Trisha meletakkan ponselnya di atas nakas setelah berhasil menyimpan nomer Ervan. Ia beranjak ke kamar mandi untuk mencuci wajah, berlanjut dengan perawatan rutinnya sebelum tidur. Selesai, gadis itu sudah berganti pakaian dengan piyama dan bersiap untuk tidur.
Lampu kamar sudah berganti temaram. Namun, matanya begitu susah dipejam. Benaknya kembali memutar rekaman, bagaimana Ervan dengan begitu gentle menghajar kawanan penjahat itu sendirian.
Trisha memeluk erat guling, berusaha mengosongkan pikiran. Bahkan, Berganti-ganti posisi ternyaman, tetapi tetap saja ia belum bisa memejamkan mata. Kesal, gadis itu meraih ponselnya di atas nakas. Mengulir layar, masuk pada aplikasi chatting-nya. Hanya scroll-scroll saja, sampai ia iseng membuka chat punya Ervan dan mendapati pria itu sedang online. Trisha terkesiap--menegakkan tubuh. Ia berpikir apa perlu berbasa-basi mengirim pesan pada pria itu menanyakan apakah sudah tidur atau belum?
Trisha, kendalikan dirimu! batinnya menginterupsi.
Tidak pantas chat ke seorang pria malam-malam begini. Apalagi dengan pria asing. Ia setuju dengan pikirannya. Jarinya tertahan untuk tidak mengirim pesan pada pria dengan wajah datar tanpa ekspresi itu.
Datar, sih emang. Tapi ganteng. Eh! Udahlah Tris, tidur!
Gadis itu sudah keluar dari aplikasi chatting, sudah tak terlihat online lagi. Setidaknya itu yang terbaca oleh Ervan.
"Sudah tengah malam begini belum juga tidur, apa dia mendadak insomnia?" Ervan tersenyum miring.
Ervan membaringkan diri di atas ranjangnya, masih teringat wajah putus asa gadis itu saat melambaikan tangan ke arahnya. Masih terlintas mata sembab dan hidung memerah karena menangis sendirian di dalam mobil. Ervan juga melihat mata indah itu berbinar saat ia datang untuk menyelamatkannya.
"Trisha ...," ucapnya lirih sambil menatap senyum menawan gadis itu dalam layar.
***
"Tris, katanya mau cerita soal semalam. Ada apa sebenarnya?" tanya Jesslyn penasaran.
"Ke kantin aja dulu, nanti aku ceritain."
"Eh, gimana kalau kali ini kita cobain makan di kafe baru depan kampus. Tadi pas gue berangkat, gue sempet lihat gitu mereka lagi opening hari ini. Ada promo spesial," usul Dira.
"Sebangsa makanan aja lo jeli banget," timpal Jesslyn sambil melipat tangan di dada.
"Sebangsa cogan juga gue jeli. Siapa tahu aja, 'kan pelayan kafenya cogan. Ini, sih terkhusus buat gue dan Trisha, ya. Tidak untuk yang sudah punya pasangan, nih mohon maaf!" Dira menekan kalimat terakhirnya.
"Aish!"
"Jadi, dimohon dengan sangat untuk tahu diri."
"Cogan juga belum tentu mau sama lo. Makannya banyak soalnya, mohon maaf." Jesslyn tertawa keras membalas ucapan Dira.
"Liat, Tris, gue selalu ternistakan begini."
"Udah, ah, ayo," ajak Trisha merangkul bahu kedua sahabatnya yang suka sekali berdebat hal tak penting.
"Jadinya mau makan di mana, nih?" Trisha memastikan.
"Kafe baru depan kampus," jawab Dira mantap.
Welcome to Yours Cafe
We're Open.
Begitulah sebuah papan bertuliskan selamat datang dengan deretan menu dan promo, menyambut satu per satu pelanggan di hari pertamanya mengudara.
"Selamat datang, Kak," sapa salah satu pelayan kafe dengan ramah.
"Terima kasih," sahut Dira dengan senyum paling manis. Ketiganya kemudian sudah duduk di salah satu sudut meja.
"Silakan, Kak. Kita ada promo untuk seminggu pertama kafe kami buka. Promo beli dua gratis satu untuk menu makanan dan minuman di sebelah sini, ya, Kak," tunjuk pelayan itu memberi informasi pada daftar menu. "Silakan dipilih-pilih dulu. Permisi," ucap pelayan itu kemudian undur diri.
"Siap, Mas. Makasih," sahut Dira dengan suara yang dibuat selembut mungkin.
"Liat, ama Mas-mas kafe aja begitu tingkahnya. Barbar!"
