"Ella, keluar!"
"Ella!"
"Ella!"
Daniel Han berkali-kali mengendor pintu kamar putrinya, tapi belum ada tanda-tanda pintu akan terbuka.
Ana yang berada di samping sang ayah, hanya bisa bersidekap dengan tatapan lurus pada pintu. Dirinya benar-benar tidak sabar melihat Ella yang lagi-lagi akan dihukum oleh sang ayah.
Ana tersenyum sinis. Tidak ada yang boleh lebih unggul darinya, atau bersiap mendapatkan ganjarannya.
"Ayah, sepertinya Ella tidak ada di dalam," ujarnya lembut sambil memegang bahu sang ayah.
Daniel Han menoleh dan tampak berpikir sejenak. "Ke mana anak pembawa sial itu?" geramnya yang sejak tadi ditahan. Kepalan tangannya sangat erat bersamaan dengan helaan napas kasar.
"Mungkin Ella masih berusaha mendekati Xander, Ayah." Sengaja Ana semakin mengancing emosi sang ayah.
"Padahal Ayah sudah bilang agar Ella mundur. Ayah juga tidak yakin Ella bisa berhasil." Terdengar dengusan kasar dari Daniel Han. Emosinya benar-benar diuji kali ini.
Sejak dirinya memberi tahu agar Ella mundur, perempuan itu malah keras kepala dan tetap menjalankan apa yang diinginkannya. Tidak tahu saja, bahwa rencana ini bukan hanya menyangkut satu dua orang, tapi banyak orang yang berada di belakang, sebagai bayangan yang nantinya muncul di waktu yang sudah ditentukan.
Daniel ingin sekali memaki Ella meski perempuan itu adalah putri kandungnya. Toh, sejak dulu memang tidak ada yang membanggakan dari Ella.
"Ayah, lebih baik kita ke ruang tamu. Kita duduk dulu. Ayah pasti lelah," nasehat Ana yang langsung dituruti tanpa bantahan.
Dengan dibantu Ana, Daniel berjalan pelan menuju ruang tamu. Setibanya di sana, dia langsung mendudukkan diri dan bersandar. Matanya terpejam dengan sesekali memijit kepalanya yang serasa ingin pecah.
"Ayah, apa tidak sebaiknya kita kembalikan Ella ke Kobe? Atau kita kasih saja ke rumah Eyang di Yogya?" usul Ana dengan sesekali membantu memijit lengan Daniel Han.
Masalah Kobe adalah tempat pengasingan Ella selama ini. Sengaja Daniel Han menempatkan Ella di sana ketimbang di Indonesia. Karena keluarga istrinya jelas akan murka padanya bila tahu cucu kesayangannya dibuang-buang seperti itu. Daniel hanya tidak ingin menambah masalah di suatu hari kelak.
"Eyang Putrimu akan marah jika Ella mengadu yang tidak-tidak," sela Daniel yang jelas tidak setuju dengan usul tersebut.
Namun Ana tidak mudah menyerah. Dia masih berusaha merayu Daniel Han agar segera menyingkirkan Ella secepatnya. Meski Ella hari ini tidak bahaya, tidak ada yang menjamin esok Ella akan tetap seperti kucing jinak yang penurut. Jangan lupakan, kucing bisa menjadi singa yang berbahaya suatu hari nanti.
Ana harus waspada mulai saat ini. Apalagi mereka kini berada di arena yang sama. Sama-sama berjuang mendekati Xander
Mungkin sekali mendayung, dua pulau terlampaui. Atau sambil berenang, minum air.
Itu yang Ana pikirkan sejak bertemu dengan Xander. Hot man. Panas dan menggoda.
Selain karena rencana keluarganya, rasanya tidak buruk juga jatuh dalam pelukan pria seperti Xander. Ana rasa Xander adalah belahan jiwanya yang selama ini dia cari.
Ana tersenyum miring mengingat lelaki itu. Rasa suka dan tertariknya semakin besar. Dia harus segera mengambil tindakan atau dirinya akan kalah dan dilangkahi Ella.
