Aku tersenyum malu kala mengingat kejadian tadi pagi. Sungguh konyol, aku bahkan tidak menyangka jika Habib akan berani melakukan itu. Dia menciumku, mencium bibir ku! Wah, ini menjadi daftar baru dalam pernikahan kami.
Sebelumnya, dia tidak berani menciumku atau bahkan hanya menyentuhnya. Selain karena aku belum siap, dia juga tidak berani karena sesuai yang dia ucapkan dulu, bahwa dia tidak akan meminta haknya sebelum nama Umar hilang dari hati dan pikiranku.
Namun, jika memang Habib memintanya sekarang, aku juga tidak akan menolak. Itu sudah menjadi haknya sebagai suami jika harus mendapat jatah. Akan tetapi, dia ada benarnya juga. Akan lebih baik melakukan itu dengan perasaan, bukan hanya raga tanpa jiwa.
Pagi ini aku memasak sarapan dengan ikan nila goreng. Habib belum kembali dari sholat subuh di masjid. Seperti biasa, aku juga selalu menyiapkan teh hangat untuknya.
"Assalamu'alaikum." Terdengar seruan suara suamiku dari arah pintu. Aku tahu dia sudah pulang, karena aku mencium dengan jelas wangi parfumnya.
"Wa'alaikumsalam," jawabku.
Habib datang dan menghampiriku yang sedang menaruh hidangan di meja makan. Dia tersenyum hangat seperti biasanya.
"Teh-nya, Mas," kataku sambil menaruh teh di dekatnya.
Aku kembali mendekat ke arah kompor karena aku sedang menggoreng ikan. Aku menolah ke arah Habib, dia kelihatan diam sambil memandangi tehnya tanpa di sentuh. Mendadak perasaanku jadi tidak enak. Seperti ada sesuatu yang sedang dia pikirkan.
Apa Habib masih kepikiran tentang telepon dari Umar tadi? Aku merasa sangat berdosa kalau begini jadinya. Lagian Umar yang salah, kenapa dia harus terus-terusan menghubungiku dengan berbagai alasan. Jika saja dia bisa di ajak kompromi, mungkin semua drama ini tidak terjadi.
Aku mendekati Habib dan menyentuh bahunya. "Apa yang mengganggu pikiranmu?" tanyaku pelan.
"Tidak ada."
Aku tahu Habib berdusta. "Benarkah? Lantas kenapa Mas terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu?" tanyaku penuh selidik.
"Jika memang ada yang Mas pikirkan, memangnya kenapa?"
"Mas bisa cerita padaku. Aku istrimu, Mas. Jangan anggap aku seperti orang asing," kataku mencoba memberi pengertian.
Aku ingin menjadi seperti bunda yang selalu menjadi tempat ayah mencurahkan segala isi hatinya. Kadang, mereka pun tidak segan-segan menceritakan air masing-masing. Aku juga ingin menjadi seperti bunda, bagiku bunda adalah sosok istri panutan.
"Jika kamu istriku, lantas Mas ini suamimu, 'kan?" Aku mengangguki pertanyaan itu.
"Kalau begitu, kamu juga harus jujur tentang apapun yang terjadi padamu."
Mati aku. Ini seperti ilustrasi memberi makanan pada singa, tapi malah aku yang di makan. Maksud hati ini menawarkan diri untuk menjadi tempat curhat, eh dia malah menyuruhku curhat. Kalau begini, aku merasa sedikit menyesal sudah bertanya.
"Jadi—"
"Tunggu, Mas!" Hidungku menangkap bau tak sedap. "Seperti ada bau gosong," imbuhku lagi.
"Astaghfirullah! Aku sedang goreng ikan!"
Cepat-cepat aku berlari ke dapur lalu mematikan kompor. Ku lihat dua ekor ikan nila yang ku goreng tampak menghitam. Dengan menggunakan sutil, aku mengangkatnya secara perlahan dan menaruhnya di piring.
Habib datang dan ikut melihat ikan gosong itu. Dia kemudian tertawa terbahak-bahak. Sementara aku merengut melihat hasil gorengan ku itu.
"Ya, ampun, El ... kenapa bisa gosong begitu?" tanya Habib sambil terus tertawa.
Aku dengan wajah cemberut hanya bisa mendengus kesal. "Ih! Jangan tertawa, aku tidak suka!" omel ku.
"Makanya, lain kali masak yang benar. Jangan sambil mewawancarai suami," pesan Habib.
Aku semakin tidak suka dengan itu. Ikan hanya tinggal dua ekor dan sekarang sudah gosong. Lalu apa yang harus Habib makan untuk sarapan? Air mata ku jatuh tanpa sebab, seperti sudah gagal menjadi seorang istri.
"Hei, kenapa menangis?" Habib menghentikan tawanya dan mengelap air mataku. "Mas hanya bercanda, jangan menangis."
