Xander benar-benar harus bersabar menghadapi kelakuan Ella. Dia sudah menduga adanya perempuan itu akan membuat hari-harinya kacau. Seperti sekarang ini.
Selesai mandi, Xander malah disuguhi dengan keadaan dapur yang berantakan. Banyak pecahan telur di mana-mana, sisa tepung bertebaran, dan kotoran lainnya. Sedangkan seseorang yang menjadi tersangka, berdiri di pojokan dengan spatula di tangannya. Ella memasang cengiran lebar, dengan wajah tak berdosanya.
"Ya Tuhan. Apa lagi ini!" Xander memijit keningnya yang tiba-tiba terasa pening melihat kekacauan yang terjadi. Semakin lama Ella di sini, sudah dipastikan apartemennya akan cepat hancur. "Apa yang kamu lakukan? Kamu mau menghancurkan dapurku, hah?"
"Tidak, Om." Ella menggeleng panic. "Aku hanya ingin membuatkan sarapan."
"Tapi dari yang aku lihat tidak begitu. Kamu malah membuat dapurku seperti kapal pecah!" seru Xander yang benar-benar merasa kesal pada perempuan satu itu.
Ella buru-buru berlari menghampiri Xander, tapi karena tak memperhatikan langkahnya, salah satu kakinya malah tersandung kakinya yang lain hingga membuat Ella terjatuh. Sialnya lagi, tangannya yang mencoba menggapai Xander untuk meminta bantuan malah tak sengaja menarik handuk yang lelaki itu pakai.
"Kyaaa!!!" teriak Ella heboh, sambil merasakan rasa sakit di lututnya, kedua tangannya berusaha menutupi matannya sendiri, menghalangi penamapakan yang tersaji di depannya.
"Fuck!" Tak beda jauh dengan Xander. Setelah mengatasi rasa trekejutnya, dia buru-buru memungut handuknya di lantai dan memasangnya kembali.
"Kamu!" Xander menunjuk Ella geram. Xander sampai kehabisan kata-kata untuk mengatai Ella. Sepagi ini dan perempuan itu sukses membuatnya emosi.
"Maaf, Om. Saya nggak sengaja," ujar Ella dengan suara terbata. Dia masih setia menuduk dengan mata yang tertutup rapat. Belum berani membalas tatapan Xander yang seakan melasernya, terlalu tajam.
Xander sudah bersidekap dan memperhatikan Ella dengan tajam. Mulutnya benar-benar gatal untuk membentak atau memarahi perempuan itu, tapi mengingat peringatan Ara, mau tak mau Xander harus banyak menahan diri. Jangan sampai Ella mengadu yang tidak-tidak pada Ara dan membuat adiknya itu ngambek.
Sebagai gantinya, Xander hanya mendesis kesal dan segera berbalik pergi. Biarlah masalah dapur menjadi urusan Ella saja. Dirinya butuh waktu untuk menenangkan pikirannya sekaligus meredamkan emosi di pagi hari.
Xander sepertinya akan cepat mati muda jika menghabiskan waktu lebih lama di ruang yang sama dengan Ella. Perempuan itu benar-benar biang onar.
Melihat Xander yang sudah hilang dari pandangannya. Ella segera menarik napas dalam-dalam. Dia benar-benar kaget dengan kejadian tadi. Ella tak sengaja menarik handuk lelaki itu, beruntung Xander masih memakai boxer untuk menutupi aset pribadinya. Jika tidak, sudah dipastikan tatapan Ella akan ternoda. Seumur-umur Ella belum pernah melihat hal intim lelaki.
"Syukurlah," desahnya lega. Dia mengusap titik peluh yang berada di keningnya karena terjebak di situasi menegangkan tadi.
Ella segera berdiri dan berbalik menatap keadaan dapur yang berantakan. Hasil kreasinya yang gagal total. Niat hati ingin menyiapkan sarapan untuk mereka, malah membuat semuanya berantakan.
