Xander mendesah berulang kali. Dia ingin sekali mengumpat, tapi ditahan sebaik mungkin.
Saat pulang kantor, Xander memutuskan berputar arah dan berhenti di sebuah cofee shop langganannya. Semuanya berjalan seperti sewajarnya, awalnya.
Namun di menit kelima belas, tiba-tiba mejanya dihampiri oleh dua orang yang salah satunya adalah wanita gila.
Melihat cengiran lebar perempuan itu, malah membuat seleranya hilang. Mendadak Xander merasa mual seketika.
Xander ingin mengabaikannya saja. Menganggap keduanya hanya sebuah bayangan. Namun tidak bisa, mengingat Ella yang terus memancing emosinya.
"Om, kenapa diam?" seru Ella kesekian kalinya. Dia sedikit merasa kesal karena diabaikan, tapi tidak juga menyerah.
Xander menarik napas panjang. Dia menatap Ella dan lelaki lain di mejanya dengan cermat. Diperhatikan dari pandangannya, sepertinya lelaki itu menaruh rasa cinta pada Ella. Namun dari pandangan Ella, justru tidak ada kesadaran. Xander mendengus. Cinta dan segala kerumitannya.
"Kenapa kamu selalu mengganggu saya? Lebih baik kamu mojok saja dengan kekasihmu."
"Kekasih?" beo Ella dengan mulut setengah terbuka. Setelahnya dia malah tertawa terbahak sampai beberapa pengunjung menatapnya karena terganggu.
Begitupun Xander yang menegurnya tanpa suara
"Om, Martin ini sahabat saya. Bukan kekasih. Saya masih jomblo sampai detik ini. Tapi kalo Om mau dengan saya, detik berikutnya saya udah official dengan Om," cetus Ella dengan senyum menggodanya
Bukannya tergoda, Xander malah menampilkan wajah gelinya. Sedikit merasa takjub dengan Ella yang secara tidak langsung mempromosikan diri.
"Kamu benar-benar unik," gumam Xander dengan suara rendah. Namun Ella ternyata masih mampu menangkapnya.
Ella memasang senyum lebar dan mengangguk berkali-kali. "Saya memang unik, Om. Nggak ada cewek yang seuni—"
"Lebih tepatnya gila," koreksi Xander langsung.
Ella mengatupkan bibirnya kembali. Pipinya mengembung kesal dengan jawaban Xander yang selalu bisa membuatnya diam tak berkutik.
Sedangkan Martin yang sejak tadi menjadi pengamat, hanya bida menggelengkan kepalanya pelan. Dia sedikit takjub dengan peran yang Ella mainkan.
Meski menahan rasa iri, dia coba untuk tahan. Martin tidak mau menegur Ella saat masih ada Xander di antara mereka. Namun tetap saja, nanti Martin akan mengingatkan Ella tentang bahaya rencana ini.
Apalagi melihat Xander yang ternyata bukan orang biasa. Jelas akan membuat dampak yang buruk bila semuanya terbongkar. Alih-alih menang, Ella malah akan berujung bahaya sendiri.
Satu jam ke depan adalah waktu yang dimanfaatkan Ella untuk menggoda Xander. Mulai dari serangan kecil hingga paling agresif.
Namun Xander layaknya disetting seperti patung. Dia tidak menanggapi Ella sama sekali. Hingga kopinya tandas, Xander langsung berlalu pergi dan mengabaikan kedua manusia di mejanya.
"Hey, Om! Bagaimana? Malam Minggu ini kita kencan?"
"Hey! Hey! Kenapa pergi dulu?" teriak Ella yang memperhatikan punggung Xander menjauh.
Setelah Xander benar-benar keluar dan tak terlihat lagi, Ella melemaskan tubuhnya. Dia bersandar dengan mata yang terpejam sejenak. Lelah juga rasanya menggoda patung berjalan.
"Ella?" panggil Martin hati-hati.
Namun sebelum Martin membuka suara lagi, Ella sudah mengangkat tangan kanannya. "Aku tahu. Kamu tidak perlu membahasnya lebih lanjut. Aku hanya butuh bantuan kamu untuk mencari informasi lebih dalam lagi. Waktunya tidak lama."
"Aku pasti bantu kamu. Cuma, apa kali ini kamu yakin mau terus?"
Meski sedikit ragu, Ella tetap mengangguk. "Ana sudah berusaha merebut bagianku lagi. Dan kali ini aku tidak akan menyerah. Aku harus mendapatkan dia terlebih dahulu." Ada kilat marah di kedua mata sayunya.
Awalnya Ella pikir ini akan mudah. Hanya merayu Xander untuk melancarkan semua rencananya. Namun semua menjadi berantakan sejak ayahnya menyuruh Ella berhenti. Alasannya karena Ana ingin menggantikannya.
Jelas Ella marah, tak terima. Bagaimana bisa dia berhenti di tengah jalan dan melimpahkan semuanya pada Ana. Ella sanggup, tapi ayahnya selalu meragukan kerja kerasnya.
Pria paruh baya itu tetap menginginkan putri kebanggaannya yang turun tangan langsung.
