Chapter 20 - Kepingan Puzzle

Detik selanjutnya ponsel milik si detektif wanita itu berbunyi, ia pun menjawab panggilan tersebut.

"Ya?" ujarnya begitu ponsel berada di telinganya.

"Sayang sekali Clara," ujar suara laki-laki di balik sambungan. "Pasien itu tidak terlihat keluar sama sekali pada jam perkiraan kematian Lisa Dharmansyah."

"Kamu yakin?"

"Ya, tentu saja. Kami sudah memeriksa rekaman CCTV rumah sakit ini berkali-kali, semua sudut."

"Begitu, ya?"

"Pasien itu terlihat keluar hanya setelah didatangi Dokter Arya bersama dua perawat lainnya. Itu sekitar lima belas menit dari waktu penemuan jasad perawat tersebut. Jadi, siapa pun pelakunya, tidak mungkin pasien itu terlibat."

"Baiklah, terima kasih."

Detektif wanita itu lantas kembali menyimpan ponselnya. Ia menghela napas panjang. Bagaimanapun, dengan semua bukti yang ada itu jelas Ardha Candra terlepas dari tuduhan. Hanya saja kepingan puzzle itu seolah meninggalkan hal yang sangat-sangat tidak masuk akal bagi sang detektif.

Kalaupun memang kesaksian si perawat gendut itu adalah benar—dan kenyataannya memang seperti itulah yang terlihat dari bukti rekaman CCTV—lalu, bagaimana caranya korban bisa keluar tanpa tertangkap oleh kamera pengawas yang sama?

Atau, bagaimana seseorang yang membunuh perawat itu bisa membawa tubuhnya dari kamar perawatan itu ke TKP di mana tubuh Lisa Dharmansyah ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Bagaimana caranya? Lima blok, jarak yang cukup jauh.

Akan tetapi, untuk sekarang ini, sang detektif tidak bisa berbuat apa-apa. Ia juga tidak bisa menahan Ardha Candra begitu saja sebab tidak ada bukti-bukti yang bisa menguatkan alasan tersebut, meski kepingan teka-teki itu jelas terlihat nyata.

"Baiklah, Pak Candra," ujar detektif wanita itu sembari berdiri dari duduknya. Ia mengeluarkan sebuah kartu nama dari balik blazer yang ia pakai, lalu menyerahkan kartu nama itu kepada Ardha Candra. "Tolong, hubungi saya jika ada sesuatu yang mungkin bisa Anda beritahukan kepada kami."

Ardha Candra menerima kartu nama tersebut, dengan demikian jelas ia merasa sedikit bisa bernapas dengan lega.

Clara Dimitrova, 27 tahun, Polisi Detektif.

Hemm, menarik, gumam Ardha Candra membaca kartu nama tersebut. Pantasan cantik, sepertinya dia mewarisi darah Rusia atau negara-negara pecahan Uni Soviet lainnya. Dada yang besar, perut dan pinggang yang ramping, bokong yang tinggi…

Shit… kenapa aku memikirkan hal ini lagi?

Ardha Candra berdeham. "Mungkin," ujarnya menjawab permintaan detektif wanita bernama Clara itu.

Clara tersenyum, lalu beralih pada sang dokter. "Terima kasih kerja samanya Dokter Arya. Kami permisi."

"Maaf, saya tidak mengantar," balas Arya dengan sedikit sarkas.

Clara hanya tertawa tanpa suara menanggapi, setelah itu ia pun mengajak rekannya meninggalkan ruangan tersebut. Dan polisi berseragam lengkap itu pun keluar pula dari dalam kamar perawatan itu.

"Kembalilah ke pekerjaanmu!" titah Arya pada perawat bertubuh gemuk yang masih memandang Ardha Candra dengan sorot kebencian sebab ia masih menaruh curiga bahwa laki-laki itulah yang telah membunuh Lisa Dharmansyah. "Apa kau mendengar ucapanku?"

"Ma—maaf, Dok," ujar perawat itu sedikit gugup, dan kemudian berlalu dari kamar tersebut.

"Maaf, Pak Candra. Waktu istirahat Anda jadi terganggu dengan kehadiran kami di sini."

"Tidak masalah, Dok."

Yaa, dokter yang satu ini sudah terlalu baik kepadanya. Hanya karena para polisi itulah sang dokter terpaksa langsung datang dari rumahnya yang berarti juga mengorbankan waktu istirahatnya sendiri, padahal esok hari ia pasti harus berjibaku lagi menangani pasien lainnya.

