Sebenarnya pulang larut bukan hal yang aneh bagi Xander. Namun pulang dalam keadaan sedikit mabuk dan hampir menabrak seseorang yang tertidur di tengah jalan adalah peristiwa yang sangat aneh, bahkan mendekati gila. Xander bahkan berkali-kali mengerjapkan matanya, berusaha mencari sisa kesadarannya. Bisa saja dia salah lihat.
"Shit!" Xander mengumpat dengan keras.
Berusaha mengumpulkan sisa kesadaran, Xander turun dari mobilnya. Beruntung dia masih memiliki toleransi tinggi terhadap alkohol. Dia tidak sampai teler untuk mengendarai mobilnya pulang.
Entah orang gila mana yang tertidur di tengah jalan disaat salju sederas ini. Mungkin setengah jam lagi, tubuh itu akan membeku dan mati karena hepotermia.
Xander mendekat. Saat tiba di dekatnya, dia berjongkok dan menyibak helaian rambut yang menutupi wajah perempuan itu
"Double shit!"
Entah itu hanya hayalan saja atau memang kenyataan. Perempuan yang tertidur adalah perempuan yang sama yang selalu merecoki hari-harinya.
Xander bimbang. Dirinya berada di antara mau menolong atau membiarkan saja.
Namun melihat kondisi perempuan itu yang tampak lemas dan tidak baik-baik saja, membuatnya mau tak mau mengalah.
Xander menghembuskan napas panjang hingga uap udara keluar dari mulutnya. Dia segera membopong Ella ke dalam pelukannya dan membawanya masuk ke dalam mobil.
Diletakkannya tubuh ringkih itu dengan hati-hati di kursi belakang. Xander bahkan membenarkan posisi perempuan itu agar nyaman. Setelahnya dia berputar dan masuk ke kursi kemudi. Melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, bagaimanapun dia harus tetap hati-hati mengingat salju yang deras rawan membuat mobil tergelincir.
Setengah jam waktu yang dibutuhkan hingga tiba di apartemennya. Xander membawa Ella dalam pelukannya masuk ke dalam. Tadi diperjalanan pun Xander sudah menghubungi kawannya yang seorang dokter untuk datang ke sana.
Beruntung tanpa menunggu waktu lama, Andrian datang dengan wajah kesal. Siapa yang tidak kesal dihubungi tengah malam saat tengah bercumbu dengan istri tercinta.
"Lain kali liat waktu jika minta tolong," dumel Andrian yang sudah masuk dengan tas alat medisnya.
"Sayangnya tidak ada orang sakit liat waktu," balas Xander sengit. Dia segera menggiring Andrian masuk ke dalam kamarnya di mana Ella berbaring.
"Wow, Dude. Kamu membawa perempuan belia ke kamarmu? Jangan-jangan ...."
"Shut up! Lebih baik kamu cepat periksa dia segera."
Andrian menurut. Dengan hati-hati dia memeriksa Ella mulai dari suhu tubuh, hingga badan lainnya. Andrian juga jelas menangkap sisa bekas jari di pipi mulusnya.
"Dia mendapatkan kekerasan fisik?" gumam Andrian yang sedikit menyentuh bekas di pipi Ella.
"Yah, seperti duganaaku tadi. Dia baru mendapatkan tamparan."
"Bukan kamu kan pelakunya?" tanya Andrian dengan mata yang memicing curiga.
Xander mendelik tanpa menjawab. Itu sudah cukup menjadi jawaban agar kawannya diam dan melanjutkan sesi pengobatannya.
"Aku sudah memberi beberapa obat. Kamu berikan pada dia setelah bangun. Dan jaga suhu udara sekitar. Lebih baik penghangat ruangan di stel saja."
"Hmm."
"Oh ya. Kalo suhu badannya belum stabil, lebih baik bawa dia ke rumah sakit."
"Hmm." Lagi Xander hanya menjawab dengan dehemen. Konsentrasinya fokus pada tubuh Ella yang berbaring di ranjangnya.
Xander baru tersadar setelah mendapat tepukan di bahunya. Siapa lagi pelakunya bila bukan Andrian.
"Perempuan tak berdaya di tengah suhu udara dingin memang sangat menggoda," ujarnya dengan kerliangan mata.
Xander melotot dan mendorong tubuh Andrian menjauh.
"Sialan. Aku tidak semesum dirimu!"
Andrian tertawa renyah. Senang sekali menggoda Xander yang selalu kaku pada perempuan, kecuali keluarganya.
"Baiklah, Dude. Aku pergi dulu. Jangan hubungi aku lagi karena perang di bawah selimut lebih menggoda malam ini ketimbang mendatangi apartemenmu."
Xander mendengus. Dia segera melambaikan tangannya sebagai tanda pengusiran.
Setelah pintu apartemennya tertutup, Xander kembali masuk ke dalam kamarnya
Dia berdiri dengan tatapan mengamati Ella yang tampak tertidur lelap. Diperhatikannya dengan seksama, bahkan tanpa sadar Xander bergerak mendekat.
Tangannya menyibak anakan rambut yang menghalangi wajah cantik perempuan itu. Xander terpaku pada bekas tangan yang memerah di pipi Ella.
Banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam pikirannya. Tentang siapa Ella sebenarnya. Apakah Xander perlu mencari tahu seluk beluk Ella untuk membantu perempuan itu? Melihat kondisinya, sepertinya sekarang Ella dalam masalah.
