Happy Reading
***
"15 menit, Vel. Jika kau tidak tahan menungguku. Biarkan Uki yang mengambil fotomu," ucap Javas mengambil alat pengamplas kayu. Ia harus menyelesaikan mengamplas burung phoenix-nya malam ini juga, supaya ia bisa melakukan finishing esok hari.
"No, Vas!!" seru Vella.
"Lagi pula, nantinya juga bukan aku yang membuat patungmu." Javas dengan cueknya menjawab, diiringi dengan suara mesin amplas yang akan mulai bekerja, "Bisa saja Uki…" katanya lagi, "Bisa saja, Pak Amar…" Javas menjepit bibirnya dengan kuat saat permukaan amplas mengusap lembut burung phoenixnya yang sudah terukir sangat cantik ini, "Bisa saja…"
"JAVAS!! Aku membayarmu sangat MAHAL!!" teriak Vella dengan wajah mengeras. "350 juta, Javas!!"
"Tidak ada hitam diatas putih, Vel," sahut Javas datar dengan napas terengah mengamplas bagian tersulit dari lekukan leher burung phoenix-nya ini.
Dengan tanpa memperdulikan tubuhnya yang berbalut kain, bibir Vella berucap sambil berjalan mendekati Javas, "Iya sudah! Berikan surat kerjasamanya." Vella mendengus dengan perasaan dongkol, "Aku akan membayar sesuai dengan harga yang kuajukan tadi."
Dan semua mata tertuju pada lekuk tubuh indah Vella yang benar-benar terlihat aduhai dengan kaki jenjang yang terlihat jelas seperti itu. Dan semua pekerja yang bekerja bersama Javas pun selalu heran dengan bos-nya, karena tidak pernah mengambil kesempatan dengan beberapa wanita yang jelas-jelas ingin menggoda bos-nya secara terang-terangan seperti itu.
"Mau apa!" Uki merentangkan tangannya, menghadang tubuh Vella. Melindungi Javas, dari semburan wanita yang benar-benar menguras emosinya sejak tadi sore.
"Minggir!" Vella melipatkan kedua tangannya, membusungkan dadanya menantang Uki. "Urusanku dengan bosmu," ucap Vella mendelik kesal pada Uki. "Bukan denganmu!"
"Lebih baik kau pulang daripada mengganggu Javas seperti wanita murahan seperti ini!" tegas Uki tidak memperdulikan perasaan dari makhluk yang berjenis kelamin wanita ini.
"Cih!" decak Vella semakin menggila karena disebut sebagai wanita murahan. Namun, ia berusaha tidak memperdulikan Uki. Ia tetap mencari celah untuk melihat Pria tampan yang terlihat sangat seksi dengan serpihan-serpihan kayu yang menempel pada kulitnya yang memiliki beberapa tato itu. "Javas! Aku sudah mentransfer 200 juta! 150 juta-nya akan kuberikan cash, Vas." Vella mendengus dengan manjanya, untuk meraih perhatian Javas.
Mendengar rengekan Vella sejak tadi, membuat Javas kehilangan sedikit konsentrasi. Ia pun dengan terpaksa mematikan mesin amplas, disambut senyum sumringah Vella yang berharap jika Javas menyudahi pekerjaannya itu.
Dengan mengambil napas panjang untuk menormalkan napasnya yang masih terengah-engah, Javas melihat ke arah Vella dengan tatapan tajam, hanya sebentar, kemudian ia memalingkan pandangannya kembali. "Jika kau ingin mengambil uangmu, ambilah!" Javas mengusap-ngusap serbuk halus yang menempel pada permukaan kayu itu, lalu ia meniup pelan pada sela-sela rongga ukirannya itu, seketika debu halus bertebrangan kesana kemari, "Siapkan uangnya, Ki. Bila perlu, 500 juta untuk mengganti ketelanjanganya selama satu jam diruang studioku."
