Motor retro milik Ervan berhenti di sebuah tempat yang lebih mirip seperti markas. Pria itu melepas helm full face-nya, berjalan menuju pintu masuk yang dijaga oleh dua pria berbadan kekar dengan pakaian serba hitam. Ervan disambut baik dan dipersilakan masuk.
"Selamat datang, Ervan!" sapa seorang pria tambun yang tengah duduk santai di sofa ruang utama, dengan sebatang rokok di tangannya. Asap mengepul memenuhi ruangan temaram itu.
"Duduklah."
Tanpa suara, Ervan mengikuti titah pria di hadapannya.
"Bagaimana bisnis kafemu, lancar?" Pria tambun itu meraih gelas kosong lalu menuang minuman dari botol beling di tangannya, kemudian menaruhnya tepat di hadapan Ervan. "Minumlah."
Tanpa basa-basi, Ervan meneguk minuman jenis wiski itu hingga tandas hanya dalam sekali tengak. Pipinya menggembung seiring ia menahan cairan itu di dalam mulut untuk sensasi rasa manis dan pahit secara bersamaan, sebelum menelannya. Ervan menaruh kembali gelas beling yang telah kosong di atas meja.
Pria tambun di hadapannya tersenyum simpul. "Dulu kamu tidak menyukai minuman ini."
Benar, dulu ia tidak menyukai minuman dengan kadar alkohol paling tinggi itu. Dulu ia adalah seorang pria baik-baik, sampai semua getir kehidupan ini merenggut jati dirinya secara paksa.
"Apa kamu sudah berhasil mendekati gadis itu?"
Ervan teringat wajah Trisha yang berbinar hanya dengan melihat seekor kucing. Senyum itu, senyum yang paling ingin ia rampas. Sekaligus senyum paling menawan yang pernah ia lihat. Bahkan, saat ia mengabaikannya sekalipun.
"Kamu ingat tujuanmu, 'kan? Jangan sampai kamu lupa dan malah jatuh cinta sungguhan pada gadis itu." Pria tambun di hadapan Ervan tertawa kecil sebelum mengisap rokok batangnya dalam-dalam. Kepulan asap kembali menghias udara.
"Jatuh cinta?" Ervan tersenyum sinis. "Dia yang akan aku buat jatuh cinta, sampai menyerahkan diri sepenuhnya padaku!" Amarah berkilat jelas pada sepasang mata jelaga Ervan.
Pria tambun itu terkekeh sambil menuang kembali gelas kosong keduanya dengan wiski.
"Cukup, Kak. Aku nggak mau mabuk kali ini. Besok aku masih harus tampil sebagai pria baik-baik yang membuat cewek itu penasaran."
Lagi-lagi pria tambun itu terkekeh. "Benar-benar sebuah usaha yang keras."
"Mendekati putri seorang pengusaha klonglomerat, bukanlah perkara mudah."
"Ya, benar. Dengan membuat gadis itu merasa diselamatkan dan berhutang budi, kamu sudah memegang permainan ini dari awal."
"Tapi aku nggak mau terlihat begitu mengejarnya, juga nggak mau dia lepas."
"Itu strategimu sekarang?"
Ervan mengangguk.
"Lakukan! Kamu tahu aku selalu mendukungmu. Katakan saja kalau kamu butuh sesuatu. Aku pasti bantu."
"Terima kasih, Kak. Kakak udah banyak bantu aku."
"Tak masalah. Tujuan kita sama, menghancurkan keluarga Admaja dan membuat Tristan menangis darah," ucapnya menekan kalimat terakhir. Pria itu mencengkeram kuat gelas beling di atas meja. Ervan bisa merasakan emosi yang sama pada diri pria itu.
Ervan menatap ke arahnya dalam diam, tetapi mengerti betul apa yang dirasakan pria di hadapannya, kurang lebih sama seperti apa yang dirasakannya. Sama-sama kehilangan seseorang.
Pandangan kosong pria itu mengarah pada gelas beling yang seolah dapat menyeretnya ke dalam portal waktu, di mana ia masih bisa melihat wanita yang amat ia cintai lebih dari dirinya sendiri, di sore hari itu ....
Ia berhasil menepikan motor di dekat danau buatan dengan jejeran pohon soga yang bermekaran. Angin berdesir, membuat batang pepohonan saling bergesek dan bunganya turut berjatuhan.
Ada rasa yang menyeruak di dada, ketika pria itu diminta untuk datang menemui wanita yang amat ingin ia jaga.
