"Dari mana kamu?" Suara bernada kasar menyambut kedatangan Ella.
Ella menoleh ke samping dan menemukan Ana yang menatapnya dengan kedua tangan bersidekap di depan dada. Tatapannya tak pernah bersahabat, malah terkesan bermusuhan.
Ella berusaha abai. Dia kembali melanjutkan langkah kakinya masuk, tapi lagi-lagi Ana sangat pintar memancing emosinya.
"Kerjaan keluyuran. Emang ya, kamu nggak ada guna di sini. Kenapa ayah harus membawamu kembali ke sini."
Kali ini Ella membalas tatapan Ana dengan sengit. "Kamu sepertinya sangat suka mencampuri urusan orang," sindirnya.
"Hah, tidak juga. Aku hanya tidak suka melihat benalu berkeliaran di rumah ini."
"Benalu?" Ella menatap Ana tak percaya. "Maksud kamu siapa?"
"Bagi yang merasa saja," jawab Ana acuh
Ella melangkah maju, mendekatkan jarak mereka hingga bisa berhadapan.
Sebenarnya Ella bingung kapan tepatnya hubungan mereka menjadi tak bersahabat seperti sekarang. Padahal dulu mereka layaknya saudara yang tak pernah terpisah. Ana menjadi seorang kakak penyayang dan selalu mengalah padanya.
Namun waktu memang sebuah rahasia yang tak bisa ditebak. Tak ada yang mengira bahwa lambat laun waktu membuat seseorang menjadi dewasa dan berubah, seperti Ana.
Sosok kakak yang bertransformasi menjadi musuh paling berbahaya. Ella sadar, Ana mengincar semua yang dimilikinya. Keluarga, tahta, dan cinta.
Ya, dalam masalah asmara pun, Ella kalah telak pada Ana yang berani menggoda dengan tubuhnya.
Ella mengepalkan tangannya dengan erat. Berusaha mati-matian menahan semua rasa marah di dada yang menumpuk sejak lama.
"Aku berusaha sabar. Namun sabarnya orang selalu ada batasnya. Jangan sampai aku merebut semua yang seharusnya memang menjadi milikku," ancamnya sungguh-sungguh.
Ana tertawa nyaring. Dari ekspresinya seakan meremehkan ancaman tersebut. Ana jelas sangat sadar, Ella bukanlah tandingannya. Perempuan seperti Ella hanya cocok menjadi boneka.
"Kita lihat. Siapa yang ke depannya akan kembali kehilangan," Ana maju selangkah hingga ujung kaki mereka hampir bersentuhan. Dia menunjuk Ella dengan jarinya, "aku apa kamu," lanjutnya dengan nada yang sangat menyebalkan.
"Oh, ya. Bagaimana dengan rencana kita? Apa kamu sudah mulai beraksi?" Ana sengaja menekan kata KITA, memberikan tatapan meremehkan. Jelas untuk menegaskan posisi Ella yang tak lebih dari sebuah boneka untuk melancarkan semua rencananya.
"Aku harap kamu tidak mengecewakan ayah lagi. Bagaimanapun kamu harus tahu artinya balas budi," bisiknya pelan.
Ella mendengus. Sedikit mendorong Ana yang terlalu dekat dengannya. Tatapan mereka tak pernah berubah, selalu penuh dengan permusuhan.
"Kamu tidak perlu ikut campur."
"Oh, oke." Ella mengangkat kedua tangannya, berlagak menyerah. Namun senyum mencemooh masih tertempel di wajahnya. "Aku percaya. Aku sangat menunggu kabar bahagianya."
"Dah, oh ya. Aku penasaran seperti apa wajah lelaki itu? Aku harap dia bukan lelaki tua buncit dengan wajah mengerikan. Aku bahkan tidak sanggup melihatnya saat bercinta." Ana memasang tampang jijik yang dibuat-buat.
Namun kali Ella tidak mau kalah. Dia merubah senyumnya menjadi senyum bahagia dengan wajah riangnya. "Dia jelas lelaki tampan dan sangat panas. Aku jamin sekali seleranya bukan murahan seperti kamu. Aku yang akan membuat dia bertekuk lutut padaku."
Ella menaikturunkan alisnya, memberikan tatapan menilai pada penampilan Ana, yang bermaksud menyindir.
Ana mengepalkan tangannya. Menarik napas panjang, dia menatap tajam Ella. "Kita lihat saja nanti."
Setelah mengatakan hal tersebut, Ana melenggang pergi dengan gaya angkuhnya. Langkah dan gesture tubuhnya cukup memberikan gambaran bagaimana wanita dominan yang selalu ingin menang.
Setidaknya itu yang Ella tangkap. Ella memijit kepalanya yang sedikit pening. Kali ini dia harus bertindak cepat sebelum Ana merusak semuanya.
Setidaknya dari semua hal, Ella harus memenangkan pertandingan yang ini. Tidak apa dia mengorbankan dirinya.
Ella tidak akan membiarkan Ana selalu merasa menang. Sekali-kali, Ana memang harus tahu kekuatannya.
"Ya, rencana ini harus berhasil," ujarnya penuh tekad.
***
Dave dan Zander memutuskan menghampiri apartemen Xander selepas pulang kerja.
Saat waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, yang sebenarnya waktu untuk istirahat, mereka berdua malah memainkan bel apartemen di depannya. Ralat, hanya Zander yang memainkan bel. Sedangkan Dave memilih bersandar di dinding dan melihat tingkah konyol kawannya yang tak berubah sekali.