"Heh! Diam, Anda! Siapa tahu aja, 'kan kisah cinta gue berawal dari sini."
"Who cares?"
"Tris, lagi-lagi gue dinistakan."
"Kalian mau pesan apa, nih?" Trisha mengalihkan perdebatan mereka.
"Apa, ya? Bentar." Jesslyn menyusuri daftar menu dari atas sampai bawah. Begitu juga dengan Trisha, tetapi tidak dengan Dira, gadis itu justru fokus pada pelayan kafe yang lain.
"Tris ... Tris ...."
"Kamu mau pesan apa, Ra? Buruan," sahut Trisha tanpa mengalihkan tatapannya.
"Ada satu lagi Mas-mas cogan di sini, Tris. Aaaaa! Itu cocok buat kamu, Tris." Dira histeris sendiri.
"Ya, kali Trisha sama Mas-mas kafe yang bener aja."
"Tris! Itu, liatin dulu," kata Dira sambil menyikut Trisha.
Karena berisik, akhirnya Trisha mengikuti arah pandang Dira dan sedikit terkejut saat menemukan pria dengan ekspresi paling datar, yang pernah ia temui di jagat rayanya ini.
Ervan?
"Nah, 'kan Trisha langsung terkesima."
Jesslyn jadi ikut menelisik ke arah para pelayan kafe yang sedang meramu pesanan pengunjung. Ada tiga pria di sana. Jesslyn bisa menebak mana yang dimaksud Dira. Satu di antara ketiganya memang terlihat mencolok. Postur tubuh tinggi, rambut belah samping, alis tebal, dan hidung yang runcing.
"Tris? Lo beneran terkesima, Tris?"
Trisha mengerjap, mengalihkan tatapannya dari Ervan kemudian tersenyum simpul. "Apaan, sih?"
"Jangan ketularan Dira, Tris. Please ...."
"Heh! Apa maksud, Anda?"
"Selera lo, 'kan aneh."
"Enak aja!"
"Kalian jadi pesan nggak, sih?"
"Baik, Tuan Putri. Aku mau pesan ... ini aja, sama ini," tunjuk Dira pada menu red Velvet latte dan spaghetti.
"Sama, aku juga mau spaghetti, tapi minumnya milk shake vanilla aja."
Trisha mencatat pesanan mereka.
"Sini, biar gue aja yang antar list order kita," pinta Dira.
"Gue aja." Trisha bangkit.
Dira dan Jesslyn saling melempar tatapan. Trisha sudah mengayunkan langkahnya menuju container merah, tempat para pelayan kafe itu meramu dan menerima pesanan pengunjung.
Ervan menghentikan pergerakan saat melihat Trisha di hadapannya. Jagat raya ini pun seolah ikut terhenti untuk sejenak.
"Ervan?" Suara lembut Trisha memecah keheningan mereka.
"Kamu?"
"Iya, aku Trisha. Nggak nyangka, ya, kita ketemu lagi," ucap Trisha dengan senyum semringah.
"Mau pesan apa?"
Trisha menelan ludah, senyumnya lenyap. Ia merasa hanya dirinyalah di sini yang senang akan pertemuan mereka kembali. Sementara Ervan, biasa saja.
"Ini." Trisha menyerahkan list ordernya.
Ervan menatap kertas list order dari Trisha. "Ada lagi?" tanyanya sambil menatap wajah Trisha.
Trisha menggeleng pelan, pandangannya masih terarah penuh pada Ervan. "Kamu kerja di sini?"
"Aku pemilik kafe ini," sahut Ervan cepat.
"Oh ...."
"Silakan tunggu di meja. Nanti pesanannya diantar," kata Ervan sekadarnya.
"Baiklah." Trisha beringsut.
Ervan menatap intens ke arah Trisha saat gadis itu berbalik arah.
"Kalian tadi ngobrol apa?" tanya Dira penasaran.
"Bukan apa-apa."
"Tris, katanya tadi mau cerita." Jesslyn menyela.
"Eum ... jangan di sini."
"Kenapa?"
Trisha hanya menggeleng.
Selama menunggu pesanan datang, Trisha dan Ervan sering kedapatan mencuri pandang satu sama lain. Beberapa kali sorot mata mereka bertemu. Ervan yang selalu lebih dulu mengalihkan tatapannya.
"Kenyang banget gue. Porsi spaghetti di sini lumayan banyak," celetuk Dira.
"Yuk, ah, balik."
"Gue bayar dulu." Trisha bangkit.