"Istirahatlah," saran sang dokter.

"Anda juga, Dok. Anda terlihat sangat kelelahan."

"Pasti."

"Ngomong-ngomong, Dok," ujar Ardha Candra lagi. "Bisakah saya pulang pagi ini?"

Dokter Arya memikirkan satu dua hal, laporan CT-Scan itu pastilah sudah ada di meja di kantornya. Sekalian saja, pikirnya, untuk mengecek laporan itu. Lagipula, sang pasien sesungguhnya sudah dalam keadaan baik-baik saja, ia cukup tahu itu.

"Baiklah, Pak Candra. Saya permisi."

"Terima kasih."

***

Pukul empat subuh lewat sepuluh menit, Arya mendesah pendek kala memandang penanda waktu digital pada dashboard mobilnya itu. Tersisa paling banyak dua jam lagi saja baginya untuk bisa beristirahat barang sejenak sebelum tepat pukul delapan nanti ia sudah harus berada di rumah sakit itu lagi.

Dasar orang-orang menyebalkan, dengusnya di dalam hati. Tidak adakah hal lain yang bisa dilakukan manusia selain mencurigai satu sama lain? Atau saling menyakiti? Membunuh?

Sang dokter menginjak pedal gas dan membawa mobilnya itu semakin melaju kencang, ia ingin segera tiba di rumahnya dan memejamkan mata di atas pembaringan yang empuk meski hanya sekejap.

Jalan menuju perumahan di mana sang dokter tinggal masih ada beberapa kilometer lagi, suasana di subuh itu masih terlihat cukup lengang dan remang-remang.

Di satu belokan jalan yang mengarah ke kanan, Arya melihat seperti ada sosok seseorang yang berlari menerabas semak belukar di sisi kiri menuju jalan raya yang akan ia lalui.

Benar saja. Itu seorang wanita dengan pakaian di tubuhnya nyaris tak berbentuk, robek di sana-sini.

Wanita yang hanya mengenakan sebelah sepatu itu naik ke badan jalan, lalu merentangkan tangannya lebar-lebar demi meminta perhatian dari Arya.

"Berhenti…! Tolong saya!"

Sang dokter dengan cepat menginjak pedal rem hingga mobil itu berhenti dengan didahului suara berdecit kencang. Mobil terhenti tepat satu meter di hadapan wanita tersebut.

Dengan nalurinya sebagai seorang dokter, Arya bergegas keluar dari dalam mobil lalu mendekati si wanita.

Siapa pun dia, dia butuh pertolongan. Segera!

"Apa yang terjadi padamu?" tanya Arya seraya memapah wanita tersebut.

"Tolong!" pinta wanita itu mengiba-iba dengan memilukan. "Selamatkan saya. Selamatkan saya!" jeritnya dengan suara yang amat serak. Hanya saja, saking seraknya suara itu, suara yang keluar justru terdengar seperti teredam.

Arya mengedarkan pandangannya ke sekeliling, sepi. Lalu ke dalam rumpun semak belukar yang lebat di sisi jalan itu. Tapi percuma saja, terlalu gelap untuk bisa ia amati. Hanya gerakan-gerakan tak jelas dari ranting-ranting pepohonan saja yang bisa terlihat.

Benar. Wanita itu nyaris telanjang, bahkan sebelah payudaranya terpampang begitu saja, bergelayutan sebab baju berlengan tiga per empat yang ia kenakan itu sudah tidak keruan bentuknya. Begitupula rok span pendek yang ia kenakan, robek di sana-sini, di bagian tengah depan bahkan robek panjang hingga memperlihatkan celana dalam putih yang ia pakai.

Rambut sebahu wanita itu acak-acakan, begitu juga dengan lipstick merah di bibirnya itu. Sebelah mata terlihat lebam membiru, ada jejak darah di kedua lubang hidungnya, juga di salah satu sudut bibir. Kedua tangan dan kaki terlihat kotor oleh tanah.

Tebakan terbaik yang ada di dalam kepala Arya adalah bahwa wanita ini baru saja diserang seseorang yang hendak memperkosanya.

Merasa siapa pun pelaku kekerasan terhadap wanita—yang masih terlihat kecantikannya itu meski kondisinya sendiri cukup mengenaskan—tersebut, mungkin masih berada di kawasan ini, pikir sang dokter. Maka, sang dokter pun bergegas mengajak si wanita untuk masuk ke dalam mobilnya.

TO BE CONTINUED ...