Baru saja Ana akan melanjutkan diskusinya dengan sang ayah, suara langkah kaki yang mendekat membuat perhatian mereka teralihkan.
Di sana sudah tampak Ella yang berjalan gontai tanpa tenaga. Wajah perempuan itu kuyu dan tampak dirundung banyak masalah.
Namun Daniel Han bukan salah satu ayah yang akan merecoki hal tersebut. Bahkan ekspresi apa pun yang Ella berikan tidak akan menganggu perasaannya.
Daniel Han malah buru-buru bangkit dan menghampiri Ella yang mematung di tempatnya. Rasa terkejut belum sirna hingga sebuah tamparan keras bersarang di pipinya selama beberapa detik.
Plak
Bukan cuma Ella yang syok. Ana sampai menutup mulutnya yang menganga melihat kejadian itu. Meski dalam hatinya jelas tersenyum senang.
"Ayah?" lirih Ella seakan tak mempercayai apa yang tadi dilakukan ayahnya.
Ella tidak akan kaget bila sang ayah suka membentak dan merendahkannya. Namun tidak dengan tindakan fisik seperti ini. Ini pertanda kali dirinya ditampar. Bukan hanya pipinya yang memanas, hatinya pun merasa demikian. Ella mengusap pipinya dengan tatapan nanar pada sang ayah.
"Dasar anak kurang ajar! Saya sudah bilang kamu berhenti menjalankan misi ini. Tapi kenapa kamu masih keras kepala!" sentak Daniel dengan segala kemarahannya.
"Tapi, Ayah. Ayah yang pertama kali menyuruh Ella menjalankan misi ini. Kenapa sekarang malah Ayah yang mencegahnya?"
"Karena sudah ada yang lebih bisa dipercaya."
"Siapa? Ana? Iya, kan?" todong Ella langsung. Nadanya mulai naik tanpa bisa dicegah. Jelas dia sangat kecewa dengan keputusan mendadak ini. Lagi-lagi dirinya dipaksa mengalah.
Senyum miring sang ayah cukup menjadi jawaban.
Lagi, Ella merasa terasingkan. Dirinya kembali diinjak seperti sampah yang tak punya nilai apa pun. Parahnya ini dilakukan oleh keluarganya sendiri.
"Ayah tidak pernah percaya dengan kemampuan Ella, kan?" Ella seakan bertanya pada dirinya sendiri.
Namun Daniel yang mendengarnya, tertawa kosong. "Beri saya alasan kenapa harus percaya pada kamu? Mengingat sejak dulu kamu hanya menjadi pajangan yang tak sedikitpun membanggakan keluarga. Harusnya saat itu kamu yang pergi, bukan istri saya."
"Istri ayah itu adalah Ibu aku. Aku sayang sama ibu."
"Bohong! Kamu tidak akan mungkin membunuhnya jika kamu sayang dia!" sela Daniel yang sudah tersulut emosi lagi
Ella menggeleng pelan. Merasa kalah berdebat dengan ayahnya yang selalu memandang semuanya dari permukaan saja.
Mana ada Ella yang membunuh ibunya sendiri. Semua hanya kesalahpahaman. Atau sebuah kenyataan yang ditampik sang ayah.
Dulu Ella bisa terima disalahkan. Dia pikir cinta ayahnya yang terlaku besar membuat Daniel terpuruk dan butuh waktu menerima semuanya. Namun salah.
Semakin berlalu waktu, persepsi itu tak berubah. Malah semakin ditambah dengan sumbu api yang membuat semua terbakar, terutama Ella di dalamnya.
Menjadi kambing hitam atas apa yang dilakukan takdir
"Minggu depan kamu saya kembalikan ke Kobe."
Ucapan sang ayah membuat Ella mendongak. Dia kembali terkejut dengan mata melotot lebar. Kembali ke Kobe artinya kembali diasingkan.
"Tidak!" tolak Ella tegas. Kali ini dirinya tidak mau lagi mengalah.