Di sana, di salah satu bangku yang menghadap danau. Ia dapat melihat rambut kecokelatannya tampak berkilauan ditimpa senja.
"Kinan ...," sapa pria itu memberi tanda bahwa ia sudah tiba.
Wanita yang dipanggil 'Kinan' itu hanya bergeming. Pandangannya kosong menatap ke arah danau.
"Kinan ...." Pria tadi mengulangi ucapan saat wanita yang ia sebut 'Kinan' tidak merespons kehadirannya.
Namun kali ini Kinan bangkit, berhambur ke arahnya, dan membenamkan wajah ayunya di dada pria itu. Kinan terisak.
"Kinan? Ada apa?"
Tidak ada jawaban. Hanya isak tangis Kinan yang lalu membuatnya bingung sekaligus khawatir.
"Kinan, katakan ada apa?"
Kinan masih belum berkenan menjawab. Ia hanya terus menangis, berusaha meluapkan beban yang menghimpit. Seperti paham akan situasi, pria itu tidak memaksa Kinan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kini ia memilih diam, sambil mengusap lembut puncak kepala Kinan.
Matahari tumbang, semakin terperosok di ufuk barat. Bunga-bunga pohon soga berguguran seperti sengaja menaburkannya dari atas, khusus untuk mereka berdua. Isak tangis Kinan berangsur-angsur memudar.
Mereka duduk di bangku yang menghadap ke arah danau, ketika keadaan Kinan sudah tenang. Masih hening, sampai ucapan Kinan setelah terdiam lama membuat pria di sampingnya tersentak.
"Aku hamil."
Pria itu menoleh penuh ke arah Kinan. "Apa?"
"Ya, aku hamil," sahutnya tanpa menoleh.
"Tap--tapi siapa yang ...." Pria itu seolah tidak sanggup menuntaskan kalimatnya.
Kinan tertunduk, memainkan jemarinya. "Aku sangat bodoh, Arman. Sekarang rasanya aku ingin mati saja."
Arman kembali menoleh ke arah Kinan. Masih menjadi pendengar yang baik bagi wanita yang memiliki tempat khusus di hatinya itu.
"Aku dibuang, Arman." Kinan kembali terisak.
Arman masih diam, tetapi hatinya tersayat nyeri.
"Aku dan bayi ini tidak diinginkan."
Ada getir yang dirasakan Arman saat itu juga. Tanpa pikir panjang, Arman menarik Kinan ke dalam dekapannya. Tangis Kinan kembali tumpah di sana. Di hadapan Arman ia bisa berkata jujur atas masalah yang bahkan masih ia sembunyikan dari keluarganya.
"Aku yang akan bertanggung jawab."
Isak tangisnya dipaksa berhenti. Kinan menarik diri dari pelukan Arman.
"Apa?"
"Aku yang akan bertanggung jawab." Arman mengulangi kalimatnya.
Ada hening sejenak saat Arman mengutarakan niatnya itu.
Kinan mengusap sisa air mata, pandanganya ia alihkan menatap lurus danau yang ada di hadapan.
"Kinan ...."
Kinan menggeleng lemah. "Nggak, Arman. Jangan gitu."
"Tapi aku serius. Kalau laki-laki itu tidak mau bertanggung jawab. Biar aku yang tanggung jawab."
"Enggak." Kinan menunduk.
"Kamu tahu dari dulu aku mencintaimu. Kamu berharga bagiku, Kinan. Aku enggak peduli bagaimana kamu sekarang. Aku mau bertanggung jawab. Aku serius."
Kinan menggeleng dan terisak kembali.
"Kinan ...."
"Bukan kamu yang harusnya bertanggung jawab. Arman, kamu tahu nggak, sih? Ini nggak sesimpel itu."
Arman sadar, bahwa dari dulu Kinan hanya menganggap dirinya sebatas sahabat saja, tidak pernah lebih. Bahkan, dalam situasi sulit seperti sekarang ini, Arman tetap mendapat penolakan.
"Siapa laki-laki itu, Kinan?" Kedua tangannya mengepal kuat.
Tanpa menoleh Kinan menjawab, "Tristan!"
Mengingat nama itu, sanggup membuat aliran darahnya mendidih.
"Kak? Kak Arman?" Suara Ervan menyentaknya dari lamunan.
"Ah, ya?" Arman sedikit gelagapan.
"Kak Arman kenapa?"
