Suasana makan malam tampak hening. Beberapa orang yang duduk melingkar tampak fokus pada hidangan di depannya. Tidak ada yang berani buku suara, hanya dentingan sendok dan piring mengisi suasana.
Hingga di menit kelima belas, dentingan sendok terakhir berbunyi. Semua sudah selesai menghabiskan santapan. Setelah membersihkan mulut, mereka semua beralih pada kupasan buah yang tersaji diselingi dengan obrolan.
"Ana, bagaimana perkembangan hubungan kalian?" Daniel Han selaku kepala keluarga memulai perbincangan. Mereka belum beranjak sedikitpun dari meja makan.
Anabelle Westbrook. Perempuan dewasa dengan rambut pirang kecoklatan. Manik matanya seperti kucing yang tajam. Berbeda dengan sang adik, Ana memilki kulit yang cokelat eksotis. Tampak sangat menggoda dengan postur tubuhnya yang dulu menjadi jebolan model majalah sebelum berganti pebisnis muda.
Dulu mungkin Ana akan selalu bertanya-tanya kenapa fisiknya berbeda dari keluarga besarnya, apalagi dia tidak menyandang marga Han di belakang namanya.
Namun semakin berjalannya waktu, saat dirinya semakin dewasa, di sanalah Ana mengerti. Dirinya tidak memiliki hubungan keluarga dengan Han. Namun cinta keluarga Han jelas lebih besar baginya ketimbang darah dagingnya sendiri.
"Sejauh ini stagnan. Tidak ada perubahan. Baik aku dan Jason hanya menganggap hubungan ini sebagai pertemanan. Tidak ada ketertarikan di dalamnya." Ana mengedikkan bahu di akhir kalimat. Dia sebenarnya tak ambil pusing dengan hubungannya. Dirinya dan Jason hanya teman, saling membutuhkan untuk kehangatan masing-masing.
Jason, mengingat nama itu Ana jadi sedikit bersimpati pada takdir lelaki itu. Mencintai seseorang yang tidak bisa dimiliki dan sekarang harus disembunyikan dari media karena keadaan. Jangan bertanya seperti apa lengkapnya, yang jelas Jason harus mendapatkan perawatan dan serangkaian terapi sebelum kembali di sorot media.
Ana sesekali akan menjenguk temannya itu. Memberikan sedikit hiburan dan menjadi teman berbagi. Selebihnya, Ana akan kembali pada kesibukannya mengelola Han Group.
"Ayah berharap kalian lebih dari teman," Daniel mengungkap keinginannya secara gamblang. Dia menatap putri kebanggaannya dengan sorot akan permohonan tanpa menerima bantahan.
"Kita liat saja, Ayah. Sejauh ini Jason belum berpaling dari cintanya."
"Yah, perempuan itu. Memang sangat sulit melupakan, tapi mudah untuk jatuh cinta. Itu sebabnya banyak yang menaruh hati. Apalagi dengan wajah polosnya. Orang Asia memang selalu pandai memikat, kan?"
Ana menyimak dengan baik. Dia jelas menaruh penasaran seperti apa sosok perempuan yang membuat lelaki seperti Jason menjadi tak berdaya.
Sayang, sejauh ini dia belum tahu namanya. Bahkan setiap Jason bercerita, belum pernah lelaki itu menyebut nama.
Ana ingin bertanya pada ayahnya. Namun saat mulutnya akan terbuka, sebuah suara menyela ucapannya.
"Ayah, aku ke kamar dulu."
Daniel berpaling. Wajah yang tadinya bersahabat, mulai mengeras. Ditatapnya perempuan muda yang menjadi darah dagingnya sendiri.
Perempuan yang sampai di usianya, 24 tahun sama sekali belum pernah membanggakannya. Alih-alih membuat bangga, putrinya sendiri malah menjadi penyebab cintanya pergi. Yah, istrinya pergi selama-lamanya karena ulah Elleanor Han.
Jika bisa, Daniel ingin sekali mencoret nama Han pada Ella.
"Duduk dan jangan pergi dulu! Kamu harus dengarkan ucapan kakakmu. Contoh dia yang selalu membuat Ayah bangga," katanya dengan nada tegas.
Ella melirik Ana yang menatapnya mencemooh. Ella mendengus. Ana memang sangat pintar menjilat.
"Ayah, aku mengantuk. Lagi pula apa yang harus aku dengarkan? Apa yang harus aku contoh? Kakak hanya suka menjilat," desisnya dan sengaja menekan kata kakak. Mengingat hubungan mereka yang tak pernah akur. Sangat sulit memanggil kakak adik seperti kebanyakan saudara di luar sana.
