Chapter 21 - Bukan Seorang Wanita

"Masuklah, cepat!" Arya membantu membukakan pintu depan.

"Dia, dia ada di semak-semak itu!" ujar si wanita dengan wajah pucat, lalu bergegas masuk ke dalam mobil dengan tubuh mengginggil. "Saya takut! Makhluk itu mengerikan!"

"Makhluk?!" ulang Arya pula seraya memerhatikan keadaan di semak belukar itu sekali lagi.

Arya cepat memutar, masuk ke dalam mobil, lalu kembali menjalankan mobil tersebut. Kepalang tanggung, pikir sang dokter, mau tidak mau ia harus kembali ke rumah sakit itu lagi.

Mobil berputar kencang dengan disertai suara decitan ban mobil. Dan sebentar saja sudah jauh meninggalkan kawasan tersebut.

"Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" tanya Arya setelah merasa jauh dan aman. Satu tangannya terjulur demi memeriksa lebam di kantong mata si wanita.

Tapi wanita itu justru menjauh, menggigil. Arya maklum, ia pasti masih berada dalam ketakutan yang teramat.

"Tidak apa-apa," ujar Arya berusaha menenangkan si wanita. "Saya seorang dokter. Kita sekarang akan menuju rumah sakit di mana saya bertugas."

"Tidak, jangan ke rumah sakit!"

"Hei, hei, tidak apa-apa," sahut Arya. "Tidak ada yang akan menyakitimu di sana nanti. Percayalah, saya ingin menolong kamu."

"Jangan! Jangan ke sana!" jerit wanita tersebut yang membuat Arya semakin bingung. "Mereka pasti akan menguasai rumah sakit itu!"

"Mereka, siapa?" ulang Arya. "Apa yang kamu bicarakan?"

"Makhluk itu!"

"Makhluk apa? Siapa yang menyerangmu?"

"Jangan biarkan—"

Tiba-tiba wanita itu terdiam dengan sorot mata menegang menatap ke arah depan, tidak berkedip. Hening seperti sebuah patung.

Arya sungguh tidak mengerti apa yang sudah dialami wanita tersebut, tidak juga dengan semua kata-kata dalam kekalutannya itu.

"Hei!" ujar sang dokter, namun ia tidak mungkin memalingkan penglihatannya dari jalanan di depan. "Kenapa kamu tiba-tiba diam seperti itu?" masih sama, wanita itu tetap hening. "Hei!"

Sang dokter menjentikkan jarinya di depan wajah wanita tersebut. Si wanita berpaling dengan cepat, Arya bahkan sampai terkejut mendapati tatapan tak berkedip dari wanita tersebut.

"Kamu membuat saya cemas saja," Arya mengembuskan napas lega untuk sesaat. "Kamu tidak perlu takut. Saya pasti akan menolong kamu."

"Kau bilang kau seorang dokter?"

Arya cukup bingung dengan wanita tersebut. Bukan pada pertanyaannya, lebih kepada ekspresi dan sorot mata yang menegang itu. Apa dia tidak capek membuka mata lebar-lebar tanpa berkedip seperti itu?

"Itu benar."

"Menarik!" sahut wanita itu lagi.

Sungguh, Arya semakin bingung saja. Baru beberapa detik yang lalu wanita itu bertingkah seolah hilang kendali akan dirinya sendiri karena ketakutan, dan kini malah terlihat tenang. Sangat-sangat tenang.

"Apa yang sebenarnya sedang terjadi?" tanya Arya dengan rasa penasaran yang besar terhadap wanita di sampingnya itu.

"Tidak ada apa-apa."

"Tidak ada apa-apanya bagaimana?" ulang Arya dengan perasaan sedikit kesal. "Jelas-jelas kamu tadi sangat histeris dan meminta pertolongan dari saya. Apa secepat itu kamu lupa?"

Masih dengan menatap sang dokter tanpa berkedip, wanita itu sedikit menyeringai.

"Tubuh wanita ini tidak nyaman sama sekali."

"Apa maksudnya itu?" dan Arya mulai merasakan ada sesuatu yang amat mengerikan akan menghampirinya.

"Jiwanya sangat kosong. Sangat tidak enak."

"Kamu itu bicara apa?"

"Yang dia tahu hanya uang dan penis yang besar."

"Hei, jaga bicaramu!"

"Menjijikkan!"