"Ah, enggak," elaknya pada lamunan tentang Kinan yang tak lain adalah kakak perempuan Ervan satu-satunya.
"Kalau begitu, aku pulang dulu, ya, Kak."
"Ini baru jam berapa, Van."
"Kapan-kapan aku ke sini lagi," sahut Ervan sambil meraih jaket bomber dan bungkus rokok beserta korek apinya.
"Kabari aja kalau kamu butuh sesuatu."
"Siap!"
***
Malam semakin larut saat Ervan sampai di rumah minimalis miliknya. Pria itu sudah menghuni kamar sesaat kemudian. Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang ukuran single berseprai putih. Pandangannya lurus menatap langit-langit kamar.
keheningan mendominasi, memaksa pada ingatan-ingatan lalu yang berkelebat di benaknya. Banyak hal terjadi belakangan ini, juga banyak hal dalam hidupnya yang terenggut dengan keji.
Pria berperawakan jangkung itu menoleh ke arah gitar yang bersandar di dinding. Ervan meraihnya. Masih dalam keadaan merebah, ia lalu memetik senar-senar gitar hingga menghasilkan nada sebuah lagu tanpa suara. Hanya petikan gitar mengalun sunyi di dalam kamarnya.
Sesunyi ini sampai ia bahkan tidak merasakan apa-apa lagi sekarang. Hari-harinya sudah berteman akrab dengan kehampaan.
Petikkan gitar dari sebuah lagu bertema cinta itu masih mengalun. Cinta? Ervan bahkan tak mengerti apakah cinta itu benar-benar ada.
***
"Ada, kok. Semua jenis masker ada di laci," sahut Trisha dari atas ranjangnya. Ia duduk bersila menghadap laptop.
"Kuylah, kita maskeran." Dira antusias.
"Ayo, Tris, kamu juga," ajak Jesslyn yang kemudian membuat Trisha mengakhiri aktivitasnya di depan benda persegi itu.
"Iya, deh, ayo."
Mereka bertiga kemudian kompak membersihkan wajah terlebih dahulu sebelum memakai sheet mask. Produk masker wajah tanpa bilas keluaran dari klinik kecantikan mamanya ini, selalu ready stok di lacinya.
Sheet mask sudah terpasang di wajah mereka masing-masing hingga ketiganya tampak seperti memaki topeng. Sambil menunggu lima belas menit waktu yang tepat untuk melepas masker itu, mereka berbaring di atas ranjang Trisha yang nyaman.
"Tris."
"Hmm."
"Elo nggak naksir sama Mas-mas kafe itu, 'kan?" Jesslyn menyelidik.
"Kenapa lo tiba-tiba nanya gitu?"
"Oh, iya, Tris. Bisa kali kenalin aku sama Mas satunya itu, yang menyambut kita waktu datang," sela Dira yang membuat Jesslyn ingin sekali menyumpal mulutnya agar diam. Jesslyn sedang memastikan gerak-gerik Trisha yang tidak biasa sejak sahabatnya itu bertemu dengan pria bernama Ervan.
"Apa? Kenapa melotot-melotot gitu? Serem tahu." Dira menanggapi reaksi Jesslyn.
Trisha tersenyum simpul. "Gue 'kan juga nggak kenal, Ra."
"Tapi elo udah kenal Mas Ervan, 'kan? Jadi, bisa sambil tanyain gitu."
Sikap barbar Dira membuat Jesslyn gedeg setengah mati. "Elo kayak udah nggak ada stok cowok lain di jagat raya ini aja, Ra." Lebih tepatnya Jesslyn ingin meneriakkan kalimat itu pada Trisha. Ia menyayangkan kalau sahabatnya itu menyukai orang yang salah. Trisha lebih layak untuk pria yang menurutnya sepadan.
"Elo, sih enak ngomong gitu karena udah punya gandengan," sahut Dira tidak mau kalah.
"Jangan sampai jiwa jomlo lo yang meronta itu membuat lo jadi asal-asalan soal selera," balas Jesslyn sarkastik.
"Kalau gue, sih asal gue nyaman aja. Nggak makai standar orang lain soal selera. Kalau seandainya Mas kafe itu bisa bikin nyaman, sih gue jalani aja."
Perdebatan kedua sahabatnya tentang Mas-mas kafe itu membuat Trisha teringat akan Ervan. Pembahasan Jesslyn tentang selera sama sekali tidak berdampak apa-apa terhadap kekagumannya pada Ervan.
Ervan ... sedang apa, ya dia?
***
TBC ;)