Tidak. Ardha Candra tidak mungkin memaksakan keinginannya. Memaksa Yeni untuk mencarikannya sebuah pekerjaan? Itu tidak mungkin sebab Yeni sudah tidak lagi bekerja di perusahaan yang dulu pernah diketahui oleh Ardha Candra. Temannya itu sekarang hanya membuka sebuah toko kecil dengan berjualan karangan bunga dan beberapa cinderamata bersama suaminya.
Ya, kalau Yeni masih bekerja di tempat yang sama, mungkin 'permintaan kecil' itu akan bisa terpenuhi, pikir Ardha Candra sembari melangkah di sepanjang trotoar. Ia terlihat seperti seorang yang linglung, tidak tahu lagi harus ke mana.
Untuk pulang ke rumahnya, kali ini Ardha Candra terpaksa menggunakan angkutan umum sebab bila ia memaksa menggunakan taksi seperti tadi, sudah dapat dipastikan ia akan kekurangan uang untuk membeli makan malam, nanti.
Clara Dimitrova tetap membuntuti laki-laki itu dari jarak berjauhan. Namun sampai saat itu ia tidak menemukan atau melihat sebarang hal yang mencurigakan dari pria yang diawasinya tersebut. Semua terlihat sebagai sebuah kegiatan yang biasa-biasa saja. Meskipun begitu, Clara tidak ingin menjadi lalai sedikit pun.
Dan ya, sang detektif wanita memang membuntuti Ardha Candra, bahkan hingga pria itu tiba di rumahnya setelah bergonta-ganti angkutan beberapa kali.
Saat Ardha Candra tiba di rumahnya hari sudah senja, langit terlihat berwarna keemasan di ufuk barat.
Clara Dimitrova menghentikan mobilnya di posisi yang sama seperti sebelumnya. Menggunakan teropong untuk mengawasi sosok pria yang sedang membuka pintu depan rumah tersebut.
Pria itu terlihat sangat-sangat tidak bergairah kala memasuki rumahnya.
Ardha Candra melemparkan saja kunci rumah ke atas meja yang ada di ruang tamu, ia melangkah menuju ruang tengah bemaksud hendak menuju dapur sebab ia merasa sedikit haus.
"Jadi kau orangnya!"
Ardha Candra terkejut bukan kepalang ketika melihat ada tiga orang yang ternyata sudah menunggu kedatangannya di ruang tengah itu.
"Siapa kalian?"
Pastinya pria itu tidak senang dengan ketiga sosok tersebut sebab telah menerobos masuk ke dalam rumahnya. Terutama pada sosok wanita yang tidak lain adalah Eredyth itu.
"Bagaimana kalian bisa masuk ke dalam rumah ini?"
Eredyth yang sedang duduk santai di atas sofa tertawa pelan seraya melipat satu kaki di atas kaki lainnya. Dua laki-laki yang menemaninya sama berdiri di dekat Eredyth.
"Keluar sekarang juga!" hardik Ardha Candra pada ketiganya. "Atau aku akan memanggil polisi!"
Sementara di sisi luar, Clara Dimitrova tidak mendengar suara hardikan dari Ardha Candra tersebut disebabkan posisinya mengintai cukup jauh. Lagipula, Ardha Candra tidak benar-benar berteriak kencang.
"Kasar sekali," ujar Eredyth.
Dua laki-laki itu bergerak dengan cepat setelah Eredyth melirik mereka dengan tatapan yang mengisyaratkan sebuah perintah.
Meski bukan seorang pesilat atau petarung sekalipun namun Ardha Cadra memiliki insting yang cukup peka. Sehingga, ketika dua laki-laki itu melompat ke arahnya, ia sudah bersiap-siap dengan kuda-kuda pertahanannya.
Pria yang di kanan melayangkan tangannya yang sepertinya hendak mencengkeram leher Ardha Candra, tapi serangan itu bisa dielakkan. Ardha Candra memiringan tubuhnya jauh ke kiri.
Sayangnya, pria yang di kiri tidak tinggal diam, sekali tangannya bergerak, Ardha Candra melenguh pendek sebab perutnya terkena pukulan pria yang di kiri.
Ia terbungkuk-bungkuk dengan wajah memerah, lalu jatuh berlutut di lantai.
Setelah itu, pria di kiri itu meraih kerah baju Ardha Candra bagian belakang dan lantas melemparkan laki-laki tersebut ke arah Eredyth.
Crash!