"Hei—"

Tiba-tiba saja wanita itu menjulurkan tangannya, menahan setir mobil yang dikendalikan Arya dengan cepat. Hanya sepersekian detik, lalu wanita itu menggerakkan tangannya, membelokkan roda depan mobil ke kiri penuh.

Screee...!

Mobil yang sedang melaju cepat itu berdecit kencang, lalu terlempar dan mengempas pagar pembatas jembatan pendek di sisi kiri. Berputar-putar dan tercebur ke dalam parit di bawah jembatan itu sendiri.

Tidak ada kendaraan lain di jalanan itu, sehingga tidak ada yang menyaksikan bagaimana mobil jenis SUV itu berdecit dan lalu terlempar keluar dari badan jalan dan berakhir di dalam parit yang cukup lebar.

Dokter Arya tidak tahu pasti separah apa luka yang ia alami, sebab, untuk bergerak keluar dari dalam mobil yang ringsek dan sepertinya akan tenggelam itu saja ia tidak mampu. Tubuhnya terjepit, dan ia tahu pasti bahwa sebelah kakinya patah.

Bersusah payah ia mencoba untuk membebaskan dirinya dari jepitan mobil yang remuk itu, namun sepertinya sia-sia. Bahkan, untuk bernapas saja ia sudah cukup kesulitan sebab wajah yang berlumuran darah, luka di sana sini.

Sang dokter menjadi terkejut sekaligus berada di titik ketakutannya kala menyadari wanita itu masih ada di sampingnya. Tidak sedikit pun wanita itu terluka. Justru ia terlihat tersenyum lebar sembari mencengkeram kerah baju sang dokter yang basah oleh darahnya sendiri.

"Ap—apa yang kau inginkan?" tanya Arya dengan menahan rasa sakit yang luar biasa.

"Sudah aku katakan," jawab wanita tersebut, namun suara itu terdengar sedikit berlainan. "Aku tidak nyaman menggunakan tubuh wanita lemah ini."

"Siapa… siapa kau ini? Makhluk apa kau sebenarnya?"

Seringai di wajah wanita itu semakin lebar, dan sorot kedua matanya itu seketika berubah menjadi hitam kekuningan dengan pupil mata berwarna merah darah—bahkan tidak berbentuk bulat melainkan berbentuk elips dari atas ke bawah.

"Aku menginginkan tubuhmu," ujar wanita tersebut, lalu terkekeh namun terdengar seperti suara dengkuran seekor harimau. "Jiwamu. Kau seorang dokter, pasti punya otak yang brilian, juga tubuh yang lebih baik dari tubuh pelacur yang aku gunakan ini."

"Kau—" Arya tidak bisa meneruskan ucapannya sebab segumpal darah memaksa keluar dari dalam mulutnya.

Ia muntah, dan terbatuk-batuk. Bahkan suara napas sang dokter mulai terdengar sengau.

Lalu, bola mata sang dokter membelalak lebar ketika melihat wajah wanita yang mencengkeram kerah bajunya tersebut seolah retak, pecah-pecah dan terkelupas. Serpihan-serpihan itu berjatuhan.

Arya berada dalam ketakutan yang sesungguhnya. Sebab kini tidak ada lagi wanita berambut acak-acakan di hadapannya, yang ada hanya sesosok makhluk bertanduk dengan seluruh permukaan kulitnya merah berkilat seolah baru saja terbakar.

"Tuhan…" ucap Arya dengan bibir gemetar. "Kau—"

Sekali makhluk itu menggerakkan tangan yang mencengkeram leher baju sang dokter, detik itu juga sang dokter merasa tubuhnya tertarik dengan kekuatan yang sangat besar, dan tahu-tahu ia kini sudah berada di atas aliran parit.

Mengambang dalam cengkeraman makhluk bersayap lebar.

Arya merasa gamang berada di tengah-tengah udara seperti itu, namun rasa gamang itu kalah oleh rasa takut yang teramat besar pada makhluk yang masih mencekal kerah bajunya.

"Otakmu," ujar makhluk itu dengan suaranya yang berat, "pasti akan berguna untukku memahami duniamu ini."

Sayap berselaput dan merah kehitaman itu mengepak, Arya menjerit panjang. Namun dalam hitungan detik saja makhluk tersebut sudah melesat jauh membawa sang dokter bersamanya, dan menghilang di tengah rimba belantara yang masih gelap.

***