"Emang kenapa harus tutup mata?"
"Ya kalau ga mau aku ga mau kasih." Ancamnya. Sehingga aku pun menuruti maunya.
"Ok aku tutup mata deh."
Tiba-tiba sebuah kecupan mendarat di keningku. Dengan reflek aku membuka mataku.
Mataku dan matanya berhadapan, pandangan kita saling bertemu dan kita saling tatap sesaat dalam waktu yang cukup lama.
"Ruby. Aku benar-benar sayang sama kamu, maukah kamu menikah denganku Ruby, dan jadi pendamping hidupku untuk selamanya?"
"Aku tidak menolak Riz. Hidup denganmu adalah impianku selama ini." kataku terharu.
"Aku tau alasanmu Ruby. Alam kita yang sudah beda bukan?"
"Tidak apa-apa Ruby, kita nikah di alamku saja, aku tetap setia kok menanti kamu, tanpa tergoda wanita lain dari alamku ataupun alam manusia."
"Trimakasih Riz. Trimakasih, aku mau nikah sama kamu, matipun aku mau asal bisa bersama dengannmu Riz." Ucapku memeluknya erat, aku tak mau kehilangan dan jauh dari Rizky untuk yang keduakalinya.
"Ya sudah, kamu pakai cincin ini ya. Bukti keseriuaanku, sekarang kamu pulannglah. Besok malam kita jalan-jalan lagi, aku jemput kamu ya" ucapnya sambil tersenyum.
"Aku takut kamu tidak datang besok Riz."
"Kamu tidak percaya denganku Ruby? Surat saja aku menepati janji." Katanya sambil tersenyum memandangku.
Akhirnya akupun setuju di antar pulang olehnya, dan ketika tiba di depan rumah aku masih saja memegang erat tangannya.
Aku kaget dan panik tiba-tiba dari hidung dan kepalanya berdarah, membasahi kening dan pipinya.
"Rizky! Kamu sakit?" Tanyaku panik dan mengusap darah dari hidunya dengan tangannku.
Tapi dia malah tersenyum "Aku tidak merasakan sakit lagi Ruby, memang dulu aku mati kecelakaan, Arif sudah bercerita kan, sama kamu?"
Aku diam dan mengangguk. Tapi hati ini masih saja tak tega melihatnya.
"Yasudah pulanglah Ruby! Ini sudah jelang pagi." katanya dengan lembut dan dia menghilang di ujung jalan.
***
Sejak malam itu, aku selalu keluar malam ketika semua sudah terlelap dan suasana di luar sana sudah benar-benar sepi.
Aku pergi ketaman itu untuk bertemu Rizky, dan begitu seterusnya.
Sebulan kemudian aku sudah mulai tenang, aku tau dia sudah tiada, namun arwahnya masih terus bersamaku menemuiku setiap tengah malam hingga menjelang pagi.
Suatu hari papaku mengajak keluarga temanya untuk makan malam dirumah kami.
Kulihat temannya mengajak anak laki-kakinya yang sudah dewasa. Sepertinya dia seusia dengan Liana kakaku.
"Hay. Kenalin namaku Wahyu." sapa pria itu.
Dari situlah aku tau apa maksut beserta tujuan papaku mengajak teman dan keluarganya makan malam di rumah kami.
Bingung juga sih aku, mau ku respon atau tidak, jika aku respon pasti dia gr, jika tidak, dan tau dengan alasanku apa, pasti aku di kata gila.
Sejauh ini aku masih bisa mengendalikan diri, ketika kedua orang tuaku membahas soal Wahyu, aku masih bisa beralasan belum siap untuk dengan yang lain.
Namun hal itu tidak berjalan lama, suatu malam ketika suasana rumahku sudah sepi dan semua orang sudah pada tidur, seperti biasa aku mengendap-endap untuku keluar rumah.
Aku berjalan ke taman untuk menemui Rizky, seperti biasa aku selalu bercanda, ngobrol dan bermanja-manja padanya.
