlanjut menjemurnya. Pria itu terbiasa mengurus dirinya sendiri.

Pergerakannya terjeda sesaat ketika mendengar bunyi notifikasi yang berasal dari ponsel pintarnya.

[ Hallo Mocca! ☺️]

[Aaaaa ... gemash sekali 😍]

Ervan terdiam menatap layar, mengabaikan urusan jemuran yang belum beres dikerjakan. Bak gayung bersambut, Ervan tidak menyia-nyiakan kesempatan.

[ Hallo, Tris, apa kabar?]

Senyum Trisha terbit seketika, ia pikir chat-nya akan diabaikan begitu saja oleh pria datar itu, tetapi ternyata tidak.

[ Baik, Van, kamu?]

Ervan memutuskan untuk melakukan panggilan telepon. Ia harus lebih gesit, bukan?

"Hallo ...." Suara lembut Trisha lebih dulu menyapa indera pendengarannya.

Ervan masih terdiam di tempat, entah mengapa ia merasakan debaran lembut yang berusaha ia sangkal.

"Van? Hallo ...."

"Ah, ya. Maaf, aku ganggu, kah?"

"Enggak, kok." Trisha tersenyum di seberang telepon. "Aku pikir kamu hanya salah pencet. Ternyata kamu beneran nelepon?"

Ada jeda sesaat di antara keduanya.

"Lagi apa, Tris?" Suara berat Ervan terdengar maskulin di telepon.

"Aku? Lagi ditelepon sama kamu, 'kan?" goda Trisha sambil tersenyum usil di seberang.

Tanpa sadar Ervan meloloskan senyum kecil sambil tertunduk. Benar juga, sih.

Ah, ya apa ini? Dengan mudahnya Trisha  bisa membuat dirinya tersenyum. Jangan Sampai ia hilang kendali dan lupa akan tujuan. Senyum itu lenyap seketika.

"Sibuk, ya? Nggak pernah datang lagi ke kafe?"

"Eum ... ini bagian dari strategi marketing, kah?" 

"Bukan, pengen ketemu kamu aja," ucap Ervan lugas tanpa ekspresi yang berarti kali ini.

Trisha mengulum senyum. Kalau saja Ervan bisa melihatnya, saat ini wajah Trisha merona karena tersipu.

"Kenapa?"

"Hm?"

"Kenapa pengen ketemu aku?"

Skakmat! Ervan dibuat tak berkutik. Pria itu mengusap tengkuknya. "Ya ... pengen ketemu aja."

Trisha tertawa kecil di seberang telepon. "Baiklah, kapan-kapan pasti aku mampir ke Yours Cafe."

"Aku tunggu."

"Oke."

Sempat terjadi kekosongan sejenak di antara obrolan mereka, hingga Ervan mengakhiri sambungan telepon.

"Oke, Tris. Maaf sudah menganggu waktumu, selamat beraktivitas, semoga harimu menyenangkan."

"Semoga harimu menyenangkan juga, Ervan." Trisha masih meletakan ponselnya di telinga, gadis itu tersenyum penuh arti.

"Oke, Bye ...." Ervan benar-benar mengakhiri percakapan mereka.

Ada kebahagiaan kecil hadir dalam diri Trisha sejak sambungan telepon dimatikan.

***

Sore ini Yours Cafe tidak terlalu ramai, hanya ada sepasang muda-mudi, dan dua pengunjung wanita yang mengisi sudut meja.

Adam dan Zaki tengah menyiapkan pesanan pengunjung dari dalam kontainer lengkap dengan apron yang melekat. Sementara Ervan, hanya duduk santai di kursinya sebagai bos. Namun, tak jarang juga ia ikut turun tangan kalau kafe sedang ramai-ramainya.

"Bos! Lihat siapa yang datang," ucap Zaki usil.

Ervan mengikuti arah pandang Zaki dan terkesiap.

"Bukannya itu cewek tempo hari, Bos?"

Adam yang tengah meracik kopi pun ikut menoleh sebentar.

Trisha sudah menarik kursi kemudian duduk, gadis itu mengedarkan pandangan. Ya, tatapan mereka bertemu. Trisha tersenyum.

"Teruskan kerjamu, Jek." Ervan beranjak.

"Hei, nama gue Zaki bukan Jek!"

Ervan tidak menggubris, langkahnya kini terayun menghampiri Trisha.