"Shit! Sekali lagi kamu membuat keributan, aku tidak segan-segan mematahkan jarimu."
Zander segera menarik tangannya. Menyembunyikan jarinya ke dalam jasnya. Dia menatap sang kakak dengan was-was, meski senyum konyol muncul di wajahnya.
"Aku hanya memencet bel," belanya.
"Tidak usah berulang kali seperti kamu memencet tuts piano!" sentak Xander kesal.
Cengiran lebar tak luput Zander berikan. Dengan tak tahu diri, Zander menerobos masuk, melewati Xander yang sedikit bergeser karena ulahnya.
"Zander?"
"Yes, I am!"
Xander mengeram. Inilah alasannya kenapa dia lebih nyaman di sini. Salah satunya menghindar dari biang masalah, Zander.
Xander melirik ke samping di mana Dave sudah berdiri, siap masuk ke dalam.
"Kamu juga buat apa ke sini?" Xander menatapnya bingung.
Dave mengangkat kedua bahunya pelan. "Menemani orang kesendirian."
Setelahnya tanpa permisi, Dave ikut menerobos masuk ke dalam dan bergabung dengan Zander di sana
Lagi-lagi Xander harus mengumpat pelan mendapatkan tamu seperti mereka. Tak punya pilihan lain, Xander ikut masuk setelah menutup pintu apartemennya.
"Tumben banyak makanan," komentar Zander yang entah sejak kapan sudah mengambil cemilan dan buah-buahan dari lemarinya.
Meja yang tadinya penuh dengan lembar kerjaan, kini penuh dengan makanan dan beberapa botol wine yang sengaja Xander simpan. Jangan sampai Ara tahu ada wine di apartemennya. Adiknya itu selalu melarangnya minum.
Xander duduk di sebelah Zander yang masih fokus dengan makanannya.
"Sepertinya kamu ke sini hanya untuk menghabiskan makanan," sindir Xander pada adiknya.
Zander malah mengangguk, membernarkan sindiran tersebut. "Kakak tahu sendiri aku paling suka makan, apalagi gratis."
"Kenapa tidak langsung pulang saja?"
"Tidak. Lebih seru mengganggu kakak sebentar—"
Pletak.
"Aww!" Zander mengaduh saat mendapatkan jitakan di kepalanya. Siapa lagi pelakunya jika bukan sang kakak tercinta.
"Pengganggu."
Zander malah tertawa renyah. Zander sangat suka membuat orang-orang kesal dengan tingkahnya. Apalagi yang kesal adalah kakak tertuanya. Kakak dengan wajah datar.
"Kakak harusnya senang mendapatkan teman bermalam yang menyenangkan seperti aku."
"Menyenangkan bokongmu!"
Zander kembali tergelak. Dengan gerakan pelan, dia menuangkan wine ke dalam gelas-gelas kecil. Malam dingin seperti ini memang sangat cocok dengan minuman hangat. Tubuhnya sangat merindukan minuman ini.
"Sebenarnya, selain menemani kakak yang kesepian, kami ingin membicarakan sesuatu."
Xander berusaha menahan diri untuk tidak memukul kepala Zander lagi.
"Sesuatu apa?"
Zander tak menjawab. Dia memberi tanda ada Dave yang melanjutkan.
Dave yang sejak tadi menjadi penonton tingkah Zander pada kakaknya, mulai menegakkan badannya. Dia beralih pada Xander yang seakan menunggu penjelasannya.
"Ini masalah Jason."
Xander menegang. Dia menegakkan tubuhnya dan bersiap mendengarkan apa pun informasi kali ini. Sudah lama dirinya mencari lelaki itu. Beberapa tahun terakhir ini, pencariannya tak menemukan titik terang.
Lelaki itu sepertinya sangat lihai bersembunyi.
"Kamu menemukannya?"
"Belum pasti. Beberapa anak buahku hanya menemukan jejak terakhirnya sebelum kembali pindah."
"Jadi Jason sering berpindah tempat?" sela Zander yang kini memasang wajah seriusnya.
Dave mengangguk. "Jaringan mafia ayahnya memang tidak bisa dianggap remeh."
"Lalu apa lagi yang kamu temukan?" tanya Xander dengan tatapan fokus pada Dave.
"Sepertinya Daniel Han ikut andil dalam masalah kali ini."
"Daniel Han? Perusuh itu lagi?"
Dave membenarkan. "Daniel dan putrinya ikut menyembunyikan Jason."
"Tunggu, maksudmu putri Daniel Han, Ana?" sela Zander lagi.
Dave lagi-lagi mengangguk. "McKenzie Group menopang Han Group sampai berkembang pesat seperti sekarang. Jelas mereka juga ikut andil merahasiakan keberadaan Jason."
"Sepertinya kita harus memberi perhatian penuh pada pergerakan Daniel dan putrinya," putus Xander.
Dave dan Zander mengangguk paham. Orang-orang itu seperti bom waktu yang akan meledak di waktu tak terkira.
Siapa yang menyangka Daniel yang dulunya menjadi tangan kanan keluarga Hamington, berbalik arah menjadi musuh hanya karena harta.
Sebenarnya Dave ingin mengungkit putri lain Daniel. Hanya saja, urung. Belum waktunya dan tidak terlalu penting untuk saat ini.
Setidaknya sejauh ini hanya Ana yang menjadi tersangka.
To Be Continued ...