"Bukannya kali ini jatah gue yang bayar, Tris?" Jesslyn mengeryit.
"Udah nggak apa-apa."
"Jangan bilang kamu naksir beneran sama Mas-mas kafe itu, Tris?" gumam Jesslyn, sementara Dira hanya mengedikkan bahu.
"Terima kasih," ucap Ervan pada Trisha di depan mesin kasirnya.
"Sama-sama." Trisha menyempatkan tersenyum tipis pada Ervan meski ia tidak mendapat balasan.
Trisha beranjak. Namun, ia dibuat menoleh saat suara Ervan menyapa pendengarannya.
"Aku tunggu kedatanganmu lagi, Trisha." Kalimat Ervan barusan membuatnya tertegun sesaat. Seolah kalimat itu dibisikkan langsung di telinganya.
"Udah, Tris? Ayo!" Jesslyn menghampiri dan menarik tangan Trisha, membawanya keluar dari kafe diikuti oleh Dira. Trisha menyempatkan menoleh sekali ke arah Ervan.
Ervan masih menatapnya sampai hilang dari pandangan.
Sepertinya setelah ini kita akan sering bertemu. Trisha Putri Admaja, asal kamu tahu, ini bukanlah suatu kebetulan.
"Tris, lo kenal sama Mas-mas kafe tadi?" tanya Jesslyn sambil mengiringi langkah Trisha di trotoar.
"Iya, dia yang ingin gue ceritakan ke kalian."
"Ada hubungannya sama semalem, ya?" Dira menangkap benang merah.
"Yup! Semalem gue dapet musibah, mobil gue dihadang sekawanan penjahat gitu, begal atau apa gue nggak ngerti. Mereka berusaha membuka pintu mobil dengan mencoba memecah kaca jendela."
"Ya ampun, Tris! Seram amat." Dira membekap mulutnya sendiri.
"Terus?" Jesslyn tampak penasaran.
"Dan ... Ervan datang nyelamatin gue, Mas-Mas kafe tadi."
"Tapi elo nggak kenapa-kenapa, 'kan, Tris?" Jesslyn memastikan.
Trisha mengangguk. "Ya, gue baik-baik aja. Makanya gue nggak tahu lagi kalau seandainya aja Ervan nggak datang nyelamatin gue." Trisha menghela napas.
"Kenapa nggak hubungi kita, sih?" Dira protes.
"Baterai gue habis, Sayang." Trisha tersenyum.
"Bisa-bisanya lagi keadaan mencekam gitu baterai habis."
"Kemarin gue bilang, 'kan nginep aja," sela Jesslyn.
"Udah-udah, yang penting gue baik-baik aja, 'kan. Lain kali gue akan lebih hati-hati lagi."
"Uw ... sayang Trisha." Dira memeluk lengan Trisha. Sementara Trisha tertawa kecil dengan kelakuan sahabatnya itu.
"Lo nggak lapor polisi, Tris?"
Trisha terdiam sejenak. "Nggaklah, nggak usah."
"Nyokap bokap lo tahu soal ini?"
Trisha menggeleng.
"Kenapa lo nggak bilang?" Kali ini Dira memekik.
"Nggak usahlah, gue nggak mau mereka khawatir."
"Keselamatan lo semalem terancam lho, Tris. Kenapa lo sesantai ini? Lo harus lapor polisi."
"Yup! Gue setuju, tuh."
"Udahlah."
"Nggak, lo harus bilang ke nyokap bokap lo, Tris. Gue yakin om Admaja nggak akan biarin ini begitu aja. Bisa aja kan mereka ini sengaja datang buat nyelakain elo, karena lo adalah anak om Admaja, anak seorang pengusaha ternama. Saingan bisnis mungkin. Who knows?"
"Enggak, gue nggak berpikir sampai ke sana. Gue nggak mau ini jadi ke mana-mana."
"Tapi, Tris--"
"Gue baik-baik aja, itu poinnya."
Dira dan Jesslyn terdiam.
"Udah, ah, ayo kita masih ada kelas."
Ketiganya kembali berjalan menuju area kampus. Namun, ketika sudah sampai di depan gerbang utama, Trisha menyadari ponselnya tidak ada dalam saku celana jeans-nya. Ketiganya menghentikan langkah mereka. Trisha panik mengacak isi tote bag-nya, memastikan ia sudah memasukkan ponsel pintarnya itu ke dalam, tetapi tidak ditemukan juga di sana.
"Atau jangan-jangan ketinggalan di kafe tadi?" curiga Jesslyn.
***
Bersambung 🍃
Masukkan cerita ini ke koleksimu yuk 🤗