"Hai," sapa Trisha ketika Ervan sudah di hadapannya.

"Nggak ngabarin kalau mau ke sini, sendirian aja?"

Trisha mengangguk.

Ervan ikut bergabung di meja yang sama dengan Trisha. "Abis dari mana, Tris?"

"Dari rumah aja."

"Oh ... mau pesan apa?"

"Eum ... sebentar." Trisha menyusuri daftar menu. Sementara Ervan, menatapnya tanpa berkedip.

Polesan make-up flawless membingkai wajahnya. Alis rapi, bulu mata lentik yang dramatis setiap kali ia mengerjap. Hidung runcingnya semakin sempurna dengan kontur dan tambahan highlighter di sana. Terakhir, bibir yang disapu lipstik ombre itu membuatnya tampak mungil.

"Aku mau segelas affogato dan seporsi roti bakar spesial," ucap Trisha sambil menoleh ke arah Ervan.

Mata Ervan mengerjap beberapa kali, ia terlalu fokus pada visual Trisha yang membuatnya hampir lupa berkedip.

"Ah, oke. Tunggu sebentar, ya." Ervan bangkit.

"Ervan!"

"Ya? Ada lagi?"

"Boleh aku melukis tempat ini?"

"Melukis?"

"Untuk tugas. Oh ya, aku mahasiswi seni."

"Oh ...." Ervan mengangguk-angguk, berlagak baru tahu fakta itu, nyatanya ia sudah tahu, ia tahu semua tentang Trisha.

"Tentu saja."

Trisha tersenyum. "Makasih."

"Aku tinggal dulu, ya."

"Iya, lanjut aja, Van. Aku nggak akan ganggu kamu."

Ervan kemudian memutar tubuh, kembali ke tempatnya.

"Satu affogato, Dam. Satu roti bakar spesial, Jek." Ervan memberi titah pada kedua pegawainya.

"Baiklah, roti bakar spesial untuk gebetan segera siap!" Lagi-lagi Zaki melancarkan aksinya menggoda Ervan.

"Cakep juga gebetan elo, Van." Adam ikut berkomentar sambil kedua tangannya sibuk di depan mesin kopinya.

"Jangan ikut-ikutan kamu, Dam."

Zaki dan Adam tertawa bersama.

"Sini aku antar pesanan di meja 11, kalian buat pesanan cewek itu."

"Siapa, sih namanya?"

Ervan tidak menjawab pertanyaan Zaki, ia berlalu membawa nampan berisi pesanan pengunjung di meja nomer 11.

"Silakan ...," ucapnya ramah. Namun, tetap minim ekspresi.

"Terima kasih," balas pengunjung wanita itu padanya dengan tatapan intens.

Ervan beranjak dengan nampan kosong yang ia apit di salah satu tangannya.

"Ganteng, ya," bisik pengunjung wanita itu pada temannya kemudian menciptakan tawa kecil di antara mereka.

"Nggak cocok jadi pelayan kafe."

"Terus, cocoknya jadi apa? Pemain sinetron?"

"Enggak, cocoknya jadi suami aku." Wanita itu terkekeh.

"Dasar!"

Trisha menghentikan pergerakan pensil di atas kertas sketsanya saat mendengar gurauan pengunjung lain yang duduk tak jauh darinya. Ia spontan melirik ke arah dua pengunjung yang baru saja berseloroh. Kemudian melempar tatapan ke arah Ervan.

Pria yang Trisha perhatian itu sedang berdiri menyamping, tengah berbicara dengan rekannya.

Nggak heran, sih. Tampang Ervan memang menjual, dia bisa saja menjadi alasan seorang pengunjung datang ke kafe ini.

Secepat kilat gadis itu menunduk, kembali menekuni kertas sketsa tatkala Ervan melempar tatapan ke arahnya.

Aku pun salah satu pengunjung yang menjadikan Ervan alasan datang ke mari. Ya ampun! Jadi, aku sama aja kayak Mbak-mbak itu?

Trisha sibuk dengan pikirannya sendiri sambil kembali menggores pensil pada kertas sketsanya, tanpa sadar Ervan sudah datang membawakan pesanannya.

"Affogato dan roti bakar spesial." Ervan meletakkan pesanan Trisha di meja.

***

BERSAMBUNG 🍃

MAU DIUPDATE CEPET NGGAK NIH? KALAU MAU KOMEN, YA ....