Chapter 19 - Reaksi yang Sama

"Ada yang bisa Anda ceritakan?" tanya wanita itu lagi. "Atau, setidaknya soal apa yang dilakukan perawat itu ketika dia kembali lagi untuk memeriksa keadaan Anda?"

Ardha Candra tetap diam, hanya pandangannya saja yang sesekali berpindah dari detektif wanita itu ke rekan si detektif itu sendiri, lalu melirik sang dokter di samping, kemudian berpindah pada sosok perawat gendut itu, juga polisi berseragam lengkap di sana.

"Orang yang keras kepala!" dengus detektif yang laki-laki.

Ardha Candra mendengar ucapan itu, sementara si detektif wanita semakin menyeringai sedikit hilang kesabaran.

"Semakin cepat Anda memberi tahu kami apa yang sudah berlaku sesungguhnya, semakin cepat pula kami meninggalkan ruangan ini, membiarkan Anda beristirahat. Bisa?"

"Kalau kalian memaksa," ujar Ardha Candra, lalu sesaat melirik pada Dokter Arya.

"Bagus!" ujar si detektif wanita.

Satu senyuman tipis muncul di sudut bibir Ardha Candra, ia tidak yakin jika apa yang nanti akan diceritakannya bisa dipercayai oleh kedua detektif tersebut, juga polisi yang di belakang mereka, sedangkan Dokter Arya saja tidak mempercayai hal itu sebelumya.

"Perawat itu—atau siapa pun dia sebenarnya," kata Ardha Candra kemudian, "datang bukan untuk memeriksa keadaan saya."

"Maksud Anda?" tanya si detektif wanita dengan pandangan miring terhadap pasien tersebut.

"Pak Candra!" tukas sang dokter yang setidaknya mengetahui apa yang akan dikatakan pasiennya itu. "Saya rasa—"

"Dokter Arya!" seru detektif wanita itu lagi seraya memutar pandangannya ke arah sang dokter. "Tolong. Diamlah barang sebentar!"

Detektif laki-laki itu menyeringai memandangi sang dokter yang kembali terpaksa berdiam diri.

"Anda cukup melihat dan mendengar saja, Dok," ujar detektif laki-laki itu. "Dan bila kami bertanya kepada Anda nanti, silakan Anda bersuara."

"Kalian orang-orang menyebalkan yang memanfaatkan jabatan," dengus Arya setengah tak terdengar.

Detektif laki-laki itu semakin menyeringai menatap tajam ke mata sang dokter.

"Teruskan!" titah detektif wanita itu pada Ardha Candra. "Apa maksud Anda bahwa Lisa Dharmansyah mendatangi Anda tapi tidak untuk memeriksa kondisi Anda? Apa dia ketinggalan sesuatu di kamar itu?"

"Bukan," sahut Ardha Candra. "Dia—makhluk itu…"

"Makhluk?"

"Terserah!" dengus Ardha Candra yang sedikit kesal sebab sang detektif memotong lagi ucapannya. "Tapi perawat yang kalian kira seorang wanita itu nyatanya adalah satu makhluk jejadian."

"Apa yang Anda katakan itu, Pak Candra?" Detektif wanita geleng-geleng kepala.

Ia lantas melipat lagi satu kaki di atas kaki lainnya. Bertopang dagu dengan satu tangan yang sikunya bertumpu pada lutut teratas. Sedikit menjulurkan tubuh lebih mendekat kepada Ardha Candra.

"Baiklah," lanjut detektif wanita tersebut. "Kita anggap saja halusinasi yang Anda ciptakan itu satu kebenaran. Lalu… karena Anda panik, Anda membunuhnya, begitukah?"

"Sepertinya Anda sendiri yang berhalusinasi," tukas Ardha Candra menantang tatapan tajam sang detektif kepada dirinya itu. "Sudah saya katakan kepada kalian, lihat saja rekaman CCTV yang kalian punya, apa sulitnya?"

"Kami pasti akan melakukan itu," sahut si detektif laki-laki. "Faktanya, kami juga sudah melihat rekaman itu satu kali."

"Bagus!" ujar Ardha Candra pula. "Terus? Apa kalian dapat buktinya?"

"Lupakan saja itu dulu!" kata si detektif wanita. "Lanjutkan saja cerita Anda."

"Anyway," ujar Ardha Candra lagi. "Justru perawat itulah yang ingin membunuhku."

"Begitu?" Senyum ganjil yang penuh ketidakpercayaan kembali muncul di sudut bibir sang detektif wanita. "Menarik."

