Chapter 22 - Mesum

Pukul 5.30 pagi, detektif wanita itu baru saja sampai di depan pintu apartemennya. Ia merasa begitu lelah dengan semua kasus yang terjadi belakangan ini tanpa ada petunjuk pasti. Di saat ia merasa hampir saja bisa mengungkap pelaku pembunuhan itu, ternyata semua kembali ke titik nol.

Pasien yang satu itu mungkin memang bukan pelakunya, tapi kepingan teka-teki yang tercipta jelas ada pada laki-laki tersebut, begitu pikir Clara Dimitrova seraya membuka pintu apartemennya tersebut.

Ingin saja rasanya ia segera mengempaskan tubuhnya itu ke atas ranjang, namun Clara merasa gerah, juga tubuh yang sedikit lengket karena sepanjang malam bergerak ke sana-sini demi memecahkan kasus pembunuhan sadis yang sedang marak.

Jadi, sebelum menuju ke kamar tidurnya, Clara lebih memilih ke kamar mandi terlebih dahulu. Setidaknya, ia merasa kucuran air di shower itu pastilah dapat memberikan sedikit kesegaran dan ketenangan baginya. Meskipun banyak orang berkata bahwa mandi setelah begadang semalam suntuk itu tidak baik dilakukan sebelum kau tidur barang sekejap.

Nonsense, pikir Clara Dimitrova. Tubuh ini tubuhku, dan hanya aku yang tahu apa yang dibutuhkan tubuh ini.

Satu per satu pakaian di tubuhnya ia lepas, dan dilemparkan ke atas kursi ruang depan begitu saja. Tubuh elok telanjang dengan buah dada yang besar itu mungkin akan membuat nafsu pria langsung melonjak ke titik tertinggi andai melihat Clara tanpa pakaian sehelai pun seperti sekarang itu.

Tapi, lantaran tidak ada seorang pun di sana, Clara santai saja melangkah memasuki kamar mandi.

Yep, benar sekali. Clara Dimitrova tersenyum lebar dengan kedua mata yang terpejam kala berada di bawah kucuran air dari shower di atasnya. Setiap inci tetesan air yang membasahi kulit tubuhnya terasa memberikan kesegaran yang lebih.

Dan Clara Dimitrova benar-benar menikmati itu.

*

Sementara itu di rumah sakit di dalam kamarnya, Ardha Candra sudah bersiap-siap akan meninggalkan rumah sakit tersebut.

Sayangnya, tidak ada sosok Dokter Arya di sana yang mendampinginya. Hanya si perawat laki-laki itu saja yang datang dengan membawakan surat hasil rekam CT-Scan sebelumnya.

"Silakan nanti singgah dulu di resepsionis," ujar si perawat. "Barang-barang bawaan Anda tersimpan di sana."

"Terima kasih."

"Dan satu lagi… Maaf, soal yang semalam."

"Tidak masalah," ujar Ardha Candra pula. "Ouh iya, sampaikan salam dan terima kasih saya pada Dokter Arya."

"Pasti," angguk si perawat.

Dan setelah itu, Ardha Candra pun akhirnya meninggalkan kamar perawatan itu sementara si perawat laki-laki masih berada di sana guna melakukan pembersihan pada ruangan tersebut.

Ardha Candra melangkah ringan di sepanjang koridor itu menuju lift untuk turun ke lantai bawah. Tidak ada yang dapat mengalahkan perasaannya kala itu sebab merasa terlahir kembali, terlebih lagi dengan segala hal yang memusingkan sebelumnya itu sudah akan ia tinggalkan di belakang.

Tidak ada urusannya denganku. Sekarang, lebih utama menatap masa depan. Kehidupan baru, pekerjaan baru.

Saat berada di lantai bawah, Ardha Candra bergegas menuju meja resepsionis yang lebar dan panjang yang berada di tengah-tengah ruangan sebagaimana yang dipesankan oleh si perawat itu tadi.

"Pagi, Mbak," sapa Ardha Candra pada salah satu dari dua orang wanita di belakang meja tersebut.

"Pagi. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya ingin mengambil barang-barang saya, Mbak," ujar Ardha Candra seraya memperlihatkan gelang tanda ia adalah pasien di rumah sakit tersebut sebelumnya.