"Ok!" sahut Uki menaikkan satu alisnya, mengejek Vella yang mulai mendengus kesal. Sepertinya dia akan menangis. Uki bergerak kesamping, membuka hadangannya pada Vella, meminta secara tersirat padanya untuk pergi dari sini.
Seketika Vella bisa melihat Javas, pria yang berkeringat seksi dengan aura penuh pesona. Membuat Vella berusaha mengembalikan logikanya jika Javas baru saja menghinanya secara tersirat.
"Kau menyebalkan, Vas!" Mata Vella meremang menahan tangis. Javas sudah menghinanya! Tapi, ia tetap tidak bergeming pada tempatnya menikmati ciptaan Tuhan yang mampu membuat hati dan pikirannya berteriak gelisah tak tentu arah. Tenang, Vel!
"Aku hanya ingin dibuatkan patung olehmu, Vas," lanjutnya dengan suara serak dan rendah.
"Kenapa harus aku?" tanya Javas. Melipatkan kedua tangannya di dada, wajah Javas sangat datar dan dingin saat melihat Vella yang matanya mulai dilapisi kaca. "Carilah pemahat lain, bayar para pemahat itu sesuai dengan kesombongan orang kaya yang kau miliki." Kata Javas dingin.
"Javas," suara Vella semakin merendah, ia tiba-tiba tahu apa kesalahannya. Dengan sedikit berdehem kaku, menormalkan suaranya yang serak ia mengatakan, "Karena kau adalah pemahat terbaik di negara ini. Aku tahu tentangmu sudah lama." Vella menatap sendu mata biru Javas yang sangat menghanyutkan itu. Bukan Javas yang menghinanya tapi, ternyata dirinyalah yang telah menghina Javas sejak tadi. "Ini pertemuan pertama kita, Vas. Mungkin kau tidak suka dengan caraku yang memaksamu seperti ini ta-tapi a-aku tidak bermaksud untuk menyombongkan apapun dihadapanmu, Vas."
Javas hanya diam, ia semakin lekat menatap mata kecoklatan pemilik tubuh yang terbilang sempurna itu. Hal inilah yang paling Javas tidak suka, karya-nya hanya dihargai dengan banyaknya uang yang mereka bayarkan. Karya-nya hanya dianggap sebagai alat bisnis tanpa memikirkan usaha dibalik pembuatannya. Mereka semua yang memesan hasil pahatannya hanya digunakan sebagai ajang gengsi dan pamer saja. Dan mereka semua terkadang tidak memperdulikan Estetika Seni yang dibuat dari hati serta perjalanan dari hasil karya itu itu sendiri.
"Maafkan aku, Vas." Vella menunduk dalam. Tanpa Javas menggurui ia benar-benar mengetahui apa kesalahannya.
"Ok!" sahut Javas, memejamkan mata dengan penuh takzim. "Masuklah kedalam!" kata Javas berlapang dada. Lalu ia membuka matanya, melihat Vella dengan tatapan sedikit melunak. Tatapan Javas yang seperti ini bagai gelombang air laut yang siap menggulung secara mesra bagi siapa saja wanita yang melihatnya.
Entah, mengapa mendapat perintah serta tatapan selembut sutra itu. Otak dan hati Vella secara refleks saling mengatakan "Iya" tanpa adanya perlawanan. Dengan langkah ringan dan hati senang Vella berbalik badan, kembali masuk ke dalam studio Javas.
Padahal Vella benar-benar ingin memaki Javas yang sudah berani menghina putri anggota Dewan Pemerintah namun saat melihat mata biru menyenangkan nan seksi ditambah suara berat Javas, membuatnya tunduk sekaligus tidak bisa bergeming dari pesona tubuh Javas yang sedang bertelanjang dada dan berkeringat itu.
Apalagi, Javas menamparnya dengan seribu kata tersirat tadi, hem!
"Penyelesaian yang sempurna," batin Uki. Jika Javas adalah dirinya, entah sudah jadi apa wanita sombong itu.