"Ella tidak akan pergi ke mana-mana. Di sini rumah Ella, di sini keluarga Ella!"
"Keluarga mana yang kamu maksud?" Daniel tertawa sumbang, "tidak ada keluarga kamu di sini. Saya saja tidak sudi menganggap kamu anak. Sayang kita masih terikat surat keluarga." Ada nada mencemooh yang Daniel lontarkan.
Kalimat yang seakan menambah garam pada lukanya yang menganga. Ella menatap ayahnya dengan tatapan tak percaya.
Namun melihat raut keras sang ayah dan bagaimana Ana yang memasang senyum mengejek, membuat Ella paham satu hal.
Dirinya memang tak dianggap dalam keluarganya sendiri.
Dengan menarik napas panjang, Ella memberanikan diri menatap kedua mata sang ayah, mungkin untuk terakhir kalinya
"Ayah tidak perlu mengusir Ella ke Kobe, terlalu buang waktu dan tenaga kan? Ella akan pergi sendiri dari sini."
"Bagus. Kamu segera angkat kaki dan jangan kembali." Daniel Han menanggapi dengan santai. Seakan hal itulah yang diinginkannya sejak lama.
Ella tersenyum kecut mendengarnya. Namun dia mengangguk lemah. "Baik. Ayah juga bisa coret Ella dari kartu keluarga. Agar semuanya jelas. Ella memang sejak awal tidak pernah berada di lingkaran keluarga yang sama di sini."
Daniel tak menjawab. Tapi tatapannya yang tajam seakan sudah cukup menjadi alasan Ella untuk segera pergi
Sebelumnya Ella menatap Ana yang tak jauh dari sana. Tatapan yang penuh rasa iri dan juga emosi
Sedangkan Ana membalasnya dengan santai. Bahkan ada senyum miring yang disematkan kala itu sebelum Ella benar-benar angkat kaki dari mansion keluarganya.
Ah, bukan lagi. Mantan keluarga, koreksinya dalam hati.
Malam ini Ella tak tahu harus ke mana. Dirinya tidak memiliki uang yang cukup. Hanya ada beberapa ribu dolar di dalam tas. Sedangkan Ella sengaja tidak membawa sepotong baju pun. Rasanya baju-baju itu bukan miliknya lagi karena dibeli dari uang sang ayah.
Ella memutuskan pergi dengan tangan kosong. Hanya tas, dompet, dan ponsel yang dibawanya sejak tadi.
Melewati pekatnya malam sendirian dengan salju yang tak mau berhenti merupakan pengalaman tersendiri baginya. Ini pengalaman pertamanya berada di tengah salju tanpa tujuan yang jelas.
Badannya sudah gemetar dengan gigi yang bergelatuk menahan dingin.
Ella merapatkan jaketnya. Namun dingin yang menusuk kulitnya tajam tetap terasa.
Beberapa kali Ella menatap sekitar. Mencari taksi yang mungkin bisa membawanya pergi.
Namun salju yang turun semakin deras menjadi tanda badai akan datang setelah ini.
Ella semakin bingung. Dia hanya mampu melangkah terus membelah malam.
Hingga di menit keberapa, saat kakinya sudah tak mampu melangkah, tubuhnya yang sudah menggigil kedinginan membuatnya tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri.
Bruk
Ella terjatuh di atas salju yang tebal. Bukannya lekas berdiri, dia malah meringkik di atas salju dengan tangan yang memeluk tubuhnya sendiri. Bibirnya sudah sangat pucat dengan gemelatuk gigi yang terdengar.
Ella pikir ini waktunya menyusul ibunya pergi. Mungkin besok akan ditemukan mayat karena hipotermia di bawah badai salju.
Ella sudah pasrah dan lelah. Dia membiarkan tatapannya yang berat tertutup.
Hal terakhir yang diingatnya adalah sebuah cahaya terang yang terasa sangat dekat dengannya. Sebelum semua menjadi hitam
Ella tak sadar diri.
TO BE CONTINUED ....