"Bisa jadi."
"Aku kira ponselmu udah dikantongin. Aku nggak ngeh ada barang yang ketinggalan atau enggak di meja tadi." Jesslyn tampak menyesal.
"Coba telepon," usul Dira.
Jesslyn sigap mengeluarkan ponselnya kemudian tanpa berlama-lama melakukan panggilan.
"Eh, diangkat," bisik Jesslyn pada Dira dan Trisha.
"Hallo ... Mas, ini di Yours Cafe, 'kan? Eum ... ini ponsel teman saya ketinggalan di situ." Jesslyn buka suara ketika panggilan ke nomer telepon Trisha diterima.
"Iya, udah saya amankan."
"Oke, Mas, terima kasih banyak. Kita ambil ke situ, ya." Kalimat Jesslyn sejurus menutup sambungan telepon.
"Yuk!" Dira hampir melangkah.
"Tunggu, biar gue aja yang ambil." Trisha mencegah.
"Lho, masa sendirian?"
"Nggak apa-apa, kalian balik ke kelas aja."
Trisha sudah beranjak dari kedua sahabatnya, mengayun lakah kembali ke Yours Cafe. Menyisakan Dira dan Jesslyn yang kemudian saling menatap heran.
Jantung Trisha terasa meletup-letup ketika kedua kakinya hampir sampai di kafe itu lagi. Kini langkahnya praktis terhenti saat mendapati pemandangan menarik di hadapannya. Ervan sedang terjongkok di sudut halaman parkir kafe ini dengan seekor kucing yang tengah melahap makanan. Tangan Ervan sesekali mengusap kepala kucing berbulu kecokelatan itu. Ervan tidak menyadari bahwa Trisha sedang memperhatikan dari tempatnya berdiri.
Pandangan Ervan berpindah saat gadis berambut hitam legam sepunggung itu mendekatinya dengan ragu. Ervan bangkit. Keduanya sudah berhadap-hadapan.
"Van, aku mau ambil ponselku yang ketinggalan," ucap Trisha sedikit canggung.
Pria datar di hadapannya ini menatap hening sesaat sebelum meraih sebuah ponsel dari saku celana jeans-nya, kemudian mengulur ponsel itu tanpa suara.
"Thanks, Van." Trisha mengulas senyum yang sama sekali tidak mendapat balasan.
"Lain kali hati-hati dengan barang bawaan. Ponselmu terselip di bawah piring spaghetti. Untung kamu datang ke kafe yang orang-orangnya jujur. Coba kalau enggak, ponselmu mungkin sudah raib."
Trisha mengangguk. "Iya, aku memang kadang suka teledor. Sekali lagi terima kasih."
"Ada lagi?"
"Apa?"
"Kenapa masih di sini? Kamu udah dapatin ponselmu, 'kan?"
Ponselnya memang sudah berada di tangan. Urusan Trisha mungkin sudah selesai, tetapi rasanya ia belum mau beranjak dari kafe ini. Ia masih ingin di sini, masih ingin berada di dekat Ervan.
"Aku ...." Trisha mengalihkan pandangan ke arah kucing dengan bulu kecokelatan yang masih melahap makanannya. Gadis itu kemudian ikut berjongkok pelan-pelan, tidak ingin mengganggu acara makan siang kucing liar itu. Sebagai pecinta kucing, Trisha senang jika ada orang yang peduli dengan nasib kucing-kucing liar yang tak bertuan seperti ini.
"Aku jadi ingat kucingku di rumah," ucap Trisha sambil mengusap lembut bulu kucing yang tampak kurus kering itu.
"Makan yang banyak pus." Trisha berbicara pada kucing itu sambil menggembangkan senyum manis. Senyum yang demi Tuhan akan Ervan rampas pelan-pelan.
Trisha mendongak. "Makasih, Van. Kamu udah peduli sama kucing liar seperti ini. Aku jadi ingat Snowy, kucingku di rumah. Snowy tidak pernah kekurangan makanan."
Ervan ikut berjongkok, menatap Trisha sesaat lalu berpindah pada kucing yang seolah tidak merasa terganggu oleh keberadaan mereka.
"Aku pernah dengar, kalau ada kucing yang datang meminta makan pada kita, itu artinya kita akan diberi rejeki baru. Tidak memberikan makanan pada kucing itu berarti menolak rejeki baru."
Trisha tercenung menatap ke arah Ervan saat mendengar barisan kata yang baru saja meluncur dari mulut pria datar itu. Ervan membalas tatapan Trisha--penuh arti. Trisha mengerjap, kembali tersadar sebelum sepasang mata jelaga milik Ervan menenggelamkannya.
"Benarkah?" Bibir gadis itu melengkung.
Ervan masih menatapnya tanpa ekspresi. Diam-diam ia menyusuri tiap sudut wajah gadis itu dengan lekat.
"Hmm," jawab Ervan singkat.
"Artinya ini bakal jadi rejeki untuk Yours Cafe, ya, 'kan?"
"Semoga."