Javas menepuk bahu Uki, sebelum ia melangkahkan kaki menuju studio, "Jika kau ingin, ambilah!"
"Kesempatanmu, Vas. Kau sering melakukan ini tapi kau tidak pernah mengambil kesempatan ini--padahal para wanita itu dengan suka rela menyerahkan tubuhnya padamu. Dan lagi wanita sombong itu sudah berani menghina mu tadi," ucap Uki panjang lebar. "Tidak ingin kau beri pelajaran?"
Javas mengangkat salah satu sudut bibirnya, menyeringai dengan senyuman penuh arti, "Aku sedang malas mengurus kontrak kerja sama," ucap Javas mengedikan bahu.
"Untuk saat ini tidak ada yang lebih penting dari 'sky'. Lagipula tubuh wanita hanyalah objek keindahan yang tidak sempurna dimataku. Dan itu tidak lebih," Lanjut Javas mengelap keringat yang membanjiri dada bidangnya, lalu mengibas-ibaskan handuk untuk menghilangkan serpihan kayu yang menempel di kulitnya yang memiliki beberapa tato. "Dan rasanya pun sama saja," ucap Javas santai, memakai kaosnya dengan asal. "Benarkan? Yang jelas sensasinya sebelum itu," kekeh Javas melihat Uki yang menatapnya dengan tatapan seperti biasanya. Aneh, psiko dan jijik!
"Hish, kau ini!!" Uki menjitak kepala Javas dengan gemas, "Sekali-kali kau harus bercinta penuh perasaan dengan wanita. Kau belum pernah merasakan itu, 'kan?"
Javas mengusap kepalanya dengan menampilkan wajah cengonya. Ia mengangkat bahunya, sebagai jawaban akan ketidaktahuannya. Yang ia rasakan setiap bercinta dengan wanita. Rasanya, hanya itu-itu saja. Iya ... hanya itu-itu saja…?
"Jangan-jangan anjingmu sudah tidak perawan, Vas!" Lanjut Uki dengan tatapan menyelidik, bercanda.
"Astaga! Tuhan!" salak Javas, mengusap kepalanya. Disambut kekehan oleh para pekerjanya, "Aku tidak sehina itu, Uki!!" Javas mendelik kesal pada Uki. "Tapi, Swanna semakin lama semakin seksi saja," kekeh Javas.
Ia selalu merindukan Swanna, anjing kesayangannya yang selalu ditinggal untuk bekerja hingga larut malam seperti ini. Swanna adalah jenis anjing Alaskan Malamut, berusia 3 tahun yang memiliki bulu putih bak salju dengan warna mata sejernih lautan. Sama seperti pemiliknya.
Javas mendapatkan Swanna di tong sampah dekat pabrik-nya 3 tahun lalu. Awalnya ia tidak tahu jika Swanna adalah jenis Alaskan Malamute. Yang ia tahu, ia hanya kasihan pada anjing manis nan lucu itu jadi tanpa pikir panjang saat itu Javas mengadopsinya, menjadikan Swanna sebagian 'Number One In My Life'.
"Boleh juga jika sekali-kali aku…"
"Tuhan! Gila!" Uki menepuk punggung Javas dengan kuat.
"Ahhh, gilaaa! Sakit!" sentak Javas. Ingin sekali ia menusuk jantung Uki dengan tatah yang tergeletak di meja kerjanya. Javas mendengus, meninggalkan Uki berjalan ke arah studionya.
Yang Uki bisa lakukan hanyalah menggelengkan kepalanya dengan heran, geli dan juga merinding melihat kelakuan sahabatnya ini. Candaan Javas, kadang membuatnya tidak bisa berkata-kata lagi. Bukan karena candaan mereka tentang anjing malamut itu, hanya saja Uki tahu betul tentang penyimpangan yang dimiliki oleh sahabatnya--Javas Deniswara itu.
***
Salam
Busa Lin