Happy Reading
***
Sementara di waktu yang sama, di tempat berbeda.
Di sebuah pabrik yang memiliki studio pribadi di dalamnya, Javas Deniswara sedang disibukkan dengan pekerjaannya mengukir 'Burung Phoenix' sejak sore tadi.
Di sela-sela kesibukannya, Javas masih harus melayani beberapa pelanggannya yang terus saja memesan hasil pahatannya. Padahal ia sudah mengatakan untuk beberapa hari kedepan ia tidak akan menerima pesanan apa pun.
Jujur, Javas sudah sangat lelah meladeni beberapa pelanggannya yang rewel atas pesanan hasil Karya Pahatan yang ia buat. Bukan karena hasil pahatan Javas yang jelek atau ada kecacatan didalamnya, hanya saja para pelanggannya berlomba-lomba ingin diistimewakan, ingin didahulukan dan memaksanya untuk menyelesaikan dengan segera dalam waktu yang cepat dan singkat atas pembuatan pahatan kayu yang mereka pesan.
Dan mereka semua tidak tanggung-tanggung dalam memesan pahatan karya yang dihasilkan oleh Javas, sebagian besar dari mereka memesan Patung diri mereka sendiri, memesan patung hewan kesayangan mereka, memesan patung para pejabat negara guna dihadiahkan untuk menaikan jabatan dan macam-macam. Dan yang membuat Javas heran, walau ia sudah mematok harga yang tinggi karena kadang enggan mengambil pekerjaan itu tapi mereka semua rela membayarnya bahkan mereka siap merogoh kocek yang lebih banyak hanya untuk mendapatkan pahatan dari tangan emas Javas.
"Vas, jika lelah sudahi dulu," ucap Uki memberikan segelas kopi hitam pada Javas. Ia tidak tega melihat wajah Javas yang terlihat mulai kelelahan itu.
Uki adalah asisten pribadi, partner kerja sekaligus sahabat Javas sejak mereja duduk dibangku kuliah. Uki pun sama dengan Javas, dia adalah salah satu Pemahat yang cukup diandalkan oleh Javas.
Javas memiliki toko Mebel yang ia bangun dengan susah payah bersama Uki sahabatnya setelah 5 tahun melalui kesusahan dan hinaan dari berbagai pihak yang tidak menyukai karyanya bahkan dari sesama pemahat pun ia kerap kali mendapat cemoohan yang selalu membuat Javas terpacu untuk bekerja lebih keras dari biasanya. Karena satu hal yang selalu Javas Deniswara ingat. "Kau hanya akan berakhir di pinggiran terminal dengan alat tatah yang berkarat, Vas. Kau tidak akan pernah bisa seperti kami."
Berbekal hinaan itu, Javas selalu memacu dirinya sendiri dan selalu bekerja keras untuk mendapatkan mimpinya, untuk membungkam mulut-mulut yang telah menghinakan dirinya. Dan setelah 5 tahun berlalu dari semenjak ia lulus kuliah dengan susah payah, akhirnya Javas memiliki toko mebelnya sendiri yang Ia beri nama 'SKY MEBEL' karena ia ingin toko mebelnya akan selalu berada di atas. Karena Sky selalu berada diatas dan Sky tidak pernah berada dibawah.
Dan inilah Javas Deniswara saat ini, Pria muda nan tampan berusia 28 tahun pemilik toko Mebel terbesar di negaranya dan ia pun memiliki Pabriknya sendiri. Memproduksi hasil karya-nya sendiri dibantu dengan 10 pekerja pilihannya sendiri yang didapatkan dari hasil seleksi ketat yang ia ajukan.
"Thank you," ucap Javas dengan napas terengah mengambil gelas itu, lalu menyandarkan tubuhnya pada sebuah kursi kayu. Tubuhnya yang bertelanjang dada pun naik turun dengan napas tersengal menahan lelah. Mata biru-nya yang selalu mampu menghipnotis para wanita pun sedikit terlihat sayu karena sudah beberapa hari ini Javas kurang tidur. Rambut ikalnya yang terikat pun sudah basah dan lepek, entah sudah berapa hari Javas tidak mencucinya. Karena yang ia lakukan saat pulang ke mansionnya; mandi seadanya, makan secepatnya, tidak lupa memberi makan anjing peliharaannya, tidur, bangun, tidur, bangun berangkat ke pabrik.
Dan toko Mebelnya, sudah ada 3 orang kepercayaannya yang ditugaskan untuk menjaga 'Sky'.
"Kau lelah, Vas. Ingat pameranmu 4 hari lagi." Uki mengelap keringatnya sendiri yang mengalir di dada bidangnya.
Semua pekerja di sini rata-rata mereka bertelanjang dada, sebab Pabrik ini walau sudah memiliki kipas angin besar yang tergantung di setiap sudut pabrik, tetap saja hawa panas dan pengap masih terasa di pabrik ini.