"Sukses, ya, Van!" Senyum semringah Trisha tercetak.
"Terima kasih."
"Eum ... aku balik ke kampus sekarang, ya. Masih ada kelas. Sekali lagi terima kasih."
Ervan mengangguk. Mereka sama-sama bangkit.
"Sampai ketemu lagi." Trisha menyempatkan tersenyum tipis sebelum berbalik dan melangkah kembali menuju kampusnya. Ervan masih memandanginya sampai gadis itu hilang dari jangkauan.
"Cie ... yang abis uwu-uwuan. Udah persis kayak adegan dalam FTV aja, nih. Cieee ...." Kalimat bernada menggoda itu terlontar dari salah satu partnernya bernama Zaki.
Ervan hanya menatapnya nyalang tanpa menanggapi ledekan pegawai sekaligus temannya sendiri itu.
Kafe kali ini tampak lengang meski sempat ramai tadi. Ervan menarik kursi di salah satu sudut meja. Mendaratkan tubuhnya kemudian mengulir layar ponsel. Pria itu masuk pada applikasi chatting, berniat sedikit mengacaukan hari Trisha. Ervan membuka room chat antara dirinya dan Trisha.
Gadis itu melangkah riang di sepanjang koridor menuju kelasnya. Entah mengapa hari ini terasa berbeda. Sebuah getar notifikasi membuat gadis itu meraih ponselnya dari saku celana.
"Ervan?" Buru-buru gadis itu membuka room chat antara dirinya dan Ervan. Pria datar itu baru saja mengirim stiker kucing padanya. Senyum Trisha terbit.
Bermain-main dengan cewek itu sepertinya menyenangkan, batin Ervan setelah mendapat balasan stiker yang sama dari Trisha.
Permainan sudah dimulai. Nikmatilah peranmu Ervan dan selesaikan misi ini dengan baik, batinnya lagi-lagi bersuara, tetapi kali ini diikuti smrik mematikan.
***
"Tris, lama amat, sih?" todong Jesslyn saat Trisha sudah menempati kursinya.
"Masa, sih?"
"Lo ngapain aja di kafe tadi? Jangan-jangan lo ngecengin Ervan dulu, ya? Ngaku!" tuduh Dira dari tempat duduknya yang berada persis di belakang Trisha.
Trisha hanya melempar tawa lebar dan sedikit tersipu menanggapi tuduhan Dira. "Apaan, sih. Enggak."
"Pantes aja tadi nggak mau ditemenin."
"Apa, sih, Ra. Enggak!"
Jesslyn bisa melihat wajah merona Trisha dari bangkunya yang berada di seberang. Gurat wajah sahabatnya itu tampak bahagia. Jesslyn mengerutkan dahi.
Bel belum berbunyi, masih ada beberapa menit lagi sebelum kelas akan benar-benar dimulai. Trisha menyempatkan mengulir layar ponsel saat mendapati chat Ervan di sana.
{Semangat, ya kuliahnya.}
{Kapan-kapan datang lagi ke Yours Cafe.}
Trisha mengulum senyum, ibu jarinya lincah mengetik balasan. Ada rasa entah apa yang kini membuncah di dadanya. Jesslyn masih memperhatikan sahabatnya itu dari tempat duduk.
"Lo keliatan seneng banget, Tris." Jesslyn menyelidik.
Trisha sontak menoleh ke arah Jesslyn yang berada di sebelahnya. "Enggak," elaknya masih dengan senyum tipis.
"Lo chat sama siapa?"
"Bukan siapa-siapa," jawab Trisha kemudian memasukkan kembali Ponselnya ke dalam saku.
"Sama Mas-mas kafe tadi kali," celetuk Dira dari belakang.
Trisha tidak menanggapi pun tidak menoleh ke arah Dira.
"Udah dapet nomer teleponnya aja, nih. Bolehlah mintain nomer Mas-mas yang satunya lagi itu." Dira masih mengoceh yang lalu mendapat pelototan Jesslyn.
"Apa, sih Anda? Namanya juga usaha. Trisha bentar lagi jadian sama Ervan, sementara Anda juga udah punya someone. Terus, nasib aing gimana?"
"Bodo!"
"Dahlah! Fix, abis ini gue meluncur ke Yours Cafe."
Jesslyn menoleh tajam. "Tolong barbarnya dikurang-kurangin."
"Enggak, ah, mau kutambah-tambahin aja."
"Terserah!"
"Syirik aja Anda."
Perdebatan kecil antara Dira dan Jesslyn berakhir ketika dosen mulai menampakkan batang hidungnya. Setelah presensi, kelas sudah tenang dengan mata kuliah teori yang berlangsung siang ini.
Trisha menopang dagu, pandangannya lurus ke depan, tetapi benaknya melayang pada Ervan. Trisha masih saja memikirkan pria itu. Seperti tidak sabar akan pertemuan mereka berikutnya. Angan Trisha semakin jauh, ketika ia berpikir kemungkinan apa yang akan terjadi antara mereka berdua ke depan nanti.
***
TBC :)