Sore ini udara Manhattan lumayan dingin. Di bulan Desember, kota ini memang baru saja memasuki musim dingin dengan suhu rendahnya. Semua orang yang biasa berpakaian terbuka, mulai berganti dengan pakaian tebal yang bahkan menenggelamkan tubuhnya. Tak terkecuali Aurora.
Perempuan yang sejak tadi mengerucutkan bibirnya dengan mimik lucu ini mengundang senyum geli sekitarnya. Bagaimana tidak? Aurora dengan jaket tebal yang menenggelamkan tubuh, kupluk pink di kepala, sarung tangan bernada sama, serta jangan lupakan syal yang hampir menutupi wajahnya.
Semua ini kerjaan kakak tertuanya yang sejak tadi menahan tawa
"Kakak?" rengek Ara manja. Bibirnya sudah maju beberapa senti dengan tatapan yang dibuat memicing pada sang kakak. Memperingati sang kakak agar tak semakin membuatnya kesal.
Xander William. Lelaki dengan setelah pakaian musim dingin, tapi tidak seheboh adiknya hanya bisa menahan senyum geli. Dia tetap tenang membantu Ara membenarkan pakaian tebalnya. Memperlakukan sang adik layaknya anak kecil yang perlu dilayani.
Hari ini Ara berkunjung ke apartemennya dan memaksanya menikmati salju di taman. Adiknya itu sangat excited membuat manusia es seperti yang dilakukan bocah lima tahunan.
Dan meski Xander tidak menyukai kegiatan tersebut, tatapan imut sang adik mau tak mau membuatnya mengangguk, menuruti semua keinginan Ara.
Xander mana bisa menolak bila Ara sudah meminta. Hal yang tak akan pernah Xander lakukan untuk orang lain.
Berkaitan dengan apartemen. Sudah setahun Xander memutuskan pindah sementara di apartemennya. Apalagi sejak menangani proyek besar dan menyita waktu membuat Xander memilih apartemen sebagai tempat pulang.
Ara jelas orang pertama yang menolak idenya dengan mentah-mentah. Bahkan perempuan itu mengancam akan pulang ke Indonesia jika Xander pergi dari mansion keluarga.
Namun setelah dibujuk berhari-hari dan memberikan pengertian, adiknya itu akhirnya setuju. Dengan catatan, setiap hari Xander harus meluangkan waktu berkumpul dengannya dan keluarga.
Meski bila dipikir-pikir lagi, itu sama saja Xander tetap pulang ke mansionnya.
Sekali lagi, itu demi adik tercintanya. Seperti saat ini.
Xander rela mengosongkan waktunya seharian hanya untuk menemani Ara yang katanya ingin menghabiskan waktu di taman dan membuat manusia es.
Xander setuju. Dengan catatan Ara harus memakai semua pakaian yang dipilih Xander agar tidak kedinginan.
"Kak, ini sudah cukup!" cegah Ara yang menolak Earmuff di tangan Xander.
Xander menggeleng tegas. Dia tetap memasangkan Earmuff dengan warna senada outfit Ara sore ini. Serba pink dan sangat menggemaskan.
Xander mencubit pipi sang adik yang tampak memerah karena suhu dingin. Bila dicermati, Ara ini sangat mirip dengan boneka hidup. Atau lebih tepatnya Barbie hidup. Ya, Xander membenarkan dalam hati.
"Sudah!" kata Xander dengan decakan puas melihat hasil pilihannya.
Ara makin cemberut. Mulutnya sebagian sudah tertutup syal yang tebal. Tubuhnya memang tidak dingin lagi, tapi ganti menjadi gerah. Terlalu banyak lapis kain di tubuhnya. Namun Ara tidak bisa menolak perjanjian yang sudah mereka sepakati.
"Ya sudah. Ayok berangkat!" kata Ara semangat.
Ara meraih tangan Xander, menelusupkan jemari mereka hingga bertautan. Mereka saling melempar senyum dan melangkah bersama. Iringan langkah yang senada, jemari yang terus bertautan dan tak bisa lepas.
Dari kaca mata orang-orang, mungkin mereka adalah pasangan paling sempurna. Cantik manis dengan lelaki tampan mempesona. Semua pasti iri melihatnya.
Hanya saja, ada satu hal yang mungkin tidak diketahui semuanya. Mereka sedarah, hal yang tak bisa ditampik siapapun.
Itulah yang membuat Xander menjadi tokoh figuran pada kisah adiknya kemarin.
Dia hanya menjadi pelindung, tameng terdepan sang adik bila Ara mulai lelah dengan semuanya.
Xander bahkan selalu menjadikan Ara sebagai prioritas pertama dari segalanya. Jangan tanyakan siapa wanitanya sekarang.
Xander sampai lupa kapan terakhir dirinya dekat dengan wanita. Sepertinya sudah lama sejak Ara hadir dalam keluarganya.
Xander rasa adanya Ara sudah sangat cukup baginya. Dia tidak butuh menikah hanya untuk membangun keluarga. Dirinya sudah memiliki keluarga sendiri.