"Terserah pada kalian mau percaya atau tidak," dengus Ardha Candra yang merasa seperti orang bodoh saja di tengah-tengah petugas Kepolisian tersebut. "Yang jelas, begitulah yang terjadi. Awalnya perawat itu memang mirip dengan sosok yang ada di dalam foto itu," Ardha Candra melirik lagi lembaran foto besar di tangan si detektif wanita. "Tapi sekejap kemudian dia berubah menjadi makhluk setengah biawak yang menjijikkan. Dan berusaha mengunyah kepalaku."

"Lalu, ke mana sekarang makhluk jejadian itu?"

"Entah!" sahut Ardha Candra dengan mengendikkan bahu. "Andai saja sisa-sisa tubuhnya tidak menguap begitu saja, sudah barang tentu kalian semua akan melihat bukti kebenaran dari ceritaku."

"Jadi," detektif wanita menggeser kursinya, semakin mendekat kepada Ardha Candra. "Maksud Anda, karena satu alasan perawat itu berubah menjadi makhluk setengah biawak, dan kemudian mati. Begitukah?"

"Kurang lebih," sahut laki-laki itu dan memilih untuk tidak menceritakan bahwa dialah yang membunuh makhluk jejadian tersebut dengan pedang hitam pemberian Malaikat Jibril.

Mengada-ada. Pasti itulah yang akan dipikirkan semua orang di sana bila Ardha Candra memaksa untuk menceritakan semua yang ia alami sebelumnya itu.

Siapa yang akan percaya?

"Kenapa?" tanya detektif wanita itu lagi. "Jika makhluk itu begitu baik memperlihatkan wujud aslinya kepada Anda, kenapa dia harus mati lalu menguap?"

"Baik?" ulang Ardha Candra. "Kalian bilang dia makhluk yang baik?"

"Mungkin saja, bukan?"

"Menyedihkan!" Ardha Candra mendengus lagi. "Mana ada makhluk baik yang tega-teganya mau memecah kepala seorang pasien yang baru siuman dari koma sepertiku? Jangan-jangan Anda sedang mabuk, Nona Detektif?"

"Hei!" sanggah detektif laki-laki yang merasa kesal sebab Ardha Candra seperti sengaja mengolok-olok rekannya tersebut. "Jaga ucapanmu, Bung!"

Detektif wanita merentangkan tangannya, dan itu cukup dimengerti oleh sang rekan yang sedang emosi. Ia kemudian tenang kembali.

"Baiklah, baiklah," ujar si detektif wanita. "Lalu, jika tujuannya seperti itu, jelas Anda tidak mungkin melakukan perlawanan, bukan? Karena, sejatinya orang yang baru siuman dari kondisi koma yang panjang butuh waktu berjam-berjam bahkan berhari-hari untuk bisa menggerakkan tangan dan kakinya dengan normal kembali."

Ardha Candra diam saja. Tentu, memang begitulah seharusnya. Ia sendiri juga membutuhkan waktu bermenit-menit untuk bisa menggerakkan tangan dan kakinya, bahkan sampai terjerembap kala memaksa berdiri.

"Yaa, memang seperti itu keadaannya," ujar Ardha Candra yang harus memutar otak untuk bisa terbebas dari semua interogasi yang memusingkan kepala.

"Itu aneh," kata detektif wanita itu lagi.

"Tidak akan menjadi aneh andai kalian menyaksikan semua itu!"

"Bukan itu yang saya maksud," lagi-lagi satu seringai muncul di sudut bibir si detektif wanita. "Anda dalam kondisi yang tidak mungkin bergerak bebas, lalu di tengah ancaman makhluk setengah biawak, bukan?" Ardha Candra mengangguk. "Saya malah takjub Anda sendiri dalam kondisi baik-baik saja sekarang ini, tapi tidak dengan Lisa Dharmansyah. Apa itu tidak aneh bagi Anda, hemm?"

"Mungkin," sahut Ardha Candra. "Hanya saja, mungkin dia tidak terbiasa terkena udara langsung. Jadi, ya… tubuh makhluk itu hancur dengan sendirinya sebelum sempat mengunyah kepala saya."

"Maksud Anda?"

"Bisa saja itu sosok alien, kan?" ujar Ardha Candra yang bermain peran sedikit bodoh dan lugu di sana, dan berharap cara ini akan membuatnya terlepas dari semua hal.

Detektif wanita itu tertawa tanpa suara, ia melirik kepada rekannya. Jelas, wajah kedua orang tersebut sangat-sangat tidak mempercayai apa yang disampaikan pasien tersebut.