"Ella, jaga ucapan kamu!" Bentak Daniel sambil mengebrak meja. Hampir saja tangannya melayang memukul Ella, bila tidak ingat Ella adalah putri kandungnya.
"Ana lebih membanggakan ketimbang kamu," lanjut dengan suara berat.
Ella menunduk sejenak. Setelahnya dia mendongak dan memberikan senyum tipis pada sang ayah. "Jika begitu, kenapa tidak menjadikan Ana sebagai putri satu-satunya? Ayah bisa membuang aku sejauh mungkin seperti yang ayah lakukan dulu."
Ada senyum miris yang diberikannya. Yah, dulu dirinya dibuang. Diasingkan dan tak dikenal oleh banyak orang. Bahkan mungkin saat ini tidak banyak yang tahu Daniel Han memiliki dua putri. Bahkan cuma Annabelle yang sering muncul di media.
Daniel memberikan smirk-nya. Mendengar luapan emosi Ella, dia jadi teringat dengan rencananya sendiri.
"Oh, tentunya ayah akan mengirimkan kamu ke tempat yang jauh setelah kamu melakukan sesuatu untuk ayah."
"Maksudnya?" tanya Ella dengan tampang tak mengertinya.
Daniel Han semakin tersenyum lebar. Dia menatap Ana yang sama-sama memberikan tatapan penuh arti. Pemikiran mereka jelas searah. Karena sebelumnya mereka sudah sama-sama mendiskusikan hal ini
"Jadilah anak yang berbakti kali ini. Buat ayah bangga. Setidaknya ayah tidak merasa rugi merawat anak seperti kamu," ujarnya dengan kalimat kejamnya.
Ella meremas kedua tangannya di bawah meja. Dia benar-benar terluka mendengar kalimat sang ayah yang sangat pamrih dan kejam. Harusnya dulu dia memang ikut mati bersama ibunya. Atau setidaknya dia tidak usah kembali lagi ke sini hanya untuk dijadikan boneka hidup keluarganya.
Seharusnya Ella sudah terbiasa dengan kalimat itu. Sudah bertahun-tahun kalimat itu menjadi makanannya setiap hari. Namun tetap saja hatinya tak kebal sama sekali. Malah semakin rapuh.
"Apa yang harus Ella lakukan untuk balas budi?" tanyanya dengan suara tenang.
Daniel memberikan kode agar Ana yang menjelaskan. Ide matang mereka harus terlaksana secepatnya.
Ella yang melihat kilat mata Ana, merasa sesuatu yang buruk akan terjadi padanya. Ini bukan pertanda baik. Namun mau mundur, rasanya sudah tidak bisa.
***
Xander melonggarkan dasinya yang terasa mencekik. Ini sudah pukul 10 malam dan dirinya baru saja menyelesaikan pekerjaannya.
Hanya ada beberapa orang terutama OB dan OG yang masih menyelesaikan pekerjaan terakhir. Atau mereka memang kebagian sift malam. Xander tak peduli. Dia benar-benar harus pulang sebelum pagi menjelang.
Xander memilih menutup laptopnya dan segera menyampirkan jasnya kembali. Waktunya untuk pulang.
Namun di tengah jalan, saat melewati sebuah restoran yang merupakan langganannya akhir-akhir ini, Xander memutuskan mampir. Perutnya sudah kosong sejak tadi siang.
"Malam, Sir."
"Pesanan seperti biasa," ujar Xander yang diangguki pelayan tersebut sebelum pergi.
Xander duduk di meja biasanya. Di nomer 15 dan dekat dengan jendela. Kebetulan meja ini berada paling pojok dan sangat nyaman. Jauh dari kebisingan pengunjung lainnya. Biasanya bila dia membawa Ara, adiknya itu sangat suka melihat kondisi lalu lintas dari jendela kaca ini. Katanya, meja ini adalah spot yang sangat romantis.
Xander menggelengkan kepalanya mengingat ucapan Ara yang sangat konyol. Adiknya itu semakin aneh saja setelah jatuh cinta.
Sembari menunggu pesanan, Xander memutuskan membuka ponselnya. Dia mengecek beberapa email yang masuk.
Sekarang fokusnya kembali tersita pada pekerjaan. Xander tidak lagi peduli dengan sekitar. Bahkan pada seseorang yang sejak tadi mengamatinya dengan seksama.
"Masih kerja saja, Om?" bisik sebuah suara di dekat telinganya.