Dan meski Angelina sering menjebaknya dalam kencan buta, Xander selalu berhasil membuat rekan kencan butanya kapok dan pergi terlebih dahulu.
Yah, jelas dengan sedikit drama menggelikan. Misal mengaku memiliki sepuluh anak yang menginjak usia dewasa. Lebih parah, Xander pernah mengaku menyukai BDSM saat bercinta.
Mengingat hal tersebut, Xander jadi tersenyum geli. Wanita-wanita yang dikenalkan ibunya tidak pernah berhasil menarik simpatinya sama sekali. Malah selalu memberikan kesan menjijikkan dengan sikap murahannya.
"Kak?" Panggilan dengan nada sedikit kencang itu membuat lamunan Xander buyar
Dia sedikit menunduk karena tinggi Ara yang hanya sebatas dadanya. Perempuan Asia. Tinggi ideal hanya 165 cm. Beda dengan wanita di sini yang memiliki tinggi mencapai 180 an.
Tapi berapapun tinggi Ara, Xander selalu suka. Tampak mungil di sampingnya.
"Ada apa, hum?"
"Kakak melamun?" tuduh Ara dengan melemparkan tatapan curiga
Xander melipat bibirnya semakin dalam. Dia ingin tertawa melihat ekspresi menggemaskan adiknya. Namun hal itu jelas akan membuat Ara marah.
"Tidak!" Xander menggeleng tegas. Berusaha meyakinkan Ara. "Kakak hanya melihat sekitar. Rame sekali," lanjutnya, berusaha menghindar dari tatapan sang adik
"Baiklah. Awas saja jika Kakak sampai melamun lagi."
"Kenapa?"
"Ara bakal lempar Kakak ke tante-tante yang sering Mon bawa," ancamnya dengan binar jail.
Xander mendengus. Dia jelas tahu siapa tante-tante yang Ara maksud. Salah satu anak teman Angelina yang sangat agresif mendekatinya. Mungkin hanya wanita itu yang belum berhasil Xander singkirkan.
Xander lupa siapa namanya. Dia sangat payah mengingat nama yang menurutnya tidak penting. Tak ayal, kadang Xander salah menyebut nama rekan kencan butanya yang berakhir drama memuakkan.
Xander mengedikkan bahunya tak peduli. Mungkin di otaknya, dia hanya mengingat nama dengan terbatas selain keluarganya.
"Tante itu masih sering tanya Kakak ke Ara."
"Kamu nggak kasih tahu Kakak di mana, kan?"
Ara menggeleng kuat. Dia mengacungkan dua jari untuk meyakinkan jawabannya.
"Ara nggak suka Kakak sama tante itu. Make up-nya terlalu tebal. Apalagi pakaiannya bisa melorot kapan saja,a" jelas Ara dengan kepala yang mengingat penampilan wanita yang sering bertandang ke mansion keluarganya.
Ara sedikit bergidik mengingat wajah Tante itu. Meski Angelina sering menegurnya, Ara tak terbiasa menghilangkan panggilan itu.
"Kamu nggak usah mikirin itu." Xander meraup wajah Ara yang tampak menggemaskan. Sesekali tangannya menjawil hidung adiknya yang dingin
"Tapi kata Mom, Kakak harus berkenalan dengan tante itu agar kakak bisa menikah."
Xander menghela napas panjang. Uap udara keluar dari mulutnya. Ibunya itu, selalu saja mengatakan hal yang sama. Padahal Xander sudah menegaskan pilihannya.
Xander menatap Ara dengan lekat. "Ara, menurut kamu apakah Kakak harus menikah?"
"Iya!" Ara menjawab dengan mantap. Dia memberikan tatapan teduh pada Xander.
Tatapan yang diartikan lain oleh Xander sendiri. Xander segera membuang muka. Dia memilih mengabaikan pembahasan tersebut.
Hingga saat tiba di taman, ternyata bukan cuma manusia es yang menyambut mereka. Tapi kehadiran seorang pria yang sudah berdiri di sebelah manusia es tersebut
'Sama-sama manusia es,' cibir Xander.
Ara tampak sumringah. Tanpa persetujuan sang kakak, Ara sudah berlari mendekati pria tersebut. Wajahnya penuh binar Kebahagiaan.
"Ara kira Dave nggak akan datang," gumamnya dengan suara melirih.
Dave mengacak kupluk yang Ara pakai, sebelum tangannya mendarat dikedua bahu sang kekasih.
"Aku nggak akan biarkan kamu kecewa."
Ara semakin melebarkan senyumnya. Dia menghambur ke dalam pelukan sang kekasih. Melepaskan rindu yang teramat berat karena kesibukan Dave di kantornya.
Kerinduan yang Ara lampiaskan sekarang, sampai mengabaikan keberadaan Xander di sana.
Xander hanya menatap mereka datar dengan gelengan kecil. Dia memutuskan duduk di bangku taman yang masing kosong. Membiarkan Ara dan Dave melepas rindu berdua.
Cukup dari sini dia mengawasi sepasang manusia yang dimabuk asmara itu.