"Tapi ikannya gosong, sekarang Mas makan apa?" tanyaku dengan suara serak.
"Tidak apa-apa, Mas akan makan dengan ikan ini."
"Apa Mas bercanda lagi? Ikannya gosong, mana mungkin bisa di makan. Yang ada rasanya akan pahit," cela ku.
Aku menarik lengan bajunya untuk mengelap ingus. Tak apalah, lagi pula dia belum mandi.
"Ish, Kamu jorok sekali." Aku hanya nyengir kuda menanggapi ucapan Habib.
Habib mengambil piring berisi dua ikan gosong itu. Ya, ikan itu benar-benar gosong. Permukaannya hitam dan aku yakin rasanya pahit. Tapi kenapa Habib malah kelihatan suka? Dia mencium aroma ikan gosong seolah-olah wanginya begitu lezat dan menggoda.
"Ini, masih ada satu sisi dari masing-masing ikan yang tidak gosong. Mas bisa makan yang ini," katanya kemudian.
"Tapi pasti rasanya tidak enak."
"Siapa bilang?"
Tanpa menunggu lagi, dia langsung mengambil beberapa sendok nasi, membawanya ke meja makan lalu melahapnya dengan cepat. Dahiku mengkerut bingung, kok Habib mau makan ikan gosong?
"Beneran enak, Mas?" tanyaku sambil terus memperhatikan dia yang sedang makan.
"Iya, kamu mau?" tanya Habib dengan mulut penuh nasi. Aku hanya menggeleng.
Aku salut padanya, dia rela makan ikan gosong demi menyenangkan hati istrinya ini. Bahkan dia bisa makan dengan sangat lahap tanpa memperdulikan rasa ikan yang entah seperti apa rasanya. Dia benar-benar tidak mau melihatku sedih, setitik air mata yang jatuh tadi cepat-cepat di hapus dan menggantinya dengan sebuah senyuman.
"Mas, kenapa kamu mau makan ikan gosong? Padahal kan pasti tidak enak rasanya," tanyaku ketika dia selesai makan.
"El, dengarkan Mas mu ini. Mas akan makan apa saja yang kamu masak, termasuk ikan gosong. Karena Mas tau, kamu sudah berusaha menjadi istri yang baik."
Jawabannya simpel dan tidak berbelit-belit. Tidak romantis dan cukup mudah di mengerti. Tapi kenapa aku merasa senang mendengarnya?
Tapi Habib tidak tahu, seperti apa istrinya ini jika sudah di belakangnya. Aku bahkan tidak memikirkan perasaan Habib saat bertemu atau bercengkrama dengan Umar. Aku tahu Umar adalah adik iparku, tapi kami bukan mahram.
Habib memang baik, aku akui itu. Bahkan dia jauh lebih baik dari pada Umar. Tapi aku belum mencintainya sampai detik ini. Hanya ada rasa kagum yang aku sematkan padanya, dan harapanku semoga saja rasa kagum itu bisa membalas cintanya.
"Mas, apa kamu mencintaiku?" tanyaku iseng saat kami sedang menikmati acara tontonan pagi bersama. Mumpung masuk kuliah siang, aku bisa menikmati waktu senggang pagi ini.
"Pertanyaan konyol," decih Habib.
"Kok, konyol? Aku serius, Mas."
Habib mencubit hidungku dengan gemas. "Tentu saja aku mencintaimu! Kalau tidak, kenapa aku harus menikahimu?"
"Aww.! Sakit ..." rengek ku manja. "Tapi bagaimana jika aku tak kunjung mencintaimu?" tanyaku lagi.
"Mas akan berusaha membuatmu mencintai Mas, apapun caranya."
"Apapun?" tanyaku menatapnya sendu.
"Apapun." Aku tersenyum. "Kalau begitu, bantu aku untuk melupakan Umar, Mas," pintaku.
"Aku tidak tahu harus berbuat apa. Umar selalu membayang dalam setiap kegiatan ku. Kalau aku boleh jujur, sampai sekarang pun aku masih belum mencintaimu sedikitpun. Maaf, tapi ... aku memang belum mencintaimu," tuturku.
Habib merangkulku dalam dekapannya. Dia menarik napas yang sepertinya memang sulit sekali di lakukan. Aku tahu ini berat, tapi apa boleh buat?
"Mas akan membantumu, kita akan sama-sama berjuang. Okey?" Tatapan Habib sungguh menggetarkan jiwa.
Aku mengangguk lalu menariknya dalam pelukanku. Pernikahan indah yang aku dambakan, nyatanya tak seindah yang di bayangkan. Menikah dengan Habib, sama artinya untuk belajar melupakan. Dalam hidup, aku belajar bagaimana caranya untuk mengenal, memahami dan mencintai. Tapi aku tidak pernah belajar, melupakan, mengabaikan dan meninggalkan.
Namun sekarang, Habib akan mengajarkan itu padaku.