Ella mendecih. Dia pikir Ana sudah tertarik pada pesona Xander yang memang seperti anak panah. Menancap tepat sasaran.
***
Xander membuka pintu apartemennya dengan lesu. Harusnya hari ini menjadi waktu paling menyenangkan. Dia memenangkan tander besar dan bisa berpesta kecil-kecilan. Namun keinginannya untuk berpesta, lenyap seketika saat mengingat kejadian di cofee shop tadi.
Xander merasa ada yang aneh. Ini bukan cara pendekatan perempuan pada umumnya. Terkesan nanggung, setengah-setengah.
Perempuan yang Xander kenal bernama Ella itu tampak agresif, tapi juga membuat benteng pelindung di waktu bersamaan.
Menggodanya, tapi juga menahan setiap godaan di detik berikutnya.
Xander memijit keningnya. Sedikit merasa pusing akhir-akhir ini. Apalagi dengan cuaca dingin ini, Xander sering sekali terjebak badai.
Saat memasuki kamarnya, Xander mendengar suara ponsel yang berbunyi. Dengan malas-malasan Xander meronggoh saku jasnya dan menerima panggilan tanpa melihat namanya.
"Hmm?"
"Xander, ini aku." Suara di seberang sana menyentak Xander dari kemalasan. Ah, lelaki itu. Dave.
"Ada apa?" tanya Xander yang kembali ogah menjawab panggilannya.
"Apa Daniel Han ke perusahaanmu?"
"Iya. Beberapa waktu lalu. Hanya saja bukan Daniel, tapi putrinya."
"Putrinya? Putrinya yang mana?" tuntut Dave dengan penasaran.
Xander mengerut keningnya. "Annabelle, jelas dia kan putri tunggal Daniel."
Terdengar helaan napas kasar di ujung sana. Xander semakin bingung dengan arah pembicaraan ini
"Dengar, apa pun yang Han Group tawarkan, kita lebih tepatnya Petrov Group harus menolak ka—"
"Tidak usah mengguruiku, bocah!" potong Xander kesal. Dia merasa seperti anak kecil yang perlu digurui.
Dave di seberang sana tertawa pelan. Mungkin merasa puas karena bisa membuat Xander jengkel.
"Oke, sorry. Aku tahu Xander William memang pintar, sangat," puji Dave yang malah membuat telinga Xander gatal. "Tapi, tentang putri tunggal, kamu salah. Daniel memiliki putri lagi selain Ana."
"Maksudnya?"
"Iya. Satu putri lagi sengaja disembunyikan. Entah dengan alasan apa. Mungkin dijadikan senjata cadangan?"
Kali ini keduanya sama-sama terdiam. Ini jelas pembahasan yang cukup serius.
Xander bahkan kembali memutar otaknya. Menerka-nerka ke mana akar dari masalah ini.
Han Group yang berkembang pesat. McKenzie Group yang hilang bak ditelan bumi.
"Halo, kakak ipar, masih di sana?"
"Fuck! Berhenti memanggil dengan sebutan itu!" umpat Xander kesal.
Lagi, di sebrang sana Dave tertawa, kali ini lebih keras dari sebelumnya
"Terima kenyataan saja. Setelah ini aku dan Ara akan bertunangan."
"Setelah Ara lulus. Dan itu masih setahun lagi," sela Xander seakan mengingatkan Dave akan waktunya.
"Humm, ya. Tapi setidaknya ada titik terang dari hubungan kami. Ara segera akan menjadi milikku."
"Tutup mulutmu atau aku robek!" ancam Xander yang mulai geram. Dia benar-benar emosi mendengar tawa dari pemuda di seberang sana. Jika bukan karena Ara mencintai lelaki itu, sudah sejak dulu Xander tembak kepalanya.
Dave terlalu mengganggu kehidupannya yang stabil.
"Baiklah. Aku hanya ingin mengingatkan itu saja. Aku sudah menyuruh beberapa orang mencari putri lain dari Daniel."
"Kenapa kita harus mencari tahu tentang dia?" Xander mengerutkan alisnya hingga menyatu.
"Jaga-jaga. Siapa tahu dia lebih buas dari Ana. Siapa tahu juga Daniel menjadikannya senjata paling tajam. Tidak ada yang tahu."
Kali ini Xander mengangguk setuju. "Hubungi lagi jika ada perkembangan."
"Oke."
Klik.
Setelah itu Xander memutuskan panggilan terlebih dahulu. Tidak peduli apakah Dave masih ingin berbicara hal lain.
Xander memutuskan menyegarkan pikirannya dengan mandi. Masalah beberapa akhir ini seperti bayangan yang selalu membuntutinya. Tidak berbuat apa-apa, tapi lumayan mengganggu. Apalagi ketakutan mereka adalah balas dendam McKenzie karena keadaan Jason.
Sampai saat ini, Xander dan lainnya berusaha melacak keberadaan Jason yang cukup sulit ditemukan. Harusnya Xander menghabisi Jason saat itu juga. Ketimbang menyusahkan seperti saat ini.
Lagi, penyesalan memang berada di belakang.
TO BE CONTINUED ....