Dua hal yang membuat Ella tercengang kaget. Pertama, dia bangun di sebuah kamar yang asing. Padahal seingatnya semalam dirinya baru saja diusir dan menggelandang di jalanan sebelum tak sadarkan diri, Entah siapa yang membawanya kemari.
Kedua, senyum lebar seorang perempuan yang dilihatnya pertama kali saat membuka mata. Bila ditaksir, mungkin perempuan itu seumurannya. Ella sampai bingung bagaimana harus menanggapi sapaan perempuan itu yang kelewat ceria.
"Hai, kamu sudah sadar?"
Ella mengangguk sebagai jawabannya. Dia masih belum menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab, apalagi kerongkongannya rasanya sangat kering.
"Aku Aurora. Kamu bisa panggil aku Ara."
"Ellanor," sahut Ella tanpa menyebutkan marga keluargnya. Dia memperhatikan tingkah Ara dengan seksama.
Ara semakin tersenyum girang. Dia mendekat ke tepi ranjang Ella dan menyentuh kening Ella dengan telapak tangannya, membandingkan suhu tubuh Ella dengan suhu tubuhnya sendiri.
"Kamu udah lumayan. Tadi malam katanya kamu sempat demam. Beruntung udah turun. Penghangat ruangan juga banyak membantu. Oh, ya. Kamu harus segera makan agar bia minum obat. Aku sudah siapain semua."
Ella hanya mendengarkan Ara yang sepertinya tak mau berhenti. Ara terus saja menjelaskan keadaan dan hal-hal di sekitarnya hingga membuat Ella sedikit bingung. Tak ayal, Ella benar-benar memijit keningnya yang sedikit pusing.
"Eh, kamu pusing lagi?" pekik Ara sambil menjauhkan piring yang tadi dipegangnya. Niat ingin menyuapi, harus tertunda sesaat.
"Nggak kok," jawab Ella cepat dengan senyum tipisnya. Dia memperhatikan suasana kamar yang tampak maskulin. Ella tebak ini pasti bukan kamar Ara. Terlalu maco bila dibandingkan dengan Ara yang tampak feminism.
"Hmm ... siapa yang bawa aku kemari?"
"Kakakku." Ara menjawab sambil memyuapkan sesendok bubur pada Ella. Melihat wajah Ella yang masih penasaran, Ara pun melajutkan penjelasannya. "Tadi malam kakakku menemukan kamu di tengah badai. Oh, ya. kamu belum tahu, ya? Namanya Xander. Dia—"
"Ukhuk." Ella terbantuk hebat, kerongkongannya sampai sakit karena tersedak.
Jelas dia kaget mendengar nama penolongnya. Bagaimana dunia begitu sempit hingga mempertemukannya dengan Xander. Pria itu...
"Sorry, kamu nggak apa-apa?" Ara berubah panik melihat Ella yang tersedak. Dia mengangsurkan segelas minuman yang langsung diteguk hingga tandas.
"Thanks."
"Sorry, ya. kamu jadi kesedak,"sesal Ara sungguh-sungguh.
Ella tersenyum tipis. Belum satu jam berdua dengan Ara, sepertinya Ella belajar dengan cepat sifat perempuan itu. Jika memang Ara adalah adik dari Xander, sungguh Ella sedikit tidak percaya. Mengingat dua manusia itu memiliki sifat yang bertolak belakang. Ara terlalu ekspresif dan ramah. Beda dengan Xander yang bagaikan balok berjalan. Sangat kaku dan kejam.
"Hmm, bisa bawa aku ke kakakmu?" pinta Ella dengan wajah memohonnya. Dia harus membicarakan sesuatu pada lelaki itu sekaligus berterima kasih karena telah menolongnya..
Ara mengangguk. Dia segera membantu Ella bangun dari tidurnya dan berdiri. Mereka melangkah perlahan dengan Ara yang tak lepas menompang tubuh lemas Ella.