"Atas nama siapa, Pak?"

"Ardha Candra."

"Sebentar," ujar wanita berpakaian serbaputih itu, ia lantas mengutak-atik keyboard di hadapannya, lalu menemukan list nama yang dicari pada layar komputer di atas meja itu. "Mohon tunggu sebentar," pintanya seraya bangkit.

Ardha Candra mengangguk, dan entah sengaja atau tidak, laki-laki tersebut justru menikmati goyangan pinggul si wanita yang tercetak jelas di permukaan rok spannya itu. Tidak ada bayang celana dalam di sana, pikirnya, atau jangan-jangan wanita itu menggunakan G-string?

Boleh juga, tuh, Ardha Candra tersenyum.

Namun senyum itu serta merta lenyap kala tatapannya beradu pandang dengan wanita yang satu lagi di balik meja tersebut.

Ardha Candra tersenyum kecut, menundukkan pandangan. Jelas wanita itu menangkap basah kelakuannya barusan yang mengecek tubuh rekan si wanita. Dan sangat jelas juga bagi laki-laki itu sendiri bahwa pandangan wanita itu menyorotkan ketidaksukaan atas apa yang sudah ia lakukan.

Pagi yang indah sekali!

Kenapa tiba-tiba aku menjadi cabul begini? Apa yang terjadi padaku? Atau jangan-jangan ini semua gara-gara tabrakan itu dan segala operasi yang dilakukan para dokter terhadap tubuh dan kepalaku?

Ya, pasti begitu!

Selang semenit kemudian wanita yang satu lagi itu kembali dengan membawa satu wadah berbentuk persegi dari plastik dan di dalam keranjang itu terdapat berbagai barang milik Ardha Candra.

"Silakan," ujar wanita tersebut sembari meletakkan wadah tersebut ke atas meja di hadapan Ardha Candra.

"Terima kasih," ucap laki-laki itu.

Ardha Candra tersenyum senang meraih dompet miliknya itu, ia membuka dompet tersebut dan menemukan beberapa lembaran pecahan lima puluh ribu rupiah dan lembaran seratus ribu rupiah.

Di dalam dompet itu juga ia menemukan kartu identitas miliknya, beberapa kartu nama, dan kartu ATM tabungannya. Mungkin ia bisa berharap lebih pada benda itu nanti.

Ardha Candra memasukkan dompet tersebut ke saku belakang celana dasar yang ia pakai.

Lalu ada jam tangan, ia tersenyum lagi sebab arloji tersebut dalam keadaan baik-baik saja dan masih berfungsi. Segera ia memakai arloji itu di tangan kirinya.

Lalu ada sebuah ponsel, namun Ardha Candra sedikit kecewa sebab sepertinya ponsel itu dalam keadaan rusak. Yaah, pasti gara-gara pas kecelakaan itu dan tercebur ke dalam sungai, air merusak benda elektronik tersebut. Tapi biarlah, ia tetap memasukkan ponsel itu ke saku depan celananya.

Aku butuh ponsel baru.

Dan terakhir ada sebuah kotak kecil berlapis beledru merah. Memandang benda itu, sorot mata laki-laki tersebut langsung berubah. Ia tahu pasti cincin berlian itu sudah tidak ada lagi di dalam sana, dan ingatannya langsung kembali pada sosok sang tunangan yang sedang bergerak turun-naik di atas tubuh seorang rekan bisnisnya.

Dasar murahan!

Tapi, tetap saja ia raih kotak tersebut, menggenggamnya dengan kuat di telapak tangan.

"Terima kasih, Mbak," ujar Ardha Candra lagi dan berpamit diri. "Permisi."

"Sama-sama," ujar wanita itu dengan senyumnya yang sangat manis. "Silakan."

Ardha Candra tersenyum lebar, dan lagi-lagi bayangan bokong wanita itu yang begitu sintal membayang di dalam kepalanya. Otomatis, pandangan Ardha Candra beralih pada rekan wanita tersebut.

Yep! Tatapan yang sama. Lebih baik aku cepat-cepat pergi dari sini.

Dengan sikap tubuh yang sedikit gugup Ardha Candra akhirnya berlalu dari hadapan kedua wanita tersebut.