Xander menggelengkan kepalanya pelan. Dia bisa menghubungi anak buahnya untuk mencari latar belakang perempuan ini nanti.
Sekarang Xander hanya perlu membersihkan diri dan tidur di kamar lain apartemennya. Kamar yang biasanya dipakai Ara saat menginap di sini.
Ah, ya. Xander juga perlu menghubungi sang adik untuk meminjam beberapa potong pakaian untuk Ella besok.
Semoga Ara bisa diajak kerja sama dan tidak akan membocorkannya pada sang ibu.
***
Sesuai dugaan, pagi sekali apartemennya sudah terbuka lebar dan menampilkan wajah adik tercinta dengan Zander di belakangnya.
Xander yang baru selesai mandi segera menghampiri sang adik. Bukannya menyapa Zander, Xander malah melewatinya dan memeluk Ara dengan erat.
Adiknya itu sampai terkikik geli melihat raut masam Zander.
"Bagaimana kabarmu, Sweetheart?"
"Baik." Bukan Ara yang menjawab, tapi Zander dan mulutnya yang yang lemes. Xander mendelik kesal pada Zander.
Ara lagi-lagi terkikik. Dia segera melepaskan pelukan sang kakak dan menggiring Xander duduk di sofa ruang tengahnya.
"Kenapa kamu bersama dia, hum?" tanya Xander yang tak repot-repot menutupi wajah kesalnya pada Zander.
"Karena hanya Kak Zander yang siap mengantar Ara. Kak Aron dan Kak David kan belum pulang sejak seminggu lalu."
"Kamu bisa minta kakak yang jemput."
Ara menggeleng sebagai penolakan. "Terlalu merepotkan, Kak. Kak Xander harus bolak-balik."
Xander menghela napas panjang, tanda menyerah. "Baiklah."
"Jadi, di mana perempuan itu?" tanya Ara yang sudah celingukan mencari sosok perempuan yang sempat Xander ceritakan tadi malam.
"Kamar utama."
"Whoo..." Zander bersiul menggoda, dengan tatapan jahil pada kakak pertamanya.
Ara pun sejenak tampak kaget. Kenapa harus di kamar utama bila ada kamar tamu? Namun, Ara berusaha mengusir semua pikiran jeleknya.
Ara memasang senyum tipis dan segera bergegas menuju kamar utama.
"Ara bantu dia ganti baju dulu. Kakak bisa tunggu di sini," pesannya.
Baik Xander dan Zander sama-sama mengangguk. Setelahnya mereka menatap kepergian Ara yang ditelan pintu kamar.
"So, dia siapa?" Zander membuka pertanyaan yang sudah ditahannya sejak tadi.
"Entah."
"Kakak tidak tahu dia siapa tapi membawanya ke sini?" pekikan tak percaya lolos Zander berikan.
Bukannya bagiamana, Zander jelas tahu tabiat Xander yang sangat menjaga privasinya. Tidak semua orang diperbolehkan menginjakkan kaki di apartemennya, kecuali keluarga.
Dan hari ini sang kakak sukses melanggar privasinya sendiri. Jangan-jangan...
"Ini tidak seperti pikiranmu, bocah!" sentak Xander yang seakan bisa membaca pikiran Zander.
Zander merenggut karena dikatakan bocah. Namun lagi, dia hanya bisa diam. Daripada melawan dan menjadi korban kekerasan.
"Dia hanya seseorang yang tidak sengaja aku kenal."
"Tidak sengaja?"
Xander mengangguk. "Lebih tepatnya, dia perusuh."
Xander mendengus mengingat setiap pertemuannya yang sangat konyol. Perempuan gila yang Xander pikir sangat merepotkan. Terbukti, sakit saja Ella sudah cukup merepotkan baginya.
"Kakak tidak jatuh cinta dengan dia?"
Xander secepat kilat menoleh dengan bantal sofa yang melayang ke kepala Zander. Sukses menimpuknya hingga si empunya kepala mengerang
"Jaga mulutmu. Aku tidak mungkin jatuh cinta pada perempuan gila seperti dia.
"Kenapa tidak? Kakak normal, kan?"
"Sekali lagi kamu bicara, aku benar-benar akan mengajarmu!" ancam Xander tak main-main. Dia bahkan melotot kesal pada Zander yang selalu mau tahu kehidupan pribadinya.
"Baiklah. Aku diam!" Zander mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Namun tiba-tiba, pikiran nakalnya datang hingga dia menatap Xander dengan wajah polosnya. "Kalo kakak tidak suka dia, kasih ke aku saja. Aku tidak keberatan."
Bug.
Zander langsung tersungkur karena tendangan Xander yang tak main-main di kakinya. Zander mengerang dan menatap kakaknya penuh permusuhan.
"Kenapa suka sekali melakukan kekerasan," protesnya sembari mengusap bokongnya yang lumayan sakit.
"Makanya jangan bicara sembarangan!" sembur Xander tak kalah kesal.
Kemudian tatapannya lurus ke depan. Tangannya bersidekap di depan dada dengan pikiran yang entah ke mana.
"Lagi pula dia patut dicurigai."
"Siapa?" Sebuah suara lemah membuat mereka semua berpaling.
Xander dan Zander bungkam melihat dua perempuan sudah berdiri tak jauh dari ruang tamu.
Satu perempuannya menatap mereka dengan sayu.
To Be Continued ....