Ella akui dirinya sangat payah dalam urusan rumah, apalagi dapur. Namun jika tidak melakukan hal berguna, sudah dipastikan Xander akan mudah menendangnya dari sini.
Ella harus bertahan. Ini langkah yang harus diambilnya untuk meraih keberhasilan di masa depan. Dia juga masih memiliki banyak tugas untuk ke depannya selama di sini. Tinggal bersama Xander dapat memudahkan semua rencananya. Meski Ella sendiri bingung, apakah rencananya masih berguna atau tidak, mengingat dirinya lagi-lagi dibuang dan tak dianggap.
Tanpa sadar tangannya mengepal. Dia berjanji akan kembali merebut posisinya. Membalas Ana yang sudah merebut haknya dan mengambil ayah satu-satunya, Meski selama ini pun, sang ayah seakan enggan mengakuinya sebagai anak. Namun Ella tak bisa membenci lelaki itu. dia tetap berharap suatu saat Daniel Han akan mengakuinya sebagai seorang putri kesayangannya. Ella akan membuktikan bahwa dirinya cukup membanggakan.
"Kamu sedang apa?" tegur Xander yang membuat Ella berjengit kaget. Ella sampai harus mengelus dadanya berkali-kali untuk meredakan kekagetannya. Dia menatap Xander yang sudah tampak rapi dengan setelan kerjanya.
Xander menghampiri Ella dengan langkah tegapnya. Dia memperhatikan keadaan dapur yang sama sekali tak berubah. Xander menghela napas panjang. Dia mulai lelah.
"Kita makan di luar," putusnya.
"Kita?" ulang Ella memastikan sambil menunjuk dirinya sendiri. Ella pikir dirinya salah dengar.
Xander manatapnya aneh, "Kamu tidak mau makan? Ya sudah." Xander segera berlalu dari sana, meninggalkan Ella yang tampak tak percaya.
'Xander mengajaknya?'
Ella tersadar saat mendengar pintu apartemen yang terbuka. "Om, tunggu!" teriaknya dan segera menyusul kepergian Xander.
Langkahnya dibuat secepat mungkin mengingat Xander yang tak akan mungkin menunggunya. Lelaki itu sering sekali meninggalkannya seperti saat ini. Meski ini juga salah Ella sendiri yang terlalu banyak melamun.
***
Ana duduk dengan tenang di ruang tunggu. Penampilannya tampak rapi dan berkelas dengan rambut yang dibiarkan tergerai panjang. Sedangkan dua kancing kemejanya dibuat terbuka dan memperhatikan sesuatu yang tampak menantang dibalik sana.
Sesekali dia melirik jam di tangannya. Sudah lima belas menit dia menunggu di sini untuk bertemu dengan Xander. Meski belum memiliki janji, Ana dengan mudah bia merayu resepsionis di depan agar memperbolehkannya masuk ke ruang pribadi Xander. Jelas hal itu tidaklah murah.
Setelah sedikit bersabar lagi, suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatiannya. Ana tersenyum lebar, tapi langsung surut saat melihat siapa yang mengekor di belakang Xander, Ella, perempuan itu.
Dengan langkah pasti, Ana menghampiri Xander yang tampak terkejut mendapati keberadaannya.
"Halo, selamat pagi," sapa Ana dengan suara seksinya.
"Sedang apa kamu di sini?"
"Aku hanya ingin bertemu dengan kamu." Ana sudah berhadapan dengan Xander, jaraknya sangat intim yang membuat Xander seakan tak nyaman. Lewat ekor matanya, Ana juga melirik ekspresi Ella yang tampak menahan kesal. Dengan berani, Ara mengulurkan tangannya, bermaksud membelai pipi Xander, tapi belum menyentuh tangannya sudah ditepi kasar.
"Jaga perilakumu!" desis Xander dengan suara beratnya. Xander bahkan mendorong Ana dengan sedikit kasar hingga membuat perempuan itu terhuyung ke belakang. Beruntung Ana bia menyeimbangkan badannya kembali.