Begitulah aku setiap setiap hari di setiap malam aku selalu pergi untuk menemui Rizky tanpa sepengetahuan keluargaku.
Tapi ternyata aku salah. Ketika aku pulang dari taman Liana kakaku sudah duduk di kursi ruang tamu.
Aku kaget juga, merasa takut dan entahlah sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
"Dari mana kamu Ruby?"
"Emmbbb Anu kak...."
"Anu anu apa? Kamu pergi ketaman kan?" Kata kakaku yang kuduga sebelumnya pasti dia tau akan hal ini.
"Ruby! Kamu ikhlasin aja Rizky, Rizky itu sudah tidak ada. Mau sampai kapan kamu akan terus kaya gini?" kata kakaku lagi.
"Kak. Tolong lah ngertiin aku. Rizky itu tidak mati. Jasadnya saja yang mati dan di kubur tapi ruhnya masih hidup." kataku mencoba menjelaskan.
"Lalu jangan bilang kalau kamu tadi sedang bermain-main di taman dengan Rizky!"
"Oh kakak sudah tau? Ya sudah. Aku sayang sama dia kak. Aku cinta. Ini, dia sudah melamarku" kataku sambil menunjukan cincin yang melingkar di jari manisku.
"Ruby! Sadar Ruby! Yang kamu lakukan itu salah." bentak kakaku.
"Salah apanya kak? Dimana kesalahanku? jangan karna kakak masih terus dengan kak Sendif dan dia masih hidup menyalahkan aku!" kataku lagi yang juga tak kalah keras berteriak.
Pagi hari jelang subuh yang harusnya tenang tapi aku dan kakaku menimbulkan kegaduhan yang membuat kedua orang tuaku terbangun.
"Ruby! Liana! Kalian ini kenapa?" kata mamaku.
"Ini Ma, Pah. Jadi sekarang ini Ruby tiap malam selalu keluar rumah menui arwah Rizky." Ucap kakaku yang membuat kedua orang tuaku kaget.
"Ruby. Apa benar yang dikatakan Liana kakakmu?"
"Katakan Ruby! Katakan!" Ucap mamaku sambil menangis.
"Sudahlah ma. Dia tidak akan pernah mengaku, makanya dia selalu menolak Wahyu dan pria manapun, karna arwah Rizky sudah melamar dan ngasih cincin." Ucap kakaku geram.
"Ruby katakan pada kami Ruby, apa benar apa yang dikatakan kakakmu? Kami harap tidak begitu."
"Iya ma. Yang di katakan kakak benar, lalu kalaian mau apa? Aku cuma mau nikah sama Rizky saja tidak dengan yang lain!" kataku sambil lari ke kamarku.
Ketika aku di kamar mamaku datang membujuku, dia berkata kalau aku harus ikhlasin Rizky agar dia tenang di sana.
Tapi aku masih saja tetap kukuh dengan pendirianku, selama ini dia menantiku juga. Dia pula yang melingkarkan cincin di jari manisku.
Aku merasa mereka semua tidak tau apa-apa.
Sejak malam itu, aku dilarang lagi keluar malam, mereka mengunci kamarku dan tidak pernah menyerakan kunci itu padaku.
mereka hanya membiarkanku dan memberikan aku keluar di siang hari saja.
Dua malam sudah aku terkurung dalam kamarku, tapi mengejutkan, Rizky datang kemari.
"Rizky! Kamu datang? Orang tuaku melarang aku keluar Riz, mereka mengunciku dari luar, tau tidak?"
"Yasudahlah tenang saja! Aku yang akan datang Ruby." Kata Rizky sambil memeluku.
"Riz."
"Iya Ruby."
"Apakah aku perlu menyusulmu agar tak ada yang halangi kita berdua, agar kita bisa bersatu selamanya?"
"Lalu maksut kamu?"
"Aku rela mati untuk kamu Riz."