Clara Dimitrova sedikit terkejut mendengar suara kaca pecah dari arah rumah yang ia intai. Tidak menunggu lebih lama, sang detektif segera keluar dari dalam mobilnya. Ia mengawasi keadaan sekitar, sepertinya memang sedang sepi, dan bergegas melangkah ke arah rumah Ardha Candra dengan senjata api yang ia siagakan di tangan.
Ardha Candra menggeliat dengan erangan halus dari mulutnya, ia merasakan punggungnya remuk sebab jatuh dan menimpa meja kaca di tengah-tengah ruangan itu. Belum habis rasa sakit yang ia rasakan, dua orang pria asing itu mengangkat dengan paksa tubuhnya.
"Apa benar kau yang telah membunuh salah seorang Nimfa itu?" ucap Eredyth lalu menyeringai kecil.
Ardha Candra masih terbungkuk-bungkuk, ia berada dalam genggaman dua pria asing, ia tidak bisa bergerak bebas sebab kedua tangannya sama dipegangi dua pria itu.
"Aku mulai ragu dengan apa yang dikatakan Aka Manah."
Dua pria muda yang memegang Ardha Candra saling pandang. Bagaimanapun, ucapan Eredyth sedikit masuk akal bagi keduanya. Pria yang mereka pegangi itu terlihat sangat lemah, dua kali serangan saja ia sudah tersungkur. Lalu, bagaimana mungkin ia bisa membunuh seorang Nimfa? Mustahil!
"Ak—aku tidak mengenal kalin bertiga," ujar Ardha Candra, "kenapa kalian menerobos masuk rumahku? Dan kalian menyerangku?"
Eredyth lantas berdiri, ia mendekati Ardha Candra. Ia sedikit membungkuk demi menatap langsung ke mata pria itu sebab posisi pria itu sendiri yang setengah membungkuk. Dua pria asing yang merupakan rekan Eredyth menahan tangan dan punggung Ardha Candra sedemikian rupa.
"Kau yang bernama Ardha Candra?"
"Kalian salah orang!" dengus Ardha Candra yang mencoba meronta demi melepaskan diri dari cengkeraman dua pria yang sepintas tidak lebih tua dari dirinya itu.
Eredyth terkekeh sembari menegakkan punggung, lalu satu tangannya melayang.
Slap!
Ardha Candra mengerang pendek, lagi. Pipi dan telinga kirinya berdenging kencang terkena tamparan keras dari wanita muda di hadapannya itu. Bahkan, sudut bibir di sisi yang sama terluka hingga mengeluarkan darah yang mengalir cepat ke dagunya.
Sementara itu, Clara Dimitrova berhasil mendekati rumah itu, dan sekarang berada di samping pintu depan. Dengan gerakan yang sangat perlahan ia mencoba memutar handle pintu. Beruntung, pintu itu tidak dalam keadaan terkunci.
Langkah detektif wanita itu terhenti sejenak ketika ia mendengar suara tamparan keras, dan ini semakin menyulut keingintahuannya tentang apa yang sedang terjadi di dalam rumah tersebut.
"Kau boleh saja menampik kebenarannya, tapi aku punya semua informasi itu."
Eredyth lantas menggunakan satu tangan mencekal dagu Ardha Candra. Dan memaksa pria itu untuk menengadah memandang kepadanya.
"Kau mengatakan kepada Dokter Arya," ujar Eredyth, lagi. "Kepada dua perawat itu, juga para polisi yang menginterogasimu."
"Apa yang ingin kau katakan, hah?" Ardha Candra mendengus kencang.
Cengkeraman tangan wanita muda itu pada dagunya terasa menyakitkan bagi Ardha Candra.
"Yang ingin kukatakan adalah…"
Eredyth mendekatkan wajahnya ke wajah pria tersebut hingga jarak mereka kini terpaut hanya sejengkal saja.
"…Kau sudah membunuh salah seorang teman kami."
"Membunuh?" ulang Ardha Candra dengan pupil mata yang membesar. "Kau yakin?"
Eredyth sedikit merasa kesal dengan pria tersebut, seolah-olah ia sengaja mempermainkan ucapannya. Wanita yang menggunakan wujud dari anak gadis Dokter Arya itu memberikan isyarat mata pada kedua temannya untuk sedikit menjauh.
Dua pria muda melepaskan cengkeraman mereka di tangan dan punggung Ardha Candra. Dan kemudian…
Thump!
TO BE CONTINUED ...