Chereads / ANOTHER CINDERELLA / Chapter 2 - AC | 02

Chapter 2 - AC | 02

Masih dalam musim yang sama, Xander melajukan mobilnya dengan hati-hati. akhir-akhir ini berita kecelakaan semakin merebak dan sering terjadi karena tergelincir di salju yang semakin tebal. Lalu lintas terlalu padat dan rawan, pikirnya.

Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam waktu setengah jam, harus rela molor hingga hampir dua jam. Xander sudah tidak bisa mengukur kadar kebosanannya yang memuncak. Kesabarannya yang tipis seakan diuji.

Sore ini, selepas mengantar Ara pulang ke mansion, Xander memutuskan kembali ke apartemennya lagi. Ada beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan secepatnya. Beruntung Ara kali ini tidak menahannya seperti yang sudah-sudah. Adiknya itu kadang sangat sulit ditinggalkan. Ada saja cara Ara itu untuk menahannya pergi.

Saat melewati sebuah super market, Xander memilih menepikan mobilnya sejenak. Dia baru ingat harus membeli beberapa bahan makanan yang sudah habis di lemari pendinginnya. Sebenarnya Xander jarang memasak, sangat tidak suka.

Namun kedatangan Ara yang tiba-tiba kadang harus diantisipasi. Ara-nya akan marah bila menemukan lemari dalam keadaan kosong. Perempuan itu dengan menggemaskan akan mencak-mencak dan menjabarkan panjang lebar gunanya makanan sehat. Benar-benar lucu.

Xander tersenyum. Sudut bibirnya yang tertarik menambah kadar pesonanya. Beberapa orang yang menatapnya sampai tak berkedip melihat wajah tampan Xander.

Xander mengabaikan hal tersebut. Dengan membawa troli, Xander melihat apa saja yang harus dibelinya.

Saos

Kecap

Sayur mayur

Buah-buahan segar, hmm ... Apel kesukaan Ara.

Mie instan, makanan yang wajib ada di apartemen. Serta ...

Dug.

Sesuatu menabrak punggungnya dengan keras. Xander tak bergeming, sayangnya si pelaku malah jatuh terduduk dengan pantat sebagai korbannya.

"Aws!" ringisan tersebut membuat Xander membalikkan badan.

Xander menatap wanita yang tengah terduduk di lantai dengan wqjah kesakitannya. Xander sama sekali tak bergerak. Hanya memperhatikan wanita itu yang kini sudah menatapnya tajam.

"Bantuin!" pinta wanita itu sambil mengulurkan kedua tangannya.

Bukannya membantu, Xander menatap kedua tangan itu dan setelahnya melenggang pergi. Tak peduli dengan teriakan sang wanita yang menjadi pusat perhatian.

"Dasar brengsek! Bukannya bantuin malah pergi!" teriak wanita itu tak tahu malu.

Xander segera mempercepat langkahnya. Dia tidak ingin berada di sini lebih lama lagi. Terlalu banyak drama yang memuakkan. Melihat gaya wanita itu yang sangat menor, sudah jelas di termasuk drama Queen yang berusaha menarik perhatian lawan.

Xander muak dengan tatapan beberapa wanita yang sering curi pandang padanya. Cih, mereka tidak akan bisa menarik perhatiannya.

Xander mendesah. Dia segera mendekati kasir dan mengeluarkan semua barang belanjaannya. Mengabaikan petugas kasir yang sesekali mencuri senyum padanya. Xander harus cepat-cepat menyelesaikan urusannya di sini dan pergi.

Baru saja dia membuka dompet untuk membayar belanjaannya, sebuah tepukan di bahunya membuat Xander menoleh. Xander menautkan alisnya saat menemukan seorang perempuan dengan jaket kebesaran dan celana panjang hitam. Rambut digerai tanpa penutup kepala. Padahal udara sedang berada di bawah derajat celsius.

"Om, bisa bayarin belanjaan aku nggak?" Tanpa ada angin atau hujan, hanya salju yang deras perempuan itu berkata dengan nada pelan. Tatapannya dibuat semelas mungkin.

Xander melotot. Daripada mendengarkan permintaan perempuan itu, dia lebih fokus dengan panggilannya tadi. Apa katanya? Om? Sejak kapan Xander menjadi Om Om? Xander juga tidak pernah menikah dengan Tante perempuan itu.

Xander menatap tajam perempuan muda di depannya. Bila diteliti lagi, penampilannya sangat sederhana. Dengan wajah polosnya, Xander taksir umurnya mungkin sepantaran Ara.

"Om?" Perempuan itu melambaikan kedua tangannya ke depan, tepat di depan mata Xander.

Xander menepis tangan tersebut dengan kasar. Tatapannya semakin tajam dan sarat akan ketidaksukaan. Perempuan itu berhasil memberi kesan pertama yang buruk.

"Menyingkir!" sentaknya dengan suara berat.

Namun perempuan tadi bukannya menyingkir, malah semakin merapat pada Xander. Dia berjinjit sedikit karena tingginya yang hanya sebatas dada Xander.

"Om, please. Bayarin yak. Aku nggak bawa uang ke sini," mohonnya. Kedua tangannya ditangkupkan di depan dada, matanya sengaja mengerjap lucu untuk merayu, yang soalnya hanya mendapatkan tatapan datar.

