"Maaf, Sir. Di luar ada ta—"
"Selamat siang!" potong Ana sebelum sekertaris menyelesaikan ucapannya.
Xander yang sejak tadi memeriksa berkasnya, mendongak dan menemukan dua wanita berdiri di depannya. Xander memberikan instruksi agar sang sekertaris pergi, setelahnya menatap satu wanita asing di depannya.
Xander hanya mengangkat sebelah alisnya, enggan bertanya lebih dahulu.
"Saya Anabelle Westbrook. Perwakilan Han Group." Ana memperkenalkan diri sembari melangkah semakin dekat, dan duduk di kursi depan Xander. Langkahnya dibuat seanggun mungkin.
Xander masih belum mengerti dengan kedatangan wanita itu. Seingatnya, perusahaannya tidak menjalani kerja sama dengan Han Groups. Apalagi perusahaan yang memiliki tinta hitam itu
Xander masih waras untuk mempertaruhkan masa depan perusahaannya.
"Untuk apa Anda ke sini? Karena seingat saya, perusahaan kita tidak saling bekerjasama."
"Justru itu, saya menawarkan kerja sama. Bagaimana?" Ana memainkan alisnya naik turun. Memberikan tatapan angkuh dan tertarik secara bersamaan.
Sebenarnya ini bukan rencana Ana sebelumnya. Hanya saja, rasa penasaran tentang pemegang Petrov Groups, jelas mengusiknya. Apalagi tentang rumor anak sulung Adam ini.
Pikiran Ana tentang pria jelek, tua dekil, buncit, dan hitam jelas hilang seketika.
Nyatanya pria di depannya termasuk hot guy yang pernah Ana temui. Harus Ana akui, Jason pun lewat dengan pesona dan karismatik Xander William.
"Saya tidak tertarik."
Suara berat Xander menyentak Ana dari lamunannya. Bukannya tersinggung, Ana malah memasang senyum lebar hingga kedua matanya tengelam.
"Kenapa?" tanyanya dengan badan yang sengaja dibungkukkan. Memperlihatkan sesuatu yang sengaja dibiarkan menyembul di belahan gaunnya.
Xander mendengus. Dia membuang tatapan ke samping untuk menutupi raut kesalnya. Wanita itu jelas-jelas berusaha menggodanya, yang malah terkesan menjijikkan. Setelah beberapa saat, barulah dia kembali menatap Ana dengan tenang dan datar.
Sekali lihat, Xander sudah dapat menilai seperti apa wanita di depannya ini. Ambisius, angkuh, dan agresif. Tipe wanita dominan yang suka mengendalikan. Namun sayang, Xander pikir wanita itu salah mencari lawan
"Saya tidak tertarik bekerja sama dengan perusahaan yang tidak membawa keuntungan," Xander mengatakannya dengan tegas.
Ana tersenyum miring. Dia mengetuk meja di depannya dengan jari-jari lentik yang sudah diwarnai dengan indah. "Tidak memberi keuntungan, ya?" ulang Ana seakan tengah berpikir.
Lantas Ana beranjak dari kursinya. Memutari meja hingga tiba di samping Xander yang menatap semua tingkahnya. Ana melarikan jarinya di pahatan sempurna wajah di depannya. Meraba ketampanan yang belum pernah di lihatnya.
Ana menunduk, mendekatkan bibirnya di tepi telinga Xander dan berbisik sensual. "Bagaimana jika aku menjadi keuntungan kerja sama kali ini. Kamu bisa menggunakan aku kapanpun dan di manapun."
Brak.
Tanpa belas kasihan, Xander mendorong Ana hingga wanita itu jatuh tersungkur ke lantai.
"Cukup sudah! Seorang jalang memang selamanya akan menjadi jalang!" geram Xander.
Xander membenarkan jasnya sambil berdiri, mengambil tisu dan menghapus jejak Ana di wajahnya tadi dengan ekspresi jijik.
Ana bangun. Meski bokongnya terasa nyeri, dia cukup pandai juga untuk menyembunyikan rasa sakitnya.
Ana malah menatap Xander dengan tatapan menantang. Mencemooh sikap Xander yang terlalu munafik.
"Kita lihat, siapa yang akan bertekuk lutut setelah ini," ujarnya.
Xander hanya melirik Ana sekilas sebelum memanggil satpam dari teleponnya.
"Bawa wanita ini keluar!" titahnya tanpa basa-basi.
Ana melotot. Dia menatap Xander dengan marah dan malu sekaligus.
"Berhenti. Saya bisa keluar sendiri!" sentak Ana yang menolak sentuhan dari petugas keamanan.
Ana menatap Xander dengan tajam. "Kita lihat nanti!"
Setelah mengatakannya, Ana melenggang pergi. Menghentakkan kakinya pertanda kekesalan yang memuncak.
Tiba di luar gedung, Ana meraih ponselnya. Dia mendiall sebuah nomer hingga panggilan terhubung tak lama kemudian.
"Ayah, aku mau rencana diubah. Biar aku yang menjalankannya," ujarnya to the point.
"Kenapa?"
"Aku berubah pikiran. Aku merasa tertarik dengan pria itu."
"Jangan bermain dengan perasaan, Ana! Ayah tidak ingin kamu patah hati."
Ana menggeleng, meski Daniel tidak bisa melihatnya. "Ayah tenang saja. Aku akan buat dia bertekuk lutut. Ayah percaya sama Ana."