Xander berjengit kaget. Dia memegang dadanya yang sedikit nyeri karena kekagetannya. Tatapannya menajam saat melihat seorang perempuan yang berdiri di sampingnya dengan senyuman lebar.
Ella memasang wajah tak berdosa. Dengan santai, dia menarik kursi dan mendudukkan bokongnya di sana.
"Om ke sini mau makan apa kerja? Kalo kerja ya di kantor. Di sini tempat orang makan. Lagian Om nggak capek kerja dari pagi sampai malam. Otak Om itu bisa lelah, perlu istirahat. Ja—"
"Diam!" bentak Xander yang mulai geram dengan tingkah perempuan itu. "Siapa kamu?"
Ella memasang wajah sok kagetnya. "Om nggak ingat saya?"
Xander mengernyit. Memandang Ella dari atas ke bawah, kembali lagi ke bawah. Namun tidak ada satupun penggalan ingatan tentang perempuan itu.
Menyadari ekspresi Xander, Ella mengibaskan tangan ke depan. "Tidak usah dipikirin. Mending Om ajak saya makan."
"Sorry?"
"Saya lapar, Om. Tadi duduk di depan nunggu orang baik yang bisa traktir saya makan. Dan beruntung ketemu Om di sini. Saya harap Om kali ini mau berbaik hati. Tidak seperti kemarin." Ella memelankan suaranya di akhir kalimat hingga Xander tak mendengar dengan jelas.
"Kamu sehat?" Respon pertama Xander dengan tatapan lekatnya.
"Sehat!" Ella mengangguk berkali-kali. Meyakinkan.
"Tingkah dan omongan kamu seperti baru keluar dari RSJ," celetuk Xander santai.
Ella menganga lebar. Matanya sampai melotot. Dia benar-benar tak habis pikir dengan ucapan Xander. Sekali menanggapi, malah nyelekit di hati.
"Om!" sentak Ella kesal.
"Saya bukan Om kamu," bantah Xander tajam.
Ella menciut. Dia mencebikkan bibirnya kesal. "Saya lapar."
"Lalu?"
"Kasih saya makan sekali saja. Nanti tidak lagi, jika tidak bertemu," cengirnya polos
Bertepatan dengan itu, beberapa pelayan datang dengan hidangannya.
Ella menoleh dengan mata berbinar senang. Sesekali dia bertepuk tangan tanda bahagia. Xander menahan diri untuk tidak menepuk jidatnya sendiri melihat tingkah Ella yang kampungan.
"Ah, makanan datang!" serunya heboh.
Ella segera meraih pisau dan garpu. Bersiap memotong steaknya, sebelum piringnya melayang menjauh.
"Om?" pekiknya protes, dengan mata yang mengikuti arah pergi piringnya.
Xander dengan santai menjauhkan makanannya dari Ella. Dengan santai pula dia menyantap semua hidangan tanpa peduli Ella yang memasang wajah memelas
"Om, bagi," rengek Ella.
Xander tak mengindahkan. Dia tetap santai dengan steak yang tadi ingin dimakan Ella.
Saat steak itu mengarah pada mulutnya, tiba-tiba tangannya dicekal dan malah menuju pada mulut Ella yang terbuka lebar. Xander melotot tajam.
Sementara Ella menguyah dengan senang. "Nyam, enak juga disuapin. Lagi, Om."
"Kamu!" Xander menunjuk Ella dengan pisau yang dipegangnya.
Perempuan yang ditunjuk, sampai harus memundurkan badannya. Jaga-jaga sebelum terkena hal yang berbahaya.
"Eits, Om. Itu pisau."
"Yang bilang ini sendok siapa, hah?"
Ella menggeleng. Wajahnya yang tadi tengil, berubah pucat melihat kemarahan Xander.
Dengan kesal, Xander membanting sendok dan pisaunya. Setelah itu, tanpa mau berkata lagi Xander mengambil jasnya dengan kasar dan berlalu pergi.
"Om mau ke mana?" teriak Ella nyaring.
"Om, makanannya belum habis!"
Tak ada jawaban lagi. Ella memandang kepergian Xander dengan sendu. Namun sedetik kemudian, dia mengedikkan bahunya pelan. Berbalik memandang makanan yang masih banyak dengan senang.
"Yaudah, aku saja yang makan," ujarnya dan kembali mengambil steak tadi. Incaran yang menjadi makanan favoritnya.
Ella tidak peduli dengan Xander yang marah. Salahnya sendiri cepat emosi. Padahal Ella cuma sedikit menggodanya.
To be continued ....