"Kamu kasar!" sentak Ana dengan wajah memerahnya.
"Saya kasar pada orang yang tak tahu diri sepertimu," balas Xander enteng. Xander menoleh ke samping, tepat di mana Ella yang berdiri memperhatikan semuanya. "Ella, kamu bawa wanita ini keluar. Dan jangan biarkan masuk lagi!" suruhnya.
"Ah? Ok—oke," jawab Ella sedikit tergagap.
Ella segera menghampiri Ana. Ada senyum mencemooh yang dilemparkannya pada sang kakak.
"Mari pergi, Nona," kata Ella dengan nada yang dibuat sehalus mungkin, sengaja mengejek Ana.
"Saya bisa keluar sendiri!" Ana menepis sentuhan Ella di lengannya. Ditatapannya Ella dengan penuh permusuhan sebelum berbalik menatap Xander dengan geram. "Aku bakal balik lagi!"
Setelah mengatakan hal tersebut, Ana menghentakkan kakinya dan berlalu pergi dari sana. wajahnya yang merah perpaduan marah dan lau karena perlakukan Xander yang belum saja melunak padanya.
Padahal sudah beberapa kali Ana gencar melancarkan aksinya mendekati lelaki itu. Mulai dari yang sederhana sampai yang terkesan berani. Namun tetap saja, belum membuahkan hasil apa pun. Xander bukan lelaki yang mudah dijangkaunya.
Setelah menyisakan mereka berdua di ruangan itu, Ella tak menahan diri lagi. Tawanya pecah melihat wajah Ana yang diusir oleh Xander. Sungguh lucu melihat ekspresi sang kakak yang biasanya selalu tampak pongah.
"Kenapa tertawa?" tanya Xander, menatap Ella dengan penasaran.
"Ups." Ella menghentikan tawanya seketika. Memasang wajah polos dengan mata yang mengerjap berkali-kali. Dia lupa dengan keberadaan Xander.
"Kenapa?" ulang Xander yang belum mendapatkan jawaban.
Ella menggeleng kuat-kuat. "Hanya merasa lucu."
"Lucu?"
"Iya. Secantik itu Om tolak. Saya jadi mikir Om nggak tertarik pada wanita, ups!" Ella lagi-lagi membekap mulutnya yang sudah melantur ke mana-mana.
Dia melangkah mundur saat melihat Xander yang melangkah pelan menghampirinya. Apalagi melihat tatapan lelaki itu yang seakan ingin memakannya, membuat Ella bergidik takut.
"Om? Jangan maju terus, saya jadi mundur nih."
"Kenapa kamu harus mundur? Kenapa tidak maju saja?" tantang Xander dengan senyum smirk-nya.
Ella semakin mengggeleng takut. Dia memperhatikan sekitar, gawat, tidak ada celah untuk lari.
Xander semakin tersenyum miring melihat ketakutan di mata Ella. Rasanya sesekali memang perlu mengusili perempuan pembuat onar tersebut.
"Kamu bilang saya tidak tertarik pada perempuan? Apa perlu saya buktikan?" bisik Xander yang tahu-tahu sudah sangat dekat dengan Ella. Bahkan wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajah Ella.
Ella berusaha memundurkan wajahnya, tapi sebelum hal itu terwujud, benda kenyal sudah menyentuh bagian terlembab di wajahnya. Ella melotot.
Persendian ototnya langsung mati rasa. Ellah bahkan tak memiliki tenaga untuk mendorong Xander menjauh. Yang dilakukan hanya melotot dengan tubuh tegang.
Sementara Xander yang niat awalnya ingin menjahili, malah terbuai dengan rasa manis bibir yang dicecapnya. Tanpa sadar, tangannya sudah melingkar dan menarik tubuh ramping itu mendekat. Memaksa ciuman yang semakin dalam dan membuatnya ketagihan. Saat ini, Xander benar-benar melupakan otaknya.
To Be Continued ...