Sayup-sayup Ella mendengar perbincangan orang di ruang tamu. Jelas salah satunya adalah Xander karena Ella sendiri sudah lumayan hapal dengan suara lelaki itu.
Sampai pada Xander yang mengatakan kecurigaan padanya, Ella tak tahan untuk menyela pembicaraan mereka.
Dapat dilihat kedua lelaki itu tampak kaget dengan kedatangannya. Hanya sesaat, sebelum Xander kembali mendatarkan wajahnya. Lelaki itu memasnag wajah seakan tak terjadi apa-apa.
"Siapa yang harus dicurigai?" ulang Ella yang belum mendapatkan jawaban.
Ara mengelus lengan Ella bermaksud menenangkannya. "Sudah lupain. Mereka mungkin hanya asal bicara."
Sebenarnya Ella masih mau menuntut jawaban, tapi melihat cara Ara menenangkannya, mau tak mau Ella menurut. Dia mengangguk dan kembali melanjutkan langkah, mengambil posisi duduk di sofa panjang yang muat tiga orang.
Xander yang melihatnya segera menghampiri mereka, lebih tepatnya menghampiri Ara dan duduk di sampingnya. Hingga kini posisinya Ara berada di tengah.
"Thanks sudah bantuin saya tadi malem," ujar Ell setelah merasa duduknya nyaman. Dia menatap Xander yang tidak menganggapnya ada. Lelaki itu bahkan tak meliriknya sama sekali.
"Kamu lelah?" tanya Xander lembut, sambil merapikan rambut Ara yang tampak berantakan.
"Nggak kok, Kak."
"Makasih, ya. Maaf merepotkan kamu pagi-pagi seperti ini."
Ara tersenyum. Dia meraih tangan Xander dan menggenggamnya pelan, tak lupa senyuman yang selalu terpasang di wajahnya.
"Ara senang bisa bantu kakak. Apalagi Ara senang bisa berkenalan dengan Ella. Kami bisa berteman."
"No!" tolak Xander tegas. Dia menatap ngeri pada Ara dan Ella bergantian. Mana boleh adik tersayangnya berteman dengan perempuan gila seperti Ella. Bisa-bisa Ara jadi ikut gila. "Kamu nggak perlu berteman sama dia."
"Kenapa?"
"Dia gila."
"Maaf, ya. Om. Sejak tadi Om ngomongin saya seakan saya nggak ada di sini loh," celetuk Ella yang lama-lama kesal sendiri karena diabaikan.
Xander menatapanya sinis. Dia malah semakin mengeratkan pelukannya pada Ara, tetap mengabaikan Ella yang sudah mencebikkan bibirnya kesal.
"Kamu nggak perlu berteman dengan dia. Sebentar lagi dia akan pergi dan kita kembali pada kehidupan masing-masing."
"Padahal saya berniat menumpang di sini," gumam Ella yang mampu didengar semua orang di sana.
Xander langsung melotot. "Tidak!" tolaknya tegas. Bahkan suaranya sampai naik beberapa oktafyang membuat Ara berjengit kaget dalam pelukannya.
"Kak, kenapa? Kasian Ella."Ara sedikit merenggangkan pelukannya dan mendongak menatap Xander.
"Tidak, Sayang. Dia tidak bisa tinggal di sini." Xander tetap pada pendiriannya.
Zander yang sejak tadi diam, tak hentinya mencuri lirik pada Ella. Perempuan yang masih terasa asing di matanya. Melihat interaksi sang kakak dengan perempuan itu, Zander pikir dua orang itu sudah lumayan akrab.
Zander sangat kenal dengan sifat kakaknya. Hal ini semakin menguatkan praduganya pada hubungan mereka keduanya.
"Ekhem." Zander berdehem untuk menarik perhatian semua orang. "Jadi, kamu Ella?" tanyanya sambil menatap Ella dengan tatapan memindai.