"Maaf, Sir. Bagaimana?" Suara petugas kasir berhasil memutuskan tatapan tajamnya. Xander kembali berbalik dan menyerahkan kartu kreditnya. Setelah selesai, Xander melenggang pergi dari sana. Sama sekali tak berpengaruh dengan teriakan perempuan tadi.

"Om, kenapa punyaku nggak dibayarin sekalian?" teriak perempuan tersebut dengan nada tak terima. Dia ingin mengejar, tapi tidak memungkinkan. Dia terjebak di depan kasir dengan antrian lumayan panjang di belakangnya.

Pelayan kasir masih menatapnya dengan seksama, menunggu belanjaan tersebut terbayar.

"Maaf, Nona. Jadi bagaimana?"

"Nggak jadi!" Perempuan itu menghentakkan kakinya kesal. Setelah itu melenggang pergi dan meninggalkan troli belanja yang tak dibayar. Biar saja. Toh dia tidak mencuri. Dia bebas cancel membeli barangnya, kan?

Dengan perasaan dongkol, perempuan itu keluar supermarket. Di luar, salju yang turun dengan deras menyambut tubuhnya yang hanya berlapis jaket tebal.

Kedua tangannya menengadah, salju jatuh di telapak tangan dengan lembut dan dingin. Matanya terpejam dengan erat hingga satu tetes air mata jatuh.

"Ella harus bagaimana, Ayah," gumamnya lirih.

***

Hamington Groups. Dave keluar dengan jas yang sudah disampirkan di bahunya. Sudah dua tahun sejak lulus kuliah, Dave memilih terjun langsung mengurus perusahaannya. Meski tetap saja ayahnya akan memantau dan sesekali ikut membantu.

"Maaf, Sir. Tuan Adrick baru saja sampai. Beliau meminta Anda menemuinya."

"Hmm."

Dave hanya menjawab dengan gumaman. Beruntung dia mendapatkan sekertaris yang cakap seperti Lily. Perempuan yang sejauh ini sangat cekatan dan berbeda dari sekertaris sebelumnya. Lily bekerja sangat profesional dan tidak pernah berusaha menggodanya. Dave cukup kagum pada Lily sampai saat ini. Bukan berarti Dave suka, tidak mungkin. Malah mustahil.

Dave tetap mencintai Ara-nya.

Tiba di depan pintu ruangan ayahnya, Dave segera masuk setelah mengetuk pintu beberapa kali.

Di sana dia melihat ayahnya yang tampak sibuk dengan beberapa berkas di atas meja.

Dave menghampiri sang ayah dan duduk di kursi kosong hingga kini mereka berhadapan.

Beberapa menit, Dave hanya menunggu dan membiarkan ayahnya menyelesaikan pekerjaannya. Dave memilih melihat-lihat sekitar hingga tatapannya jatuh pada berkas berjudul Han Group.

Dave mengambil berkas tersebut. Dia membolak-balik kertasnya dan membaca dengan seksama. Ada kerutan samar di keningnya tanpa dia sedang berpikir keras.

"Kamu sudah baca?" teguran dari Adrick membuat Dave mengalihkan tatapannya.

"Ini?" Dave menunjuk berkas di tangannya.

Adrick mengangguk. Dia membuka kaca mata, dan memijit pelipisnya sejenak. "Daniel Han beberapa tahun ini merintis perusahaanya sendiri."

"Apa masalahnya?" tanya Dave yang belum mengerti arah pembicaraan.

"Dalam jangka tiga tahun dan perusahaanya sudah berkembang. Han Group, kamu kira Daniel bisa membangunnya secepat itu?"

"Dad curiga ada orang di belakangnya?" tebak Dave yang diangguki Adrick.

"Beberapa waktu terakhir ini terlalu damai. Dad merasa ganjil. Belum lagi McKenzie Group yang hilang bak ditelan bumi. Apa kamu tidak curiga?"

"Entahlah, Dad. Dave terlalu fokus dengan perusahaan sampai lupa memikirkan hal tersebut."

"Jangan terlalu fokus pada sekitar yang lebih dekat. Luaskan lagi pandangan kamu. Karena bahaya bisa jadi di radar terjauh."

Dave mengangguk. Dia akan selalu mengingat apa yang dikatakan ayahnya. Selama ini ayahnya adalah sosok panutan baginya. Dave banyak belajar dari sang ayah.

"Dave akan selidiki Han Group," putus Dave mantap.

Saat akan beranjak pergi, sesaat Adrick menahan langkahnya.

"Mungkin kamu lupa. Daniel Han punya dua putri. Salah satunya tidak pernah diendus media mana pun."

"Maksud Dad, Ana punya saudara?"

Adrick mengangguk, membenarkan pertanyaan Dave. "Lebih tepatnya adik tiri. Kamu juga perlu mencari keberadaan anak bungsu Daniel."

"Tapi kenapa?" Dave masih belum paham kemauan ayahnya.

"Cari saja." Hanya itu yang Adrick katakan. Setelah itu dia memberi kode agar Dave segera pergi

Dan meski belum puas dengan jawaban sang ayah, Dave menurut. Dia melangkah pergi dari ruangan sang ayah dengan tugas yang sebenernya mengundang rasa penasarannya.

To be continued ....