Terdengar helaan napas panjang di seberang sana. Sebelum Ana mendengar nada menyerah sang ayah.
Ana mematikan panggilannya dengan senyum lebar. Dia menggenggam handphone dengan lebih erat.
"Aku tidak akan membiarkan kamu jatuh di tangan Ella," tekadnya.
***
Sore ini Ella berada di sebuah restoran mini dekat dengan perusahaan ayahnya. Sebenarnya dia baru pertama kali kemari, jelas tanpa ada yang tahu.
Ella memiliki janji dengan seorang temannya. Ella butuh beberapa informasi yang harus segera di dapatkannya secepat mungkin.
"Hey, sudah lama?"
Ella menoleh. Dia memberikan senyum lebar dan segera mempersilahkan pria itu duduk.
"Baru datang kok," jawab Ella jujur. Dirinya memang baru sepuluh menit duduk di sini.
Lelaki itu mengangguk dengan senyum manisnya.
Martin Romeo. Sebut Ella jahat karena sudah memanfaatkan lelaki baik seperti Martin. Ella jelas sangat sadar bahwa Martin mencintai sejak dulu.
Itulah kenapa Martin menjadi satu-satunya orang yang bersedih atas pengusirannya dulu. Berbelas tahun diungsikan ke tempat yang jauh tanpa ada sanak saudara. Dan kini Ella kembali berkumpul dengan keluarganya hanya untuk menjadi sebuah boneka.
Ella tersenyum miris. Harusnya dia ikut mati saat kecelakaan dulu.
Kembali pada Martin. Ella menatap teman kecilnya itu dengan kagum. Sejak dulu, gen tampan memang tak pernah hilang pada keluarga Romeo.
Tidak kakak atau adiknya, Ella akui Martin cukup tampan. Sayang, perasaannya hanya cukup sebagai sahabat bagi lelaki itu.
"Bagaimana?" tanya Ella setelah puas menilai penampilan Martin.
Martin membuka tas kerjanya dan mengeluarkan sebuah map cokelat.
"Di sana sudah aku kasih beberapa informasi tentang Xander William dan beberapa skandalnya. Beberapa kali kencan buta yang berakhir gagal. Dari yang aku dengar, dia penganut BDSM."
"What?" pekik Ella dengan suara nyaring.
Martin menegur Ella lewat tatapannya. Dia menatap sekitar yang sedikit terganggu dengan teriakan Ella tadi.
"Tenang!" ujarnya.
Ella memasang cengiran gugup. "Oke, aku tenang. Sorry, tadi kelepasan," kata Ella dengan raut bersalahnya.
"Tidak masalah. Kamu pasti terkejut dengan berita itu." Martin menganggukkan kepalanya paham. Kemudian dia kembali melanjutkan penjelasannya.
"Sementara ini, itu hanya rumor. Belum ada bukti apakah rumor itu benar atau hanya sebuah alasan menolak wanita."
"Apa aku harus membuktikannya?" gumam Ella lebih pada diri sendiri.
Namun Martin jelas mendengarnya dengan jelas. Lelaki itu menatap Ella seakan perempuan itu adalah makhluk astral yang aneh
"Jangan gila!"
"Aku tidak gila," bantah Ella kesal
"Perempuan waras mana yang mau mencoba BDSM!" sentak Martin marah.
Bagaimana tidak marah bila perempuan yang dicintainya malah membahayakan dirinya sendiri. Sudah cukup melihat Ella yang sekarang berambisi pada pria lain. Martin benar-benar merasa diuji rasa cintanya.
"Aku hanya bergumam, belum melakukan," elak Ella tanpa mau disalahkan.
Martin memijit kepalanya yang pening. Perempuan ini ... Terlalu menguras tenaga dan perasaannya.
"Ella, berhenti saja, ya. Kamu cukup tinggalkan keluarga kamu dan lari ke aku. Jika kamu tidak mendapatkan cinta dari mereka, ada aku dengan cinta yang melimpah. Aku akan menghujani kamu dengan perasaan cinta setiap waktu." Martin dengan berani meraih tangan Ella di atas meja. Digenggamnya tangan mungil dan mulus itu dengan erat. Seakan menegaskan bahwa perasaannya tak main-main.
Namun, Ella menggeleng lemah. Ella menarik tangannya dari genggaman tersebut dan menyembunyikan di bawah meja. Tatapannya sendu pada pria yang sangat tulus mencintainya.
"Aku nggak bisa. Ini satu-satunya cara agar Ayah mengakui aku. Aku tidak bisa selamanya dianggap tidak ada. Aku butuh pengakuan. Dan ini adalah jalan salah satunya," kata Ella dengan tegas.
"Tap—"
"Cukup, Martin!" sela Ella sambil mengangkat sebelah tangannya ke udara. "Aku tahu kamu berniat baik. Hanya saja, aku yang tidak mau berhenti. Sebelumnya terima kasih atas bantuannya. Aku akan baca informasi ini dengan teliti."
Setelah mengatakan hal tersebut, Ella meraih map cokelat dan tasnya kemudian pergi dari sana. Ella tak menoleh lagi. Membiarkan Martin yang menatapnya penuh kesedihan.
"Semoga kamu baik-baik saja," lirih Matin yang jelas tidak akan didengar Ella.
To Be Continued ....