Ella mengangguk. Dia balas menatap Zander yang mengamatinya lekat. Ella sampai melupakan satu lagi lelaki di ruangan ini. Bila diperhatikan mungkin lelaki itu masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Xander, mengigat pahatan wajahnya tak jauh berbeda. Sama-sama tampan.
"Kenapa tadi malam kamu bisa terjebak di tengah badai? Kamu tersesat atau?"
"Diusir," sela Ella jujur. Dia memang diusir, kan? Lebih parah lagi oleh ayahnya sendiri. Ella sedikit meringis dengan takdirnya semalam.
Ara sampai membekap mulutnya sendiri. Kaget mendengar pengakuan tersebut. Ara semakin merasa simpati pada nasib Ella yang malang.
Sedangkan Xander menegakkan duduknya, memasang tubuh seakan siap mendengarkan cerita panjang Ella. Namun sayang, Ella tampak tak ingin membahas lebih lanjut. Ella kembali bungkam dengan tatapan yang sesekali melirik sekitar, ke mana pun asal tak menatap Zander ataupun Xander.
Beruntung Zander mau paham. Zander kembali berdehem pelan,
"Jadi, kamu nggak ada tempat tinggal?" tanya Zander memastikan sekali lagi.
Lagi, Ella mengangguk. Kali ini dia melirik Xander dengan tatapan sayunya. Hal yang tak luput diperhatikan Zander dan Ara.
Ara mendongak hingga bisa bersitatap dengan sang kakak. "Kak?"
"Tidak, Ara!"tolak Xander langsung yang seakan mengerti dengan maksud tatapan adiknya itu.
"Ella diusir."
"Bukan urusan kakak."
"Dia tidak punya tempat tinggal."
"Apartemen kakak bukan panti sosial."
"Tapi, Kak. Ara sudah menganggap Ella teman Ara," bujuk Ara dengan mata mengerjap berkali-kali. Satu senjata yang tak akan mungkin ditolak oleh Xander.
Percayalah, sejak dulu Ara selalu menjadi kelemahan terbesar seorang Xander.
"Jika Ella tinggal di sini, Ara bisa sering main ke sini. Ara bisa punya teman."
"Kamu boleh berteman dengan siapapun, asal jangan dia." Xander menunjuk Ella yang sejak tadi hanya bisa mencebik dengan sikap Xander yang tak punya rasa empati.
Xander selalu saja melarang Ara berteman dengannya. Padahal menurut Ella, dirinya tidak terlalu buruk untuk dijadikan teman.
"Om ini benar-benar kejam," dumel Ella dengan sebelah tangan yang memijit kepalanya. Masih ada sisa rasa pening, apalagi tenaganya belum kembali seperti sedia kala. Ella merasa tubuhnya lemas.
"Kakak," rengek Ara yang membantu merayu Ella.
Xander menarik napas panjang mendengar dua rengekan perempuan di dekatnya. Dia menatap Zander seakan meminta bantuan, tapi adiknya itu malah mengedikkan bahu dan fokus pada cemilan di meja.
Benar-benar Zander laknat. Tidak bia berguna sedikitpun saat dibutuhkan.
"Kakak?"
"Oke oke, dia boleh tinggal di sini," putus Xander menyerah. Mana kuat dia mendengar rengekan Ara yang semakin lama malah semakin membuatnya kesal.
Ara dan Ella saling pandang dan melempar senyum senang. Kompak keduanya saling peluk erat yang membuat Xander mendengus.
"Dasar perempuan," decaknya pelan agar tak terdengar sang adik.
Sementara Zander mati-matian tawa, mengasihani kakak sulungnya yang lagi-lagi kalah dengan permintaan Ara. Sekarang ditambah lagi satu perempuan yang memiliki sifat hampir sama seperti Ara. Zander yakin hari-hari Xander ke depannya akan lebih berawarna.
To Be Continued ....