Ini alasan mengapa Javas menolak pesanan dari para pelanggannya, karena Javas akan melakukan pameran tunggal pertamanya yang ia beri judul 'Sky In My Dream' dan akan ada 15 hasil karya Javas yang dipamerkan di pameran tunggalnya. Javas sudah menunggu ini selama 3 tahun lamanya, dan sebagian hasil karyanya sudah ia buat selama periode 3 tahun itu dan tinggal Burung Phoenix-nya saja yang belum ia selesaikan.
"Hem," Javas pun mengamati lekat hasil karyanya. Ia masih mengukir 'Burung Phoenix' yang akan menjadi salah satu karyanya yang akan dipajang di Pameran tunggal miliknya. Ini mimpinya selama ini yang akan menjadi kenyataan.
Javas teringat akan sesuatu, ia melirik studio pribadinya yang berada di sudut ruangan Pabrik, "Kau sudah mengambil foto Vella?" tanya Javas bangkit dari duduknya, ia merenggangkan tubuhnya yang kaku karena selama berjam-jam yang ia lakukan hanya duduk namun, tangannya yang aktif bergerak. Lantas ia melepas ikat rambut yang mengikat rambut ikalnya yang basah oleh keringat. Seketika bulir keringat menetes dari ujung rambut Javas dan hal itu menambah kesan seksi yang begitu menawan dari pemilik tubuh yang terlihat kekar dengan otot-otot yang mencuat halus.
Dilihat dari bentuk tubuhnya, terlihat sekali jika Javas adalah seseorang yang selalu bekerja lebih dengan menggunakan fisiknya karena tidak hanya mengukir dengan memainkan alat tatah, terkadang Javas pun harus membelah kayu-kayu gelondongan secara manual dengan kapak-kapak dari berbagai ukuran.
Javas jarang sekali menggunakan 'Senso-nya. Karena bagi Javas, alat senso adalah hal yang paling menakutkan untuk dirinya. Dan khusus untuk pemotongan Kayu Berdiameter besar yang membutuhkan alat senso, Javas sudah menyiapkan tempatnya sendiri. Asalkan ia tidak melihat Senso itu saat memotong kayu, bagi Javas tidak akan ada masalah.
"Aku menunggumu, Vas!!" salak Vella dari dalam studio. Yang studio itu memang berada di dalam pabrik, "Tidak mungkin aku memperlihatkan tubuhku pada Uki!!" katanya lagi dengan wajah memberengut kesal. Sudah satu jam ia menunggu Javas di dalam studio dengan tubuh hanya terlilit kain seperti ini.
Javas mengangkat bahunya dengan cuek. Salahnya sendiri, padahal ia sudah mengatakan jika ia sedang mengejar targetnya.
Sesuai kesepakatan dengan Javas. Lebih kepada kesepakatan sepihak, Vella akan diambil fotonya oleh Javas dengan tanpa busana. Karena Vella ingin mendapatkan apa yang didapatkan oleh teman-temannya yang lain.
Jika ia, menginginkan Patung dirinya dari hasil pahatan tangan Javas dengan tanpa busana dan mendapatkan berbagai ukiran indah di seluruh tubuh patung itu nantinya. Membayangkannya saja membuat perut Vella seperti tergelitik. Dan Justru ia membayangkan jika tangan Javas-lah yang menyentuh kulit-kulit tubuhnya secara langsung dengan penuh damba.
Pasti akan ada sensasinya sendiri!
"Heh! Bukankah sudah kukatakan berulang kali, Javas sibuk! Sibuk! Nona Vella!" sahut Uki tidak kalah berteriak pada Vella.
Pukul 5 tadi Vella tiba-tiba masuk kedalam pabrik, mencari Javas dengan muka percaya diri. Menawarkan membuatkan patung dirinya dengan bayaran yang … iya, lumayanlah!
Tanpa Javas mengatakan 'Iya ataupun tidak' dan mengabaikan peringatan dari Uki, Vella langsung masuk ke dalam studio Javas, menunggu Javas disana dengan memperagakan berbagai pose yang akan ditunjukkan pada Javas. Namun selama satu jam Javas sama sekali tidak mendatanginya.
"Vas, ayolah!" rengek Vella, yang hanya berani mengeluarkan setengah kepalanya, tidak mungkin ia keluar dengan penampilan seperti ini.
"Vas, ayolah…" Uki dengan kesal menirukan suara manja Vella yang berusaha meraih perhatian Javas yang terlihat acuh tak acuh.
Dan semua pekerja yang berjumlah 10 orang, yang berada di dalam pabrik pun hanya bisa terkikik geli mendengar suara bos-nya yang selalu meledek klien wanita yang secara terang-terangan ingin menggoda Pemilik Toko Mebel sekaligus Pabrik ini